Jakarta, 7 Januari 2025 – Perbincangan publik terkait biaya haji 2025 (1446 H) tak lepas dari tiga istilah kunci: Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), dan Nilai Manfaat. Ketiga istilah ini, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, seringkali menimbulkan kebingungan. Artikel ini akan menguraikan perbedaan dan keterkaitan ketiganya secara rinci.
BPIH: Payung Biaya Penyelenggaraan Haji
BPIH merupakan biaya total yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan ibadah haji. Angka ini mencakup seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk memfasilitasi perjalanan dan pelaksanaan ibadah jemaah haji Indonesia. BPIH bukan merupakan angka tunggal yang berdiri sendiri, melainkan komposit dari beberapa sumber pendanaan. Sumber-sumber tersebut meliputi Bipih (kontribusi jemaah), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Nilai Manfaat (hasil pengelolaan dana haji), dana efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah sesuai peraturan perundang-undangan. Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden berdasarkan usulan Menteri Agama setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Proses penetapan BPIH melibatkan serangkaian perundingan dan negosiasi yang intensif antara pemerintah, khususnya Kementerian Agama (Kemenag), dan Komisi VIII DPR RI. Kemenag mengajukan proposal besaran BPIH yang kemudian dibahas secara detail dalam Panitia Kerja (Panja) BPIH. Setelah melalui proses pembahasan yang melibatkan berbagai pertimbangan, termasuk analisis kebutuhan riil di lapangan dan kondisi ekonomi makro, DPR RI memberikan persetujuannya. Keputusan final mengenai besaran BPIH kemudian diumumkan secara resmi.
Untuk tahun 1446 H/2025 M, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati besaran BPIH rata-rata sebesar Rp 89.410.258,79 per jemaah haji reguler. Angka ini menandai penurunan sekitar Rp 4 juta dibandingkan dengan BPIH tahun 1445 H/2024 M yang mencapai Rp 93.410.286,00. Penurunan ini disambut positif oleh berbagai pihak, meskipun tetap menjadi pertimbangan penting bagi calon jemaah haji.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, dalam rapat kerja dengan Kemenag pada Senin, 6 Januari 2025, secara resmi mengumumkan kesepakatan tersebut. Pernyataan resmi tersebut menekankan konsensus antara Komisi VIII DPR RI, Menteri Agama RI, dan Kepala Badan Penyelenggara Haji dan Umrah (BPKH) atas besaran BPIH yang disepakati. Keputusan ini menjadi landasan hukum dan operasional bagi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025. Biaya-biaya yang tidak tercakup dalam BPIH akan ditanggung oleh APBN dan APBD sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan regulasi yang berlaku.
Bipih: Kontribusi Langsung Jemaah Haji
Bipih merupakan bagian dari BPIH yang menjadi tanggung jawab langsung jemaah haji. Ini adalah biaya yang harus dibayarkan oleh setiap jemaah sebagai kontribusi mereka dalam penyelenggaraan ibadah haji. Besaran Bipih merupakan proporsi tertentu dari total BPIH, sisanya dibiayai oleh sumber-sumber lain seperti Nilai Manfaat dan APBN.
Untuk tahun 2025, besaran Bipih yang harus dibayarkan setiap jemaah haji reguler ditetapkan sebesar Rp 55.431.750,78. Angka ini merupakan 62% dari total BPIH. Dengan mempertimbangkan setoran awal sebesar Rp 25 juta yang telah dilakukan oleh setiap calon jemaah, maka jemaah perlu melunasi sisa pembayaran Bipih sekitar Rp 30 juta. Pembayaran Bipih dilakukan melalui Bank Penerima Setoran (BPS) Bipih yang telah ditunjuk.
Sistem Bipih dirancang untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam pembiayaan haji. Dengan mekanisme ini, jemaah turut berkontribusi secara langsung dalam pembiayaan ibadah mereka, sekaligus meringankan beban APBN. Untuk haji khusus, terdapat istilah yang serupa, yaitu Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus (Bipih Khusus), dengan mekanisme dan besaran yang berbeda.
Nilai Manfaat: Hasil Investasi Dana Haji
Nilai Manfaat merupakan komponen krusial dalam pembiayaan BPIH yang berasal dari hasil pengelolaan dan pengembangan keuangan haji. Dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) diinvestasikan dalam berbagai instrumen investasi yang syariah-compliant untuk menghasilkan keuntungan. Keuntungan ini kemudian digunakan untuk membantu membiayai penyelenggaraan ibadah haji, sehingga meringankan beban Bipih yang harus ditanggung jemaah.
Untuk tahun 2025, pemerintah dan DPR RI menyepakati total Nilai Manfaat sebesar Rp 6,83 triliun. Dari jumlah tersebut, setiap jemaah haji reguler mendapatkan kontribusi Nilai Manfaat sebesar Rp 33.978.508,01, yang setara dengan 38% dari BPIH. Hal ini menunjukkan peran penting Nilai Manfaat dalam meringankan beban biaya haji bagi jemaah.
Kepala Badan Pelaksana BPKH, Fadlul Imansyah, telah menyatakan kesiapan BPKH untuk menyediakan dana yang dibutuhkan tepat waktu guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji 2025. Pernyataan ini memberikan jaminan kepastian bagi pelaksanaan ibadah haji, mengingat peran krusial BPKH dalam pengelolaan dan penyaluran Nilai Manfaat. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji menjadi kunci keberhasilan program ini.
Kesimpulan:
BPIH, Bipih, dan Nilai Manfaat merupakan tiga elemen kunci dalam sistem pembiayaan ibadah haji di Indonesia. Ketiga istilah ini saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang terintegrasi untuk memastikan penyelenggaraan ibadah haji yang tertib, adil, dan terjangkau. Pemahaman yang komprehensif terhadap perbedaan dan keterkaitan ketiganya sangat penting bagi calon jemaah haji, pemerintah, dan DPR RI dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan ibadah haji yang semakin baik dan berkelanjutan. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana haji akan terus menjadi fokus utama untuk memastikan keberlanjutan dan kemaslahatan program ibadah haji bagi seluruh umat muslim di Indonesia.