Wacana meliburkan sekolah selama bulan Ramadan kembali mencuat, memicu perdebatan yang kompleks. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, menyatakan perlunya kajian mendalam atas kebijakan ini, mengingatkan bahwa solusi tidak semata-mata terletak pada pilihan biner: libur atau tidak libur. Dalam jumpa pers di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (3/1/2025), Gus Yahya menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampaknya terhadap siswa dari beragam latar belakang keagamaan.
"Kita telah mencoba dua pendekatan: sekolah tetap berjalan selama Ramadan, atau libur penuh sebulan. Kedua model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing," ujar Gus Yahya. "Sekolah sambil berpuasa bukanlah hal yang mustahil, namun jika memilih libur, pertanyaan krusialnya adalah: bagaimana mengisi waktu libur tersebut agar tetap produktif dan bermakna?"
Pernyataan Gus Yahya mengungkapkan kekhawatiran akan potensi waktu luang yang tidak termanfaatkan secara optimal. Ia menyoroti kemungkinan siswa hanya menghabiskan waktu libur di rumah tanpa kegiatan yang berarti. "Jika anak-anak hanya tidur atau bermain tanpa tujuan, itu bukan hasil yang kita inginkan," tegasnya. Ia mencontohkan upaya sebelumnya yang melibatkan siswa dalam kegiatan keagamaan seperti mengumpulkan tanda tangan imam setelah salat Tarawih. Namun, model tersebut, menurut Gus Yahya, perlu dievaluasi mengenai efektivitas dan keberlanjutannya. Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah model tersebut benar-benar mampu mengarahkan siswa untuk mendalami ibadah dengan lebih efektif?
Kontras dengan sekolah formal, Gus Yahya menunjukkan model pembelajaran di pesantren sebagai inspirasi. Di lingkungan pesantren, Ramadan justru menjadi momentum peningkatan intensitas kegiatan belajar. "Santri di pesantren tradisional bahkan meningkatkan waktu belajar mereka hingga dua kali lipat selama Ramadan," jelasnya. "Jika biasanya mereka mengaji tiga kali sehari, di Ramadan bisa mencapai enam atau tujuh kali, bahkan hingga menjelang sahur. Ini dilakukan untuk memanfaatkan berkah Ramadan secara maksimal."
Gus Yahya menjelaskan bahwa pendekatan pesantren terhadap Ramadan sangat terstruktur dan terarah, dengan fokus pada pendalaman ilmu agama dan ibadah. Model ini, menurutnya, dapat menjadi rujukan dalam merancang program kegiatan yang bermanfaat bagi siswa sekolah formal jika mereka diliburkan selama Ramadan. Namun, ia juga mengingatkan perlunya adaptasi dan inovasi untuk menyesuaikannya dengan konteks sekolah formal yang berbeda dengan pesantren.
Lebih lanjut, Gus Yahya mengingatkan pentingnya mempertimbangkan keberagaman agama di sekolah formal. Kebijakan libur Ramadan, ujarnya, juga berdampak pada siswa non-Muslim. "Jika anak-anak non-Muslim ikut libur, kegiatan apa yang akan mereka lakukan? Aspek ini juga harus dipertimbangkan. Jadi, ini bukan hanya soal libur atau tidak, tetapi lebih kepada ‘libur untuk apa?’" Pertanyaan ini menyoroti perlunya pendekatan yang inklusif dan memperhatikan kebutuhan semua siswa, terlepas dari latar belakang agama mereka.
Gus Yahya mengakui bahwa hingga saat ini belum ada model kegiatan yang teruji dan dapat diandalkan untuk mengisi libur Ramadan di sekolah formal. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya evaluasi dan inovasi dalam merancang program yang relevan dan bermanfaat bagi siswa. "Ini harus menjadi perhatian bersama," tegasnya. "Ramadan adalah waktu yang istimewa, dan kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin, baik untuk belajar maupun ibadah. Libur Ramadan harus dirancang agar tidak hanya menjadi waktu kosong, tetapi benar-benar memberikan manfaat bagi anak-anak sekolah."
Ia menekankan perlunya kerjasama antar berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan, untuk mengembangkan program yang komprehensif dan berkelanjutan. Program tersebut harus mempertimbangkan aspek pendidikan, keagamaan, dan sosial, serta memastikan inklusivitas bagi semua siswa.
Gus Yahya optimis bahwa dengan pendekatan yang tepat, libur Ramadan dapat menjadi momen berharga untuk mendidik generasi muda, baik dalam aspek spiritual maupun intelektual. Namun, ia menegaskan bahwa keberhasilan ini tergantung pada perencanaan yang matang, evaluasi yang berkelanjutan, dan komitmen bersama untuk menciptakan program yang bermanfaat dan inklusif. Tidak cukup hanya dengan meliburkan sekolah; yang lebih penting adalah bagaimana waktu libur tersebut dapat dimaksimalkan untuk mendukung pertumbuhan holistik siswa, tanpa mengabaikan keberagaman dan kebutuhan individu masing-masing.
Kesimpulannya, perdebatan seputar libur Ramadan bukan hanya mengenai kebijakan libur atau tidak, tetapi lebih kepada bagaimana merancang program yang efektif dan bermakna bagi semua siswa. Hal ini membutuhkan kajian yang mendalam, perencanaan yang cermat, dan kerja sama antar berbagai pihak untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyejahterakan semua siswa, tanpa memandang latar belakang agama mereka. Tantangannya adalah meramu nilai-nilai keagamaan dengan tujuan pendidikan yang komprehensif, sehingga libur Ramadan tidak hanya menjadi waktu istirahat, tetapi juga momentum untuk pertumbuhan spiritual dan intelektual yang berkelanjutan. Pendekatan yang holistik dan inklusif adalah kunci untuk menjawab dilema ini.