ERAMADANI.COM – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi “peringatan keras terakhir” kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan anggotanya. Mereka terbukti melanggar kode etik dalam proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Keputusan ini dibacakan oleh Ketua DKPP Heddy Lugito dalam sidang putusan di Jakarta, Senin (5/2). Sebelumnya, DKPP menerima aduan dari tiga orang terkait putusan KPU tersebut.
“Memutuskan, mengabulkan pengaduan para pengadu untuk sebagian,” kata Heddy Lugito dalam siaran langsung di YouTube DKPP.
DKPP juga menjatuhkan sanksi “peringatan keras” kepada enam Komisioner KPU lainnya atas alasan yang sama. Mereka adalah August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holik.
Hasyim dinilai melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres dalam aturan yang ada, yaitu Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Komisioner KPU belum memberikan keterangan resmi atas putusan ini.
Melansir dari bbc.com/indonesia, DKPP menilai KPU seharusnya segera berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023.
Tujuannya agar Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 – selaku aturan teknis pilpres – dapat segera direvisi akibat dampak putusan MK.
“Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK diucapkan,” kata anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat membacakan putusan.
Menurut Wiarsa, alasan KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah setelah putusan MK “tidak tepat”.
“DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan Ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib,” jelasnya.
DKPP juga menilai tindakan para komisioner KPU yang terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik “tidak tepat” dan “menyimpang dari Peraturan KPU”.
“Para teradu seharusnya responsif terhadap kebutuhan pengaturan tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden 2024 pasca-putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena telah terjadi perubahan terhadap syarat capres-cawapres untuk tahun 2024,” ujar Wiarsa.