Kisah Nabi Musa AS, teladan kesabaran dan kepemimpinan umat Bani Israil, tak hanya dipenuhi mukjizat dan petunjuk Ilahi, namun juga diwarnai insiden-insiden yang menguji kesabaran dan keimanannya. Salah satu kisah yang menarik perhatian, sekaligus mengandung pelajaran berharga, adalah peristiwa batu yang melarikan pakaiannya saat beliau mandi. Kisah ini, yang tersebar dalam riwayat-riwayat tertentu, menawarkan perspektif unik tentang fitnah, kesucian para nabi, dan campur tangan Ilahi dalam membersihkan nama baik hamba-Nya yang tertuduh.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 69, Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti jejak orang-orang yang pernah memfitnah Nabi Musa AS: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah." Ayat ini menjadi landasan penting dalam memahami konteks kisah batu yang melarikan pakaian Nabi Musa. Ayat tersebut secara implisit mengisyaratkan adanya fitnah yang menimpa Nabi Musa, dan Allah SWT secara langsung menyatakan pembelaan dan pembersihan nama baik beliau.
Hadits riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah RA menambahkan dimensi lain pada kisah ini. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Musa adalah seorang laki-laki yang pemalu dan sangat rapat menutup tubuhnya. Tidak ada satu pun dari bagian tubuhnya yang terbuka karena sangat pemalunya." Deskripsi ini menggambarkan kepribadian Nabi Musa yang menjaga kesucian dan auratnya dengan sangat ketat, sebuah perilaku yang bertolak belakang dengan kebiasaan sebagian masyarakat Bani Israil pada masa itu yang cenderung kurang memperhatikan adab dalam hal berpakaian dan menjaga aurat, khususnya saat mandi bersama.
Perbedaan sikap Nabi Musa inilah yang kemudian memicu fitnah. Sebagian orang Bani Israil, didorong oleh rasa iri, dengki, atau mungkin hanya sekadar ingin mencari-cari kesalahan, mulai menyebarkan bisikan-bisikan yang meragukan kesucian Nabi Musa. Mereka beranggapan bahwa keengganan Nabi Musa untuk mandi bersama dan menutup auratnya secara ketat disebabkan oleh adanya cacat fisik atau aib pada tubuhnya. Tuduhan-tuduhan seperti belang di kulit, pembengkakan, atau cacat fisik lainnya dilontarkan tanpa dasar yang kuat, murni hanya spekulasi yang berujung pada fitnah yang kejam.
Di sinilah kisah batu yang melarikan pakaian Nabi Musa muncul sebagai bagian dari skenario Ilahi untuk membersihkan nama baik beliau. Abdullah bin Muhammad As-Saleh bin Mu’taz, dalam karyanya "Pelajaran Hidup dari Kisah-kisah Nabi Musa," menceritakan detail peristiwa tersebut. Nabi Musa, yang senantiasa menjaga kesucian dan kesendiriannya, memilih untuk mandi sendirian di tempat yang dianggap sepi. Beliau meletakkan pakaiannya di atas sebuah batu, lalu berwudhu dan mandi.
Setelah selesai mandi, Nabi Musa menuju tempat ia meletakkan pakaiannya. Namun, yang terjadi di luar dugaan. Batu tempat pakaiannya diletakkan tiba-tiba bergerak dan melarikan pakaian tersebut. Nabi Musa, yang terkejut, segera mengambil tongkatnya dan mengejar batu tersebut sambil berseru, "Kembalikan pakaianku, hai batu! Kembalikan pakaianku, hai batu!"
Kejadian ini, yang tampak supranatural, bukan sekadar peristiwa kebetulan. Allah SWT, dalam hikmah-Nya yang maha luas, mengarahkan peristiwa ini untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pengejarannya terhadap batu tersebut, Nabi Musa secara tak sengaja melewati sekelompok orang Bani Israil. Beliau, dalam keadaan telanjang, terlihat oleh mereka. Inilah momen yang Allah SWT rancang untuk membantah tuduhan-tuduhan yang sebelumnya dilontarkan.
Para pemfitnah, yang sebelumnya menuduh Nabi Musa memiliki aib fisik, kini menyaksikan sendiri kesempurnaan fisik Nabi Musa. Ketampanan, keanggunan, dan kesempurnaan fisik Nabi Musa, sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan Allah SWT, terpampang nyata di hadapan mereka. Tuduhan-tuduhan mereka runtuh seketika. Allah SWT telah membersihkan nama baik Nabi Musa dengan cara yang luar biasa, sekaligus memberikan pelajaran berharga bagi mereka yang gemar menyebarkan fitnah.
Setelah beberapa saat, batu tersebut berhenti berlari. Nabi Musa mengambil kembali pakaiannya dan memakainya. Sebagai bentuk teguran, beliau memukul batu tersebut dengan tongkatnya. Riwayat menyebutkan bahwa batu tersebut bahkan merintih akibat pukulan tersebut. Peristiwa ini menunjukkan kekuasaan Allah SWT atas seluruh alam semesta, termasuk benda mati seperti batu.
Para ulama, seperti An-Nawawi dan Al-Qadhi, menegaskan kesucian dan kesempurnaan para nabi, termasuk Nabi Musa. Mereka menyatakan bahwa para nabi terbebas dari segala macam kekurangan fisik dan akhlak, terhindar dari cacat, aib, dan segala sesuatu yang dapat mengurangi kehormatan dan kesempurnaan mereka. Mereka adalah teladan sempurna bagi seluruh umat manusia.
Ibnul Jauzi, dalam penafsirannya, menekankan aspek ketidaksengajaan Nabi Musa dalam melewati orang-orang Bani Israil. Beliau berpendapat bahwa Nabi Musa awalnya mengira tempat tersebut sepi, namun takdir Ilahi mempertemukan beliau dengan sekelompok orang. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengendalikan segala sesuatu, dan bahkan peristiwa yang tampak kebetulan pun memiliki hikmah dan tujuan tertentu.
Kesimpulannya, kisah batu yang melarikan pakaian Nabi Musa bukanlah sekadar cerita rakyat biasa. Kisah ini mengandung pesan moral yang mendalam tentang fitnah, kesucian para nabi, dan keadilan Ilahi. Peristiwa ini mengajarkan kita pentingnya menjaga lisan dari perbuatan fitnah, menghindari prasangka buruk, dan senantiasa berpegang teguh pada kebenaran. Allah SWT Maha Adil dan akan membela hamba-Nya yang terzalimi. Kisah ini juga mengingatkan kita akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT yang mampu mengendalikan seluruh alam semesta untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya yang mulia. Lebih dari itu, kisah ini menjadi bukti nyata akan kesempurnaan dan kesucian para nabi, yang senantiasa dijaga dan dilindungi oleh Allah SWT dari segala macam fitnah dan tuduhan yang tidak berdasar. Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk senantiasa berhati-hati dalam berucap dan bertindak, serta senantiasa bertawakkal kepada Allah SWT dalam menghadapi segala cobaan dan ujian hidup.