Jakarta, 25 Januari 2025 – Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BP Haji) menginisiasi revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Langkah strategis ini, menurut Kepala BP Haji, Muhammad Irfan Yusuf (Gus Irfan), dianggap krusial untuk mengadaptasi regulasi dengan dinamika terkini dan memperkuat landasan hukum penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia. Revisi ini menjadi semakin mendesak mengingat rencana perpindahan kewenangan penyelenggaraan haji reguler dari Kementerian Agama (Kemenag) ke BP Haji yang dijadwalkan pada musim haji 2026.
Keputusan untuk merevisi UU tersebut tidak diambil secara sepihak. Gus Irfan menekankan pentingnya kolaborasi dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan, khususnya Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI). AMPHURI, sebagai representasi para penyelenggara haji dan umrah di Indonesia, memiliki peran vital dalam memberikan masukan dan pengalaman praktis yang berharga dalam penyusunan regulasi yang komprehensif dan responsif terhadap kebutuhan lapangan.
"Revisi UU ini bukan sekadar pembaruan tata bahasa atau penyesuaian teknis," tegas Gus Irfan dalam keterangannya yang dikutip dari laman resmi AMPHURI. "Ini tentang membangun fondasi hukum yang kokoh dan adaptif untuk menjamin penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang lebih tertib, transparan, dan berorientasi pada pelayanan optimal bagi jamaah." Ia menambahkan bahwa masukan dari AMPHURI dan stakeholder lainnya akan menjadi pertimbangan utama dalam proses revisi ini, guna memastikan regulasi yang dihasilkan benar-benar mengakomodasi kepentingan seluruh pihak dan menjawab tantangan yang ada.
AMPHURI sendiri menyambut positif inisiatif BP Haji ini. Sekretaris Jenderal AMPHURI, Zaky Zakariya Anshari, menyatakan kesiapan penuh untuk berkolaborasi dan berkontribusi aktif dalam proses revisi UU. Pengalaman AMPHURI dalam berpartisipasi dalam berbagai kajian dan diskusi terkait UU Haji, baik secara formal dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VIII DPR-RI dan DPD-RI, maupun dalam forum informal, menjadi modal berharga dalam memberikan masukan yang konstruktif dan berbasis data empiris.
"Kami telah lama terlibat dalam berbagai diskusi dan kajian terkait UU Haji," ujar Zaky. "Pengalaman ini memungkinkan kami untuk memberikan masukan yang relevan dan teruji, yang diharapkan dapat memperkaya substansi revisi UU dan menghasilkan regulasi yang lebih efektif dan efisien." Zaky menekankan pentingnya revisi UU untuk mengakomodasi perkembangan terkini dalam penyelenggaraan haji dan umrah, termasuk perkembangan teknologi, perubahan kebutuhan jamaah, dan dinamika global yang berpengaruh pada penyelenggaraan ibadah haji.
Lebih lanjut, Gus Irfan mengungkapkan rencana untuk segera membahas revisi UU Haji dengan Komisi VIII DPR RI. Targetnya, revisi UU diharapkan dapat rampung dan disahkan sebelum musim haji 2026, sehingga dapat memberikan payung hukum yang kuat bagi BP Haji dalam menjalankan mandatnya sebagai penyelenggara haji reguler.
"Insyaallah, kami tengah menyiapkan draf usulan revisi dan telah melakukan beberapa kali diskusi awal dengan Komisi VIII, khususnya Panitia Kerja (Panja) Haji," jelas Gus Irfan. "Kami optimis revisi UU ini dapat diselesaikan sebelum penyelenggaraan haji tahun 2026, sehingga implementasi perpindahan kewenangan dari Kemenag ke BP Haji dapat berjalan lancar dan tertib hukum."
Tantangan dan Harapan dalam Revisi UU Haji dan Umrah
Revisi UU Haji dan Umrah ini dihadapkan pada sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Pertama, perlu adanya keseimbangan antara kepentingan berbagai pihak, mulai dari jamaah haji dan umrah, penyelenggara haji dan umrah, pemerintah, dan juga aspek keagamaan. Proses revisi harus mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa mengorbankan aspek-aspek penting lainnya.
Kedua, revisi UU harus mampu menjawab tantangan perkembangan teknologi dan digitalisasi. Sistem penyelenggaraan haji dan umrah yang modern dan berbasis teknologi dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Revisi UU perlu mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung sistem penyelenggaraan ibadah yang lebih efektif.
Ketiga, revisi UU harus mampu mengantisipasi potensi risiko dan tantangan yang mungkin muncul, seperti fluktuasi nilai tukar mata uang, kejadian bencana alam, dan situasi politik global yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Regulasi yang komprehensif dan antisipatif sangat dibutuhkan untuk meminimalisir risiko dan dampak negatif yang mungkin terjadi.
Keempat, revisi UU perlu memperkuat aspek pengawasan dan penegakan hukum untuk mencegah praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Sistem pengawasan yang ketat dan efektif dibutuhkan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji dan umrah.
Kelima, revisi UU harus memastikan perlindungan dan kepastian hukum bagi jamaah haji dan umrah. Regulasi yang jelas dan tegas dibutuhkan untuk melindungi hak-hak jamaah dan memberikan kepastian hukum dalam hal pelayanan, keamanan, dan perlindungan selama menjalankan ibadah haji dan umrah.
Revisi UU Haji dan Umrah ini diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang lebih modern, efisien, transparan, dan akuntabel. Regulasi yang baru diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi jamaah, serta meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia. Kolaborasi yang erat antara BP Haji, AMPHURI, dan Komisi VIII DPR RI sangat krusial untuk memastikan keberhasilan revisi UU ini dan terwujudnya penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang lebih baik di masa mendatang. Suksesnya revisi ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia, menandai era baru yang lebih modern, efisien, dan berorientasi pada pelayanan optimal bagi jamaah. Proses revisi ini bukan hanya sekadar perubahan regulasi, tetapi juga sebuah komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi para jamaah dalam menjalankan ibadah suci mereka.