Surat Yasin, surat ke-36 dalam Al-Qur’an, kerap disebut sebagai "jantung Al-Qur’an" karena kandungannya yang sarat makna dan keutamaan. Ayat ke-40 surat ini, khususnya, menawarkan renungan mendalam tentang keteraturan alam semesta dan kebesaran kekuasaan Allah SWT, yang jauh melampaui kemampuan manusia. Ayat tersebut, dalam bahasa Arab, Latin, dan terjemahannya, menunjukkan sebuah realitas kosmik yang menakjubkan dan sekaligus merendahkan:
(Teks Arab dan Latin dihilangkan karena keterbatasan kemampuan AI untuk menampilkan teks Arab dengan akurasi sempurna. Namun, pembaca dapat dengan mudah menemukan teks tersebut melalui pencarian online.)
Terjemahan ayat ini, "Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya," merupakan pernyataan faktual yang sekaligus mengandung pesan spiritual yang profound. Secara ilmiah, ayat ini mencerminkan pemahaman yang akurat tentang pergerakan benda-benda langit. Matahari dan bulan, dengan orbit dan kecepatannya masing-masing, tidak akan pernah saling "mengejar" atau bertabrakan. Fenomena siang dan malam pun terjadi secara bergantian, mengikuti rotasi bumi dan revolusi bumi mengelilingi matahari. Keteraturan ini bukanlah kebetulan, melainkan sebuah sistem yang terencana dan terkendali.
Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menjelaskan ayat ini sebagai penegasan atas "sunnatullah," hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Allah SWT. Sunnatullah ini mengatur seluruh aspek alam semesta, termasuk pergerakan matahari, bulan, bintang, dan planet-planet lainnya. Tidak ada yang dapat mengubah atau melanggar sunnatullah ini, karena ia merupakan manifestasi dari kehendak dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Ketidakmungkinan matahari mengejar bulan atau malam mendahului siang bukan hanya sebuah deskripsi astronomi, melainkan juga sebuah metafora tentang kekuasaan Allah yang mutlak dan tak terbantahkan.
Tafsir Al-Azhar, melalui uraian Buya Hamka, menambahkan perspektif yang lebih luas. Ayat 40 Surat Yasin mengajak kita untuk merenungkan kebesaran dan keluasan alam semesta. Jarak antar bintang, antara bumi dan bulan, dan antara bumi dan matahari sangatlah jauh, melampaui batas pemahaman manusia biasa. Buya Hamka menggunakan analogi perjalanan luar angkasa untuk menggambarkan hal ini: bahkan dengan kecepatan cahaya, perjalanan antar planet akan memakan waktu yang sangat lama.
Lebih lanjut, Buya Hamka menggunakan analogi lautan lepas untuk menggambarkan keteraturan alam semesta. Bayangkan sebuah kapal di tengah lautan yang luas, tanpa daratan yang terlihat. Di kejauhan, kapal-kapal lain terlihat berlayar, masing-masing mengikuti jalurnya sendiri tanpa saling bertabrakan. Demikian pula, matahari, bumi, bulan, dan bintang-bintang bergerak dalam orbitnya masing-masing, dengan jarak yang sangat jauh, namun tetap teratur dan terkendali di bawah pengaturan Allah SWT.
Namun, renungan atas ayat ini tidak berhenti pada aspek ilmiah dan kosmologisnya saja. Lebih dari itu, ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kecilnya manusia di hadapan kebesaran Allah SWT. Ketika kita memandang langit malam yang dihiasi jutaan bintang, kita akan menyadari betapa kecil dan tidak berdayanya kita. Banyak bintang yang jauh lebih besar dari bumi, bahkan ada yang jutaan kali lebih besar. Hal ini mengingatkan kita akan ketidakmampuan kita untuk memahami sepenuhnya kekuasaan dan kebijaksanaan Ilahi.
Perbandingan antara kemampuan manusia dalam mengatur sistem di bumi dengan kekuasaan Allah dalam mengatur alam semesta juga menjadi poin penting. Meskipun manusia telah mengembangkan sistem lalu lintas yang canggih, kecelakaan tetap terjadi. Hal ini menunjukkan keterbatasan kemampuan manusia dalam mengendalikan segala sesuatu. Berbeda dengan Allah SWT, yang mampu mengatur seluruh jagat raya dengan sempurna dan tanpa cacat. Kecelakaan lalu lintas, misalnya, menunjukkan keterbatasan perencanaan dan pengendalian manusia, sementara keteraturan pergerakan benda-benda langit menunjukkan kesempurnaan pengaturan Allah SWT.
Ayat 40 Surat Yasin, karenanya, bukan hanya sekadar pernyataan ilmiah tentang pergerakan benda langit. Ia merupakan sebuah pengingat akan kemahakuasaan Allah SWT, kebesaran alam semesta, dan kecilnya manusia di hadapan-Nya. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kekuasaan Allah yang mutlak dan tak terbantahkan, serta menumbuhkan rasa takjub dan ketaatan kepada-Nya. Ia mengajarkan kita untuk menghargai keteraturan alam semesta sebagai bukti nyata dari kebijaksanaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, ayat ini memberikan perspektif yang seimbang antara pengetahuan ilmiah dan keimanan spiritual, menunjukkan bahwa keduanya saling melengkapi dan mengarah kepada pemahaman yang lebih utuh tentang Tuhan dan alam semesta-Nya. Subhanallah.