Kiamat, suatu kepastian yang tak terbantahkan. Kedatangannya, meskipun tak diketahui waktunya secara pasti, senantiasa menjadi misteri yang menggelayuti umat manusia. Al-Qur’an sendiri, dalam surat Al-Ahzab ayat 63, menegaskan ketidaktahuan manusia akan waktu kedatangannya: "Manusia bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat. Katakanlah, ‘Ilmu tentang hari Kiamat itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah engkau, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat waktunya." Ayat ini menjadi pengingat akan keterbatasan pengetahuan manusia di hadapan kekuasaan Ilahi.
Meskipun waktu pasti kiamat tersembunyi, Allah SWT memberikan isyarat-isyarat. Salah satu isyarat yang paling nyata adalah diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir, Khatamul Anbiya’, penutup para nabi. Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, wahyu Allah terhenti, dan Malaikat Jibril AS tidak lagi turun ke bumi. Ini menjadi penanda bahwa kiamat semakin dekat.
Pertanyaan tentang durasi waktu hingga kiamat pun terungkap dalam Al-Qur’an, surat Al-Mu’minun ayat 113: "Ketika para durhaka bermohon agar azab bagi mereka disegerakan, Allah menjawab, "Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu." Ayat ini mengisyaratkan perbedaan dimensi waktu antara manusia dan Tuhan. Satu hari di sisi Allah bisa setara dengan seribu tahun, bahkan ayat lain menyebutkan 50.000 tahun (QS Al-Ma’arij: 4). Ini menegaskan betapa relatifnya konsep waktu bagi manusia, dan betapa tak terbayangkannya skala waktu Ilahi.
Ketidakpastian waktu kiamat ini menjadikannya sebuah super misteri, hanya Allah yang Maha Mengetahui dan menetapkan kapan ia akan tiba. Namun, di tengah ketidakpastian ini, manusia tetap memiliki peran. Manusia dapat berikhtiar, dan salah satu ikhtiar tersebut adalah dengan menyambut bulan Ramadan. Pertanyaannya, bisakah Ramadan memperlambat laju kiamat?
Ramadan: Bulan Kesucian dan Ikhtiar Menuju Keselamatan
Bulan Ramadan tiba kembali, hadir secara rutin setiap tahunnya, menjadi penanda kekuasaan dan rahmat Allah SWT. Kehadirannya bagaikan sebuah siklus yang tak pernah ingkar janji, menabur harapan dan membawa catatan amal manusia. Ramadan bukanlah sekadar bulan biasa; ia memiliki peran yang lebih signifikan dibandingkan sebelas bulan lainnya dalam mengurus makhluk hidup dan mati.
Di bulan Ramadan, manusia diingatkan akan ajaran kesucian, fitrah, dan pentingnya menjaga "mishbah" (pelita) Allah SWT di dalam "mishkat" (tempat cahaya). Misykat, sebagai taman tempat Allah berbisik kepada orang-orang beriman, harus dijaga cahayanya agar tetap menyinari jiwa manusia. Menjauhi maksiat dan mendekatkan diri kepada Allah menjadi kunci untuk menjaga cahaya tersebut. Ramadan menjadi ruang latihan untuk mempersiapkan diri menuju "Tsumma Ilayya Marji’ukum—Kemudian, kepada-Ku lah kalian akan mudik," kembali kepada Sang Khalik.
Rutinitas dan Tantangan Ilahi
Seringkali, rutinitas menjadi alasan bagi manusia untuk mencederai komitmen dan mengabaikan makna ibadah, termasuk dalam bulan Ramadan. Perasaan jenuh dan bosan karena mengulang ibadah yang sama setiap tahunnya kerap muncul. Bangun sahur, salat tarawih, membaca Al-Qur’an—semuanya terasa seperti rutinitas yang monoton. Namun, apakah kita pernah merenungkan tantangan Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an?
Surat Al-Qashash ayat 72 mengajukan pertanyaan retoris yang menggugah: "…Katakanlah : "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus-menerus hingga hari kiamat…" Ayat ini mengajak kita untuk membayangkan skenario ekstrem: apabila matahari berhenti berotasi, siang terus-menerus berlangsung hingga hari kiamat.
Bayangkanlah dampaknya. Panas matahari yang tak tertahankan akan menguapkan seluruh cairan di bumi, mengeringkan lautan, dan melelehkan es di kutub. Kehidupan akan musnah, bukan karena kiamat, melainkan karena ketidakmampuan manusia bertahan hidup di tengah terik matahari yang tak pernah berhenti. Hanya dalam beberapa hari, seluruh cairan dalam tubuh makhluk hidup akan menguap, menyebabkan kematian massal.
Rutinitas sebagai Rahmat Ilahi
Allah SWT mengingatkan kita akan keteraturan alam semesta, termasuk pergerakan matahari yang rutin. Rutinitas tersebut bukanlah sesuatu yang membosankan, melainkan rahasia dan ketetapan Ilahi yang menjaga kelangsungan kehidupan. Analogi sederhana: apa jadinya jika kita tidak rutin bernapas, makan, minum, atau tidur? Kehidupan akan terhenti.
Oleh karena itu, rasa bosan terhadap rutinitas ibadah di bulan Ramadan perlu dihilangkan. Ramadan hadir sebagai rahmat Allah, kesempatan untuk memperbaiki diri, menetralkan dosa-dosa sebelas bulan sebelumnya, dan mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat. Ramadan adalah rutinitas yang penuh kasih sayang, sebuah isyarat Ilahi untuk hamba-Nya.
Dengan rahmat, ampunan, dan janji Allah untuk menjauhkan kita dari api neraka, kita berharap dapat "menahan" laju datangnya hari kiamat. Keberadaan Ramadan yang rutin menjadi bukti kasih sayang Allah, memberikan kesempatan bagi manusia untuk bertaubat dan mempersiapkan diri sebelum kembali kepada-Nya.
Istiqamah: Kunci Menuju Keselamatan
Harapan kita adalah agar Ramadan terus datang secara rutin, hingga kita benar-benar siap untuk bertemu dengan Allah SWT. Amal dan ibadah yang rutin, istiqamah, menjadi kunci keselamatan. Salat yang rutin dan sempurna, zakat dan sedekah yang konsisten, serta puasa yang dijalankan dengan penuh keikhlasan, akan mengantarkan seseorang menuju takwa.
Marilah kita bermohon kepada Allah SWT agar dimampukan untuk istiqamah dalam beribadah, agar kita dapat meraih keselamatan di dunia dan akhirat. Rutinitas ibadah bukanlah beban, melainkan jalan menuju ridho Allah dan persiapan menghadapi hari kiamat. Semoga kita semua senantiasa diberikan kekuatan untuk menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan dan konsistensi. Marhaban ya Ramadan, marhaban ya Syahros Shiyam!