Surat Ar-Ra’d, surat ke-13 dalam Al-Qur’an, terdiri dari 43 ayat dan dikategorikan sebagai surat Makkiyyah. Ayat ke-5 surat ini menyoroti sikap skeptis dan penolakan kaum kafir Mekkah terhadap hari Kiamat, sekaligus menjadi pengantar bagi pemahaman yang lebih luas tentang keesaan Allah SWT dan konsekuensi dari keingkaran terhadap-Nya. Ayat ini bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah tantangan retorik yang mengungkap paradoks dalam pemikiran kaum kafir dan menegaskan keadilan Ilahi.
Berikut analisis mendalam ayat ke-5 Surat Ar-Ra’d, meliputi teks Arab, transliterasi Latin, terjemahan, dan tafsirnya dari berbagai perspektif:
Teks Arab:
وَإِن تَعْجَبْ فَعَجَبٌ قَوْلُهُمْ أَإِذَا كُنَّا تُرَابًا أَإِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ وَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ عَلَيْهِمُ الأَغْلَالُ ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Transliterasi Latin:
Wa in ta’jab fa ‘ajabun qaulu-hum, a iza kunna turaaban a inna la fi khalqin jadid? Ula-ika llazina kafaru bi rabbihim, wa ula-ika llazina ‘alaihimul-aghlaal, ula-ika ash-haabu n-naar, hum fiha khaaliduun.
Terjemahan (Indonesia):
"Dan jika kamu (Muhammad) merasa heran, maka yang lebih mengherankan adalah ucapan mereka (orang-orang kafir), "Apakah sesungguhnya jika kami telah menjadi tanah, kami akan diciptakan kembali menjadi makhluk yang baru?" Mereka itulah orang-orang yang mengingkari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang akan dibelenggu (di lehernya), mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."
Tafsir dan Analisis:
Ayat ini diawali dengan ungkapan " wa in ta’jab fa ‘ajabun qaulu-hum " (Dan jika kamu merasa heran, maka yang lebih mengherankan adalah ucapan mereka…). Ini bukan sekadar pernyataan heran, melainkan sebuah strategi retorika yang digunakan Allah SWT untuk mengarahkan perhatian Nabi Muhammad SAW, dan melalui beliau kepada seluruh umat manusia, kepada paradoks dalam pemikiran kaum kafir. Allah SWT seakan-akan berkata, "Jika kamu heran dengan penolakan mereka, maka perhatikanlah betapa lebih mengherankannya pernyataan mereka sendiri."
Pertanyaan retoris kaum kafir, "a iza kunna turaaban a inna la fi khalqin jadid? " (Apakah sesungguhnya jika kami telah menjadi tanah, kami akan diciptakan kembali menjadi makhluk yang baru?), mengungkapkan keraguan mendalam mereka terhadap kemampuan Allah SWT untuk membangkitkan manusia setelah kematian. Mereka memandang kematian sebagai akhir segalanya, proses pembusukan jasad hingga menjadi tanah sebagai titik tak kembali. Konsep kebangkitan kembali bagi mereka adalah sesuatu yang mustahil, sebuah khayalan yang tak masuk akal.
Namun, ayat ini dengan cerdas membalikkan logika kaum kafir. Mereka tidak mengingkari kemampuan Allah SWT dalam penciptaan awal manusia dari tanah (turab), proses yang jauh lebih ajaib dan kompleks daripada kebangkitan kembali. Allah SWT menciptakan manusia dari sesuatu yang tak bernyawa, memberikannya ruh, dan membentuknya menjadi makhluk yang sempurna. Lalu, mengapa mereka meragukan kemampuan Allah SWT untuk melakukan hal yang "lebih mudah" – yaitu membangkitkan kembali manusia dari tanah? Ini adalah paradoks yang mencolok dan mengungkap ketidakkonsistenan dalam pemikiran mereka.
Ayat ini kemudian memberikan konsekuensi atas keingkaran mereka: "Ula-ika llazina kafaru bi rabbihim…" (Mereka itulah orang-orang yang mengingkari Tuhan mereka…). Keingkaran terhadap hari Kiamat bukanlah sekadar penolakan terhadap sebuah doktrin, melainkan merupakan penolakan terhadap keesaan dan kekuasaan Allah SWT itu sendiri. Kemampuan untuk menciptakan dan membangkitkan adalah bukti nyata dari kekuasaan Ilahi yang mutlak. Menolak konsep kebangkitan berarti menolak kekuasaan Allah SWT, dan karenanya, merupakan bentuk kekafiran yang nyata.
Hukuman atas keingkaran ini dijelaskan selanjutnya: "wa ula-ika llazina ‘alaihimul-aghlaal…" (dan mereka itulah orang-orang yang akan dibelenggu (di lehernya)…). Ungkapan " al-aghlaal " (belenggu) merupakan metafora yang kuat, menunjukkan siksaan dan penindasan yang akan mereka alami. Belenggu ini bukan hanya belenggu fisik, melainkan juga belenggu dosa dan konsekuensi dari perbuatan mereka. Mereka terbelenggu oleh keingkaran mereka sendiri, terikat pada jalan menuju kebinasaan.
Puncak dari hukuman ini adalah "ula-ika ash-haabu n-naar, hum fiha khaaliduun " (mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya). Neraka di sini bukan sekadar tempat api, melainkan representasi dari siksa abadi yang pantas diterima oleh mereka yang mengingkari Allah SWT dan menolak kebenaran. Ungkapan "hum fiha khaaliduun " (mereka kekal di dalamnya) menekankan sifat kekal dan tak terhindarkan dari hukuman tersebut. Tidak ada jalan keluar, tidak ada penebusan, hanya siksa yang abadi.
Tafsir Ibnu Katsir dan Perspektif Lainnya:
Tafsir Ibnu Katsir, sebagaimana dikutip dalam teks berita, menekankan pendustaan kaum musyrik terhadap hari Kiamat sebagai latar belakang ayat ini. Mereka menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah SWT dalam alam semesta, namun tetap menolak konsep kebangkitan. Ibnu Katsir menunjukkan paradoks dalam pemikiran mereka: mereka mengakui keajaiban penciptaan awal, namun menolak keajaiban kebangkitan.
Kementerian Agama RI, dalam tafsirnya, menambahkan bahwa pertanyaan retoris kaum musyrik tersebut muncul berulang kali dalam Al-Qur’an, menunjukkan betapa kuatnya penolakan mereka terhadap hari Kiamat. Pertanyaan ini bukan sekadar pertanyaan, melainkan pernyataan keingkaran yang keras dan penuh dengan kesombongan.
Dari perspektif linguistik, ayat ini kaya akan penggunaan kata ganti " ula-ika " (mereka itulah), yang mengulang dan menekankan konsekuensi dari keingkaran. Penggunaan kata ini menciptakan kesan yang kuat dan tak terbantahkan, menunjukkan bahwa hukuman tersebut pasti akan terjadi.
Secara tematis, ayat ini berkaitan erat dengan tema keesaan Allah SWT, kekuasaan-Nya yang tak terbatas, dan konsekuensi dari keingkaran. Ayat ini merupakan peringatan keras bagi mereka yang meragukan janji Allah SWT dan menolak kebenaran. Ia juga memberikan kekuatan dan keyakinan bagi orang-orang beriman akan janji Allah SWT tentang kebangkitan dan balasan di akhirat.
Kesimpulannya, ayat ke-5 Surat Ar-Ra’d bukan hanya sebuah ayat yang membahas tentang hari Kiamat, melainkan sebuah studi kasus tentang keingkaran, paradoks dalam pemikiran manusia, dan keadilan Ilahi. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas, pentingnya keimanan yang teguh, dan konsekuensi dari keingkaran terhadap kebenaran. Ia merupakan peringatan sekaligus janji, peringatan bagi mereka yang mengingkari, dan janji bagi mereka yang beriman akan kebenaran dan keadilan Ilahi.