Surat An-Nisa ayat 56 merupakan salah satu ayat Al-Qur’an yang secara tegas menggambarkan azab yang menanti orang-orang yang mengingkari dan menolak ayat-ayat Allah SWT. Ayat ini, yang termasuk dalam surat Madaniyah—surat yang diturunkan di Madinah—merupakan bagian penting dari kitab suci umat Islam dan menjadi pengingat akan konsekuensi dari kekafiran. An-Nisa sendiri, surat keempat dalam mushaf Al-Qur’an, terdiri dari 176 ayat yang membahas berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk hukum-hukum keluarga, warisan, dan peradilan. Ayat ke-56, dengan redaksi yang lugas dan penuh peringatan, menekankan pentingnya keimanan dan ketaatan kepada wahyu Ilahi.
Teks Arab dan Terjemahannya:
Berikut teks Arab Surat An-Nisa ayat 56 dan terjemahannya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَارًا ۖ كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا
Inna allatziina kafaru bi-ayatina sawfa nuṣlihimn nara, kulllama naḍijat julūduhum baddalnahum julūdan ghairā liyaḍūqul-‘adzāba, inna allāha kāna ‘aziizan ḥakīmā.
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Tafsir dan Interpretasi:
Ayat ini dengan gamblang melukiskan hukuman yang mengerikan bagi mereka yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah. Kata "kafaru" (كَفَرُوا) yang berarti kafir, tidak hanya sebatas mengingkari keberadaan Allah, tetapi juga mencakup penolakan terhadap seluruh ajaran dan hukum-hukum yang dibawa-Nya. Ini meliputi penolakan terhadap bukti-bukti kekuasaan dan kebijaksanaan Allah yang termanifestasi di alam semesta dan dalam wahyu-Nya.
Ungkapan "nuṣlihimn nara" (نُصْلِيهِمْ نَارًا) menunjukkan bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam neraka, api yang menyala-nyala sebagai simbol azab yang tak terhingga. Keadaan ini diperparah dengan deskripsi "kulllama naḍijat julūduhum baddalnahum julūdan ghairā" (كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا), yang menggambarkan bagaimana kulit mereka yang hangus akan diganti dengan kulit baru, sehingga mereka terus menerus merasakan siksa yang tak pernah berakhir. Ini bukan sekadar hukuman fisik, tetapi juga hukuman yang menyakitkan secara psikis, menunjukkan kepedihan yang tak terbayangkan.
Tujuan dari penggantian kulit ini, sebagaimana dijelaskan dalam ayat, adalah "liyaḍūqul-‘adzāba" (لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ), agar mereka benar-benar merasakan azab tersebut secara sepenuhnya. Allah SWT tidak menginginkan azab ini, tetapi ini merupakan konsekuensi logis dari pilihan mereka untuk mengingkari kebenaran.
Penutup ayat, "inna allāha kāna ‘aziizan ḥakīmā" (إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَزِيزًا حَكِيمًا), menegaskan kembali kekuasaan dan kebijaksanaan Allah SWT. "Aziz" (عَزِيزًا) menunjukkan kekuatan dan kemampuan Allah yang tak terbatas, sedangkan "ḥakīmā" (حَكِيمًا) menunjukkan kebijaksanaan-Nya dalam menetapkan hukum dan balasan. Allah SWT Mahakuasa untuk memberikan azab, dan hukuman yang diberikan-Nya adalah adil dan sesuai dengan perbuatan hamba-Nya.
Tafsir dari Berbagai Ulama:
Berbagai ulama telah menafsirkan ayat ini dengan sudut pandang yang berbeda, namun tetap pada inti pesan yang sama. Tafsir Kemenag RI, misalnya, menekankan kesengsaraan yang tak berujung yang akan dialami oleh orang-orang kafir. Kulit mereka yang hangus terus diganti dengan kulit baru agar mereka terus merasakan siksa api neraka. Ini menggambarkan betapa pedihnya azab yang menanti mereka.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar memberikan penafsiran yang lebih mendalam tentang makna "kafir" dalam konteks ayat ini. Beliau menjelaskan bahwa "kafir" tidak hanya terbatas pada penolakan keberadaan Allah, tetapi juga mencakup penolakan terhadap kebenaran yang telah diwahyukan. Ini termasuk menolak bukti-bukti kekuasaan Allah, menolak ajaran-ajaran Islam, dan menolak untuk menjalankan perintah-perintah-Nya. Kekafiran dalam konteks ini adalah penolakan terhadap kebenaran yang nyata dan terbukti.
Buya Hamka juga menekankan aspek kebijaksanaan Allah dalam ayat ini. Meskipun Allah SWT Mahakuasa untuk memberikan azab, Dia juga memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Hukuman yang diberikan bukanlah semata-mata tindakan sewenang-wenang, tetapi merupakan konsekuensi yang adil dan bijaksana atas pilihan yang telah dibuat oleh manusia. Ayat ini menjadi peringatan keras sekaligus ajakan untuk selalu berada di jalan yang benar dan bertaubat sebelum terlambat.
Relevansi Ayat An-Nisa 56 di Era Modern:
Meskipun ayat ini diturunkan berabad-abad yang lalu, pesan yang terkandung di dalamnya tetap relevan hingga saat ini. Di era modern yang penuh dengan tantangan dan godaan, iman dan ketaatan kepada Allah SWT menjadi semakin penting. Banyak orang yang terlena oleh gemerlap dunia dan melupakan kewajiban mereka kepada Sang Pencipta. Ayat ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga keimanan dan ketaatan, serta menghindari perilaku yang dapat mengundang murka Allah SWT.
Kekafiran di era modern bisa berwujud dalam berbagai bentuk, tidak hanya penolakan terhadap agama secara terang-terangan, tetapi juga dalam bentuk sikap hidup yang menyimpang dari ajaran agama. Contohnya, ketidakadilan sosial, eksploitasi, korupsi, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya dapat dianggap sebagai bentuk kekafiran modern. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan perilaku kita dan mengingatkan kita akan konsekuensi dari perbuatan kita di dunia dan akhirat.
Kesimpulan:
Surat An-Nisa ayat 56 merupakan ayat yang penuh peringatan dan sekaligus ajakan untuk selalu beriman dan taat kepada Allah SWT. Ayat ini menggambarkan dengan gamblang azab yang mengerikan bagi mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah, tetapi juga menekankan kebijaksanaan dan keadilan Allah dalam menetapkan hukuman. Pesan ayat ini tetap relevan di era modern, mengajak kita untuk selalu merenungkan perilaku kita dan mengingatkan kita akan pentingnya keimanan dan ketaatan sebagai landasan kehidupan yang baik. Ayat ini bukan hanya sekadar ancaman, tetapi juga motivasi untuk selalu berbuat baik dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Dengan memahami makna dan konteks ayat ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bermakna dan mendekati ridha Allah SWT.