Jakarta – Islam menganjurkan umatnya untuk bersedekah, sebuah amal saleh yang sarat dengan pahala dan keberkahan. Anjuran ini termaktub dalam Al-Qur’an, salah satunya dalam Surah Ali Imran ayat 92: "Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya." Ayat ini dengan tegas menekankan pentingnya bersedekah, bahkan dengan harta yang paling dicintai sekalipun, sebagai jalan menuju kesempurnaan amal.
Namun, pertanyaan mendasar seringkali muncul di tengah umat Islam: kepada siapakah sedekah sebaiknya diutamakan? Apakah keluarga terdekat, atau justru anak yatim piatu yang lebih membutuhkan? Dilema ini memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam, baik dari perspektif Al-Qur’an maupun Hadits.
Buku "Jalan yang Lurus, Jalan Hidup Nikmat Dunia-Akhirat" karya Mufid memberikan pencerahan bahwa sedekah tak melulu terbatas pada materi. Bahkan, tindakan sekecil senyum pun termasuk sedekah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: "Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu." (HR Tirmidzi). Hal ini menunjukkan luasnya cakupan sedekah dalam ajaran Islam, yang tak hanya berdimensi material, tetapi juga sosial dan emosional.
Sedekah, pada dasarnya, ditujukan kepada mereka yang membutuhkan. Keluarga, meskipun terkadang memiliki ketercukupan materi, tetap termasuk golongan yang berhak menerima sedekah. Pertanyaannya kemudian beralih pada prioritas.
Buku "Pencegahan Fraud dengan Manajemen Risiko dalam Perspektif Al-Quran" karya Eko Sudarmanto menyoroti pentingnya keluarga sebagai prioritas penerima sedekah. Pendapat ini didasari pada tanggung jawab nafkah yang melekat pada kepala keluarga terhadap istri, anak, dan orang tua. Jika kebutuhan keluarga sudah terpenuhi, barulah sedekah dapat diberikan kepada pihak lain.
Imam Baghawi, salah satu ulama terkemuka, turut memperkuat argumen ini. Beliau menjelaskan bahwa keluarga merupakan tanggung jawab utama yang harus dinafkahi, sehingga sedekah kepada mereka memiliki prioritas. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: "Sedekah untuk orang miskin, nilainya hanya sedekah. Sementara sedekah untuk kerabat, nilainya dua; sedekah dan silaturahmi." (HR Nasa’i). Hadits ini menekankan nilai tambah sedekah kepada kerabat, yaitu selain pahala sedekah, juga mendapatkan pahala mempererat silaturahmi.
Hadits lain yang relevan menyebutkan: "Wahai Rasulullah, apakah sedekah yang paling utama? Rasul menjawab, ‘Sedekah orang sedikit harta. Utamakanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu.’" (HR Ahmad dan Abu Dawud). Hadits ini secara eksplisit menunjukkan prioritas sedekah kepada mereka yang menjadi tanggung jawab kita, yaitu keluarga. Ini menunjukkan bahwa sedekah bukan hanya sekadar memberi, tetapi juga tentang memenuhi kewajiban dan tanggung jawab.
Namun, penting untuk diingat bahwa kemampuan finansial juga menjadi faktor penentu. Buku "Fikih Sunnah Jilid 2" karya Sayyid Sabiq (terjemahan Khairul Amru Harahap) menjelaskan bahwa sedekah kepada orang lain tidak dibolehkan jika harta tersebut dibutuhkan untuk nafkah diri sendiri dan keluarga. Prioritas utama tetaplah memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Sedekah kepada pihak lain baru dianjurkan setelah kebutuhan keluarga terpenuhi dan masih ada kelebihan harta.
Lebih lanjut, Surah Al-Baqarah ayat 215 memberikan petunjuk mengenai urutan penerima sedekah: "Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya."
Ayat ini secara jelas menyebutkan urutan prioritas: orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Urutan ini bukanlah aturan kaku yang tak terbantahkan, melainkan pedoman umum yang mempertimbangkan berbagai aspek kebutuhan. Konteks sosial dan ekonomi masing-masing individu perlu dipertimbangkan dalam menentukan prioritas.
Kesimpulannya, pertanyaan "sedekah kepada siapa yang diutamakan?" tidak memiliki jawaban tunggal dan mutlak. Prioritas sedekah idealnya diberikan kepada keluarga yang menjadi tanggung jawab kita, selama kebutuhan mereka belum terpenuhi sepenuhnya. Setelah kebutuhan keluarga terpenuhi, barulah sedekah dapat diberikan kepada anak yatim, orang miskin, dan golongan lain yang membutuhkan, mengingat urutan yang disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 215.
Namun, penting untuk diingat bahwa niat dan keikhlasan dalam bersedekah tetap menjadi faktor penentu diterimanya amal tersebut. Allah SWT Maha Mengetahui isi hati dan kondisi masing-masing hamba-Nya. Oleh karena itu, sedekah yang diberikan dengan ikhlas, meskipun kepada siapapun, akan tetap mendapatkan pahala dan keberkahan dari Allah SWT. Yang terpenting adalah keseimbangan antara memenuhi tanggung jawab keluarga dan berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Sedekah yang bijak dan terencana, dengan memperhatikan kemampuan dan kebutuhan, merupakan cerminan keimanan yang utuh. Jangan sampai niat baik terhalang oleh pemahaman yang kurang tepat, sehingga justru menimbulkan dilema dan keraguan dalam beramal. Semoga uraian ini dapat memberikan pencerahan dan panduan dalam menunaikan kewajiban sedekah sesuai dengan tuntunan agama Islam.