Kisah cinta Zainab binti Rasulullah SAW dan Abul ‘Ash bin Rabi’, yang sempat menjadi sorotan pembaca detikHikmah, menawarkan perspektif yang kaya akan nuansa historis, teologis, dan hukum. Pernikahan mereka, yang dilangsungkan sebelum wahyu kenabian turun, menjadi studi kasus yang menarik tentang bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan realitas sosial dan personal. Lebih jauh, kisah ini membuka diskusi penting tentang tafsir hukum Islam dalam konteks modern, khususnya terkait dengan praktik nikah siri yang juga menjadi perbincangan hangat.
Sebelum kedatangan Islam, pernikahan Zainab dengan Abul ‘Ash, seorang tokoh berpengaruh di Makkah, merupakan perjodohan yang disetujui Rasulullah SAW atas usulan Khadijah RA. Abul ‘Ash, putra dari saudara Khadijah, dikenal karena kekayaannya, kejujurannya, dan kehebatannya dalam berbisnis. Pernikahan ini, yang dilangsungkan dalam konteks pra-Islam, mencerminkan norma-norma sosial dan politik yang berlaku saat itu. Namun, dengan turunnya wahyu dan masuknya Rasulullah SAW, keluarga beliau, termasuk Zainab, memeluk Islam, sementara Abul ‘Ash tetap mempertahankan keyakinannya sebagai penyembah berhala.
Situasi ini menciptakan dilema yang kompleks. Zainab, seorang muslimah, terikat pernikahan dengan seorang laki-laki non-muslim. Meskipun Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan karya Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal, "Ummu Al-Mukminin Khadijah binti Khuwailid: Al-Mitslu Al-A’la li Nisa’i Al-‘Alamin," mencatat bahwa Zainab tetap tinggal bersama suaminya, pernikahan tersebut jelas bertentangan dengan hukum Islam yang melarang pernikahan antara wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Ketaatan Zainab kepada suaminya, yang juga merupakan kerabat Rasulullah SAW, menunjukkan kompleksitas situasi sosial dan emosional yang dihadapinya. Ia terjebak di antara kesetiaan kepada suami dan ketaatan kepada agamanya.
Puncak konflik terjadi saat hijrah ke Madinah. Zainab tertinggal di Makkah bersama Abul ‘Ash dan keluarganya, menjadi satu-satunya muslimah yang tinggal di tengah masyarakat Quraisy yang musyrik. Situasi ini semakin menegangkan saat Perang Badar meletus. Zainab berada dalam posisi yang sangat sulit: ia harus berdoa untuk kemenangan ayahnya dan kaum muslimin, namun di saat yang sama, ia juga khawatir akan keselamatan suaminya yang bertempur di pihak musuh.
Ironisnya, kemenangan kaum muslimin justru membawa dilema baru. Abul ‘Ash menjadi tawanan perang. Zainab, dengan penuh kasih sayang dan kesetiaan, mengirimkan uang tebusan dan kalung pemberian ibunya untuk membebaskan sang suami. Tindakan ini menyentuh hati Rasulullah SAW, yang terharu melihat pengorbanan putrinya. Namun, kepedulian Rasulullah SAW tidak mengabaikan hukum agama. Beliau membebaskan Abul ‘Ash tanpa tebusan, namun juga meminta agar ia menceraikan Zainab, karena pernikahan mereka telah melanggar hukum Islam.
Perceraian tersebut merupakan pukulan berat bagi Zainab. Dalam perjalanan menuju Madinah, ia mengalami keguguran setelah terjatuh dari unta akibat gangguan orang-orang Quraisy. Kejadian ini memperburuk kondisi kesehatannya, dan ia menderita sakit yang berkepanjangan. Namun, di tengah penderitaan tersebut, takdir memberikan jalan keluar. Abul ‘Ash akhirnya memeluk Islam pada tahun ke-7 Hijriah, dan menyusul Zainab ke Madinah. Pertemuan kembali mereka diwarnai kebahagiaan, meskipun hanya sementara, karena Zainab wafat pada tahun 8 Hijriah.
Kisah Zainab dan Abul ‘Ash menyoroti bagaimana hukum Islam berinteraksi dengan realitas kehidupan manusia. Ia menunjukkan bahwa hukum agama bukanlah sekadar aturan yang kaku, tetapi juga harus diinterpretasikan dalam konteks sosial dan historis yang kompleks. Lebih jauh, kisah ini menunjukkan bahwa kasih sayang, kesetiaan, dan pengampunan tetap memiliki tempat yang penting, bahkan dalam konteks hukum agama.
Berbeda dengan kisah Zainab yang berakar pada masa lalu, perdebatan seputar nikah siri merupakan isu kontemporer yang relevan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Buku "Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan tentang Nikah Siri" karya Yani C. Lesar memberikan gambaran komprehensif tentang praktik ini. Istilah "nikah siri," yang berasal dari bahasa Arab "az-zawaj as-siri," merujuk pada pernikahan yang dilakukan secara rahasia dan tidak terdaftar secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).
Dari perspektif hukum negara, nikah siri dianggap tidak sah. Hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan pasangan, termasuk hak waris, hak asuh anak, dan perlindungan hukum lainnya. Ketidakjelasan status hukum ini seringkali menimbulkan masalah sosial dan ekonomi bagi pasangan dan anak-anak mereka.
Sementara itu, dalam hukum Islam, nikah siri dapat dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun pernikahan Islam, yaitu adanya wali nikah, calon mempelai pria dan wanita, ijab qabul yang sah, dan dua saksi laki-laki muslim. Namun, kekurangan transparansi dan dokumentasi resmi dalam nikah siri menimbulkan kerentanan terhadap penyalahgunaan dan potensi konflik.
Perbedaan pandangan antara hukum negara dan hukum agama terkait nikah siri menciptakan dilema yang kompleks. Di satu sisi, keinginan untuk menghormati kebebasan individu dalam memilih pasangan hidup dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan harus dipertimbangkan. Di sisi lain, kebutuhan untuk melindungi hak-hak individu dan stabilitas sosial mengharuskan adanya regulasi yang jelas dan terdokumentasi dengan baik.
Praktik nikah siri juga menimbulkan berbagai dampak sosial. Kurangnya transparansi dapat menyebabkan ketidakpastian status sosial pasangan, terutama bagi perempuan. Hal ini dapat berdampak pada akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan. Selain itu, anak-anak dari pernikahan siri juga dapat mengalami kesulitan dalam mendapatkan pengakuan hukum dan akses terhadap hak-hak dasar mereka.
Oleh karena itu, perdebatan seputar nikah siri tidak hanya menyangkut aspek hukum, tetapi juga aspek sosial dan etika. Meskipun hukum Islam mengizinkan nikah siri dengan syarat tertentu, para ulama dan tokoh agama umumnya menganjurkan agar pernikahan dilakukan secara resmi di KUA. Hal ini untuk menghindari berbagai potensi masalah dan mudharat yang dapat muncul di kemudian hari, baik dari sisi hukum maupun sosial. Pendaftaran resmi di KUA memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pasangan dan anak-anak mereka.
Kesimpulannya, kisah Zainab dan Abul ‘Ash, serta perdebatan seputar nikah siri, menunjukkan betapa kompleksnya interaksi antara hukum, agama, dan realitas sosial. Pemahaman yang mendalam terhadap konteks historis dan sosial, serta interpretasi hukum yang bijaksana, sangat penting dalam menyelesaikan dilema-dilema yang muncul. Lebih jauh, pentingnya transparansi dan dokumentasi resmi dalam pernikahan, baik dari perspektif hukum negara maupun agama, tidak dapat diabaikan demi melindungi hak-hak individu dan stabilitas sosial masyarakat. Mencari keseimbangan antara kebebasan individu dan perlindungan hukum merupakan tantangan yang terus perlu dikaji dan direspon secara bijak.