Baitul Maqdis, atau Yerusalem, bukanlah sekadar kota bersejarah di Palestina. Lebih dari itu, ia merupakan pusat spiritual yang mendalam bagi tiga agama besar dunia: Islam, Kristen, dan Yahudi. Letaknya yang strategis di jantung Palestina, di atas perbukitan dengan ketinggian bervariasi antara 38 hingga 720 meter di atas permukaan laut, telah menjadikan kota ini sebagai titik temu peradaban dan pusat perebutan kekuasaan selama berabad-abad. Namun, bagi umat Islam, Baitul Maqdis memiliki signifikansi historis dan teologis yang tak tergantikan, jauh melampaui aspek geografisnya.
Keberadaan Masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis merupakan faktor utama yang menjadikan kota ini begitu sakral bagi umat Islam. Masjid Al-Aqsha, yang dipercaya sebagai masjid kedua yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS, bukan hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga simbol sejarah dan spiritual yang kaya. Kompleks Masjid Al-Aqsha, yang meliputi Kubah Batu (Dome of the Rock) dan berbagai bangunan bersejarah lainnya, menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban Islam dan menjadi tujuan utama bagi jutaan umat Muslim dari seluruh dunia yang menunaikan ibadah umroh dan haji.
Signifikansi Baitul Maqdis bagi umat Islam semakin diperkuat oleh peristiwa Isra’ Mi’raj, perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis, dan kemudian ke Sidratul Muntaha. Peristiwa monumental ini, yang diabadikan dalam Al-Quran dan hadis, menjadikan Baitul Maqdis sebagai saksi bisu perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW, yang menandai titik balik penting dalam sejarah Islam. Isra’ Mi’raj bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang menandai dimulainya kewajiban shalat lima waktu bagi umat Islam. Oleh karena itu, Baitul Maqdis menjadi tempat yang sangat dihormati dan dikeramatkan dalam ajaran Islam.
Lebih jauh lagi, sejarah mencatat bahwa Baitul Maqdis pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum dialihkan ke Masjidil Haram di Mekkah. Perubahan kiblat ini, yang tercantum dalam Surah Al-Baqarah ayat 144, menunjukkan perubahan strategis dan dinamika politik pada masa awal perkembangan Islam. Namun, perubahan kiblat ini sama sekali tidak mengurangi nilai historis dan spiritual Baitul Maqdis bagi umat Islam. Justru, hal ini semakin mengukuhkan posisi Baitul Maqdis sebagai kota suci yang memiliki peran penting dalam sejarah awal perkembangan Islam.
Selain peristiwa-peristiwa historis tersebut, Baitul Maqdis juga memiliki prediksi masa depan yang signifikan dalam ajaran Islam. Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa Baitul Maqdis akan menjadi tempat tegaknya kekhilafahan di akhir zaman. Prediksi ini memberikan dimensi eschatologis pada signifikansi Baitul Maqdis, memperkuat keyakinan umat Islam akan pentingnya kota ini dalam konteks sejarah dan masa depan umat manusia. Prediksi ini, meskipun bersifat teologis dan interpretasinya dapat bervariasi, tetap menjadi bagian penting dari narasi keagamaan yang melingkupi Baitul Maqdis.
Namun, status Baitul Maqdis sebagai kota suci yang dihormati oleh tiga agama besar dunia juga diiringi oleh kompleksitas politik dan sosial yang rumit. Persoalan kepemilikan dan kontrol atas kota ini telah menjadi sumber konflik berkepanjangan antara berbagai kelompok dan negara. Konflik ini telah menyebabkan penderitaan dan kerugian besar bagi penduduk setempat, dan telah menjadi tantangan besar bagi upaya perdamaian di kawasan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa signifikansi Baitul Maqdis tidak hanya terletak pada aspek keagamaan, tetapi juga pada konteks politik, sosial, dan historis yang kompleks.
Perlu ditekankan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang Baitul Maqdis memerlukan pendekatan multidisiplin. Studi sejarah, arkeologi, dan antropologi, di samping studi agama, sangat penting untuk memahami kompleksitas kota ini. Dengan memahami berbagai perspektif, kita dapat menghargai kekayaan sejarah dan budaya Baitul Maqdis, sekaligus memahami tantangan yang dihadapi dalam upaya untuk mencapai perdamaian dan keadilan di wilayah tersebut.
Baitul Maqdis bukan hanya sekadar lokasi geografis; ia merupakan simbol sejarah, spiritualitas, dan peradaban. Bagi umat Islam, ia adalah saksi bisu perjalanan Nabi Muhammad SAW, tempat berdirinya masjid kedua, dan tempat yang diprediksi akan menjadi pusat kekhilafahan di akhir zaman. Memahami signifikansi Baitul Maqdis bagi umat Islam berarti memahami akar sejarah dan spiritualitas Islam, sekaligus menghargai kompleksitas sejarah dan politik yang melingkupi kota suci ini. Perlu adanya upaya bersama untuk menjaga kesucian dan nilai-nilai spiritual Baitul Maqdis, serta untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut, sehingga semua pihak dapat menikmati warisan sejarah dan spiritual yang begitu kaya ini. Penting untuk selalu mengedepankan dialog, toleransi, dan saling pengertian dalam upaya menyelesaikan konflik dan membangun perdamaian di Baitul Maqdis, kota suci yang begitu penting bagi umat manusia. Perdamaian dan stabilitas di Baitul Maqdis bukan hanya penting bagi penduduknya, tetapi juga bagi perdamaian dunia. Semoga upaya-upaya perdamaian terus dilakukan, dan Baitul Maqdis dapat menjadi simbol persatuan dan kedamaian bagi seluruh umat manusia. Peran serta semua pihak, baik pemerintah, organisasi internasional, maupun masyarakat sipil, sangat dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut. Harapannya, Baitul Maqdis dapat menjadi tempat yang aman, damai, dan dihormati oleh semua pihak, sebagai kota suci yang mencerminkan nilai-nilai perdamaian dan kerukunan antar umat beragama.