Indonesia kembali bersiap menyambut bulan suci Ramadan. Menjelang tahun 2025, pertanyaan mengenai awal puasa Ramadan 1446 H kembali mengemuka, memicu diskusi dan perhitungan dari berbagai pihak, termasuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammadiyah, dan pemerintah. Perbedaan metodologi yang digunakan kerap menghasilkan prediksi yang berbeda, memunculkan potensi perbedaan penetapan tanggal awal puasa di Indonesia. Lantas, bagaimana prediksi masing-masing pihak dan apa implikasinya bagi umat Muslim di Indonesia?
BRIN: Pendekatan Ilmiah Berbasis Astronomi Menuju Rekomendasi Awal Puasa
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), konsisten dengan pendekatan ilmiahnya, melakukan perhitungan astronomi untuk memprediksi awal Ramadan 1446 H. Peneliti Utama bidang Astronomi BRIN, Thomas Djamaluddin, menjelaskan bahwa perkembangan teknologi aplikasi astronomi telah mempermudah proses hisab (perhitungan) penentuan kalender Hijriah. Namun, penggunaan data numerik tersebut membutuhkan pemahaman analisis fisis yang mendalam.
"Hal yang diperlukan hanyalah kemampuan analisis fisis atas angka-angka yang dihasilkan ilmu hisab. Untuk memaknai angka-angka tersebut diperlukan kriteria imkan rukyat (kemungkinan teramati) atau kriteria visibilitas hilal (keterlihatan bulan sabit pertama)," tegas Thomas Djamaluddin dalam keterangannya yang dikutip dari blog pribadinya.
Kriteria imkan rukyat ini, menurut Thomas, berlandaskan data rukyat (pengamatan) jangka panjang. Data tersebut berupa parameter yang menggambarkan karakteristik fisik hilal dan pengaruh cahaya syafak (cahaya senja) yang dapat mengganggu pengamatan. Tantangan utama dalam rukyat hilal terletak pada kontras yang rendah antara cahaya hilal yang tipis dengan cahaya syafak yang masih cukup terang di ufuk. Keberhasilan pengamatan hilal sangat bergantung pada kontras tersebut.
"Kontras itu diperlukan untuk terlihatnya hilal," jelasnya.
BRIN menggunakan kriteria baru MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang telah disepakati di Indonesia. Kriteria ini mensyaratkan tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi geosentrik minimal 6,4 derajat. Dengan menggunakan aplikasi Accurate Hijri Calendar yang dikembangkan oleh Dr. Abdurro’uf, BRIN melakukan perhitungan berdasarkan kriteria MABIMS.
Hasil perhitungan BRIN menunjukkan bahwa hilal pada akhir bulan Syaban 1446 H kemungkinan besar sudah terlihat pada Jumat, 28 Februari 2025. Oleh karena itu, BRIN memprediksi awal puasa Ramadan 1446 H jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Prediksi ini sejalan dengan perhitungan yang dilakukan oleh Muhammadiyah.
Namun, penting untuk diingat bahwa BRIN tidak memiliki otoritas untuk menetapkan tanggal resmi awal Ramadan. Perhitungan BRIN semata-mata merupakan rekomendasi ilmiah yang dapat menjadi rujukan bagi pemerintah dan masyarakat.
"Analisis astronomis yang lebih rinci nanti akan dibahas menjelang Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah," tambahnya. Hal ini menunjukkan komitmen BRIN untuk terus menyempurnakan metode perhitungan dan memberikan informasi yang akurat kepada publik. Lebih lanjut, Thomas juga menyinggung kemungkinan perbedaan hasil hisab dengan sidang isbat, yang berpotensi menetapkan awal Ramadan pada 2 Maret 2025.
Muhammadiyah: Konsisten dengan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT)
Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, telah lebih dulu mengumumkan awal puasa Ramadan 1446 H berdasarkan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Menurut KHGT, 1 Ramadan 1446 H jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Pengumuman ini didasarkan pada perhitungan ijtimak (konjungsi) akhir bulan Syaban.
Data yang disampaikan oleh Ketua Biro Komunikasi dan Pelayanan Umum PP Muhammadiyah, Edy Kuscahyanto, menunjukkan bahwa ijtimak akhir bulan Syaban 1446 H terjadi pada Jumat, 28 Februari 2025 pukul 00:44:38 GMT. Berdasarkan perhitungan tersebut, Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan pada Sabtu, 1 Maret 2025. Puasa Ramadan menurut Muhammadiyah akan berlangsung selama 29 hari, sehingga Idul Fitri 1446 H diprediksi jatuh pada Minggu, 30 Maret 2025.
Konsistensi Muhammadiyah dalam menggunakan KHGT menunjukkan komitmen mereka terhadap metode perhitungan yang telah mereka tetapkan. Hal ini juga memperlihatkan transparansi dalam proses penetapan awal Ramadan, dengan merilis detail perhitungan ijtimak dan kriteria yang digunakan.
Pemerintah: Menunggu Sidang Isbat untuk Penetapan Resmi
Berbeda dengan BRIN dan Muhammadiyah, pemerintah hingga saat ini belum secara resmi mengumumkan awal Ramadan 2025. Namun, kalender Hijriah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam) Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan bahwa 1 Ramadan 1446 H jatuh pada 1 Maret 2025, dan Idul Fitri 1446 H pada 31 Maret 2025.
Penetapan resmi awal Ramadan oleh pemerintah akan dilakukan setelah menggelar sidang isbat. Sidang isbat merupakan forum yang mempertimbangkan dua hal utama: hasil rukyat (pengamatan hilal) dan hisab (perhitungan astronomi). Sidang ini biasanya diadakan sehari sebelum akhir bulan Syaban. Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk ahli falak, perwakilan ormas Islam, dan pemerintah.
Penggunaan metode rukyat dan hisab dalam sidang isbat mencerminkan upaya pemerintah untuk mengakomodasi berbagai pendekatan dalam penentuan awal Ramadan. Hal ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan dan menghindari perbedaan yang dapat menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Kesimpulan: Menuju Harmoni atau Perbedaan yang Berkelanjutan?
Prediksi awal puasa Ramadan 1446 H dari BRIN dan Muhammadiyah yang sama-sama jatuh pada 1 Maret 2025, menunjukkan potensi adanya konsensus. Namun, penetapan resmi pemerintah melalui sidang isbat masih menjadi penentu akhir. Kemungkinan adanya perbedaan antara hasil hisab dan rukyat, atau perbedaan interpretasi terhadap kriteria visibilitas hilal, masih dapat terjadi.
Perbedaan metodologi dan interpretasi dalam penentuan awal Ramadan merupakan realitas yang telah berlangsung lama di Indonesia. Namun, upaya untuk mencapai harmoni dan mengurangi perbedaan tetap perlu dilakukan. Transparansi dalam proses perhitungan dan komunikasi yang efektif antara berbagai pihak sangat penting untuk membangun pemahaman dan mengurangi potensi konflik.
Ke depan, peningkatan akurasi metode hisab, standarisasi kriteria rukyat, serta dialog yang intensif antara para ahli dan pemangku kepentingan dapat membantu mengurangi perbedaan dan menciptakan suasana yang lebih kondusif dalam menyambut bulan suci Ramadan. Semoga perbedaan ini tidak menjadi pemicu perpecahan, melainkan menjadi momentum untuk saling belajar dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.