Jakarta, 20 Januari 2025 – Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tengah gencar mencari solusi untuk menekan biaya penyelenggaraan ibadah haji dan mewujudkan perjalanan ibadah yang lebih terjangkau bagi jemaah Indonesia. Upaya ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk optimalisasi infrastruktur di Arab Saudi dan peningkatan efisiensi layanan, tanpa mengorbankan keamanan dan kenyamanan jemaah.
Langkah BPKH ini sejalan dengan rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Haji DPR RI 2025 yang menyarankan pemangkasan masa tinggal jemaah di Arab Saudi dari 40 hari menjadi lebih singkat. Panja berpendapat durasi tersebut terlalu lama dan berdampak pada peningkatan biaya. Hal ini kemudian menjadi fokus diskusi dalam rapat konsultasi yang melibatkan Pimpinan Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Kementerian Agama RI, Kementerian Keuangan RI, Kementerian Perhubungan RI, beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta otoritas provinsi di Arab Saudi. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan dan solusi dalam penyelenggaraan ibadah haji, khususnya dalam upaya merasionalisasi masa tinggal jemaah dengan tetap meningkatkan kualitas layanan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014.
Indra Gunawan, Anggota Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas, serta Analisis Portofolio BPKH, mengungkapkan bahwa durasi 40 hari tersebut sebagian besar disebabkan oleh waktu tunggu yang panjang di Bandara Jeddah dan Madinah. Keterbatasan infrastruktur bandara, yang berada di bawah kendali General Authority of Civil Aviation (GACA) Arab Saudi, menjadi kendala utama.
"Faktor utama yang menyebabkan durasi jemaah haji Indonesia di Tanah Suci mencapai 40 hari adalah panjangnya waktu tunggu keberangkatan dan kepulangan akibat terbatasnya infrastruktur di bandara Jeddah dan Madinah," jelas Indra dalam rilis resmi BPKH. "Selain itu, tantangan lain muncul dari aksesibilitas yang beragam di Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, 75.000 desa, dan 719 bahasa berbeda, serta tingginya jumlah jemaah yang memiliki akses keuangan terbatas."
Lebih lanjut, Indra menyoroti faktor demografis jemaah haji Indonesia yang mayoritas berusia lanjut (lansia) di atas 60 tahun, dengan sebagian besar memiliki risiko kesehatan tinggi. Kondisi ini membutuhkan perhatian khusus dalam hal layanan kesehatan dan mobilitas.
Heru Muara Sidik, Anggota Dewan Pengawas BPKH, menawarkan solusi strategis untuk mengatasi masalah tersebut: pengembangan lahan dan bandara alternatif di Arab Saudi. Strategi ini dinilai mampu mempermudah dan mengamankan proses kedatangan dan kepulangan jemaah.
"Untuk mengatasi masalah ini, tercetus ide mengembangkan lahan dan bandara alternatif, terutama jika terdapat miqat (lokasi berganti kain ihram dan niat) yang dekat," ujar Heru. "Mobilisasi kedatangan dan kepulangan akan menjadi lebih mudah, murah, aman, dan nyaman. Saatnya kita bahu membahu untuk mewujudkan terobosan ini."
Capt. M. Mauludin, Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan RI, mengkonfirmasi keterbatasan kapasitas bandara yang ada saat ini. "Saat ini bandara yang dimaksud hanya memiliki dua runway dengan kapasitas terbatas, yang hanya mampu menampung ratusan penumpang per jam," jelasnya. "Untuk kelaikudaraan bandara dan terminal haji ini perlu investasi lanjutan."
Sebagai solusi jangka pendek, Indra mengusulkan optimalisasi bandara eksisting di Arab Saudi. "Rencana jangka pendek yang diusulkan adalah gagasan untuk optimalisasi bandara eksisting di sana, dengan sebelumnya berkonsultasi intensif bersama Presiden, Kementerian/Lembaga/BUMN dan Pemangku Kepentingan terkait guna mengalihkan sebagian jemaah haji Indonesia ke sana untuk mengurai titik konsentrasi tidak hanya di bandara Jeddah dan Madinah," usul Indra.
Namun, untuk solusi jangka panjang, dibutuhkan investasi signifikan dalam pembangunan bandara, terminal, dan rumah sakit dengan kapasitas dan fasilitas yang lebih memadai. Keterlibatan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan RI sangat krusial dalam tata kelola dan evaluasi proyek ini.
Ramadhan Harisman, Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu (SIHDU), menekankan pentingnya ketersediaan terminal yang memadai untuk mempercepat proses mobilitas jemaah dan meringankan beban layanan kesehatan, terutama bagi jemaah lansia.
Pengembangan lahan dan bandara baru dianggap memiliki posisi strategis sebagai pusat kegiatan haji di masa mendatang. Indra optimistis bahwa dengan adanya opsi lahan baru yang dekat dengan bandara dan miqat, durasi haji dapat dipangkas secara signifikan.
"Dengan demikian, berpotensi mengurangi biaya transportasi, konsumsi, dan akomodasi, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya haji secara keseluruhan dan meningkatkan efisiensi layanan," kata Indra.
Lebih jauh, jika gagasan ini terwujud, BPKH siap berinvestasi langsung pada ekosistem haji dan umrah, serta sektor lain seperti pertanian, pariwisata, dan kuliner. BPKH juga berencana mengajak BUMN dan UMKM Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan "Kampung Haji Indonesia" di Arab Saudi dengan memanfaatkan dana BPKH yang saat ini telah mencapai Rp 170 triliun.
"Upaya ini bertujuan menjadikan penyelenggaraan haji dan umrah lebih mudah, murah, aman, dan nyaman dengan mengoptimalkan dana umat yang dikelola BPKH," pungkas Indra. Inisiatif ini menandai komitmen BPKH untuk terus berupaya meningkatkan kualitas dan efisiensi penyelenggaraan ibadah haji bagi seluruh jemaah Indonesia. Keberhasilannya akan bergantung pada kolaborasi yang kuat antara pemerintah Indonesia, otoritas Arab Saudi, dan berbagai pemangku kepentingan terkait.