Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), lebih dari sekadar istilah, merupakan representasi dari pemahaman dan praktik keagamaan Islam yang moderat dan berakar kuat pada ajaran Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya. Aliran ini, yang menjadi pedoman bagi mayoritas umat Islam di dunia, tidak hanya mengatur tata cara ibadah, namun juga membentuk kerangka akidah dan akhlak yang kokoh, mengarahkan umatnya pada jalan tengah di tengah arus pemikiran yang beragam dan terkadang ekstrem. Memahami Aswaja berarti menelusuri perjalanan panjang sejarah Islam, memahami tantangan yang dihadapi, dan mengapresiasi peran para ulama besar yang menjaga kemurnian ajaran agama.
Sejarah Aswaja: Lahir dari Perpecahan dan Berkembang dalam Moderasi
Sejarah Aswaja tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik dan sosial pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M. Kepemimpinan umat Islam yang masih mencari bentuk pasca masa kenabian, mengakibatkan munculnya berbagai interpretasi dan pemahaman ajaran Islam yang berbeda-beda. Perpecahan ini bukan hanya sekadar perbedaan pendapat, melainkan juga melahirkan kelompok-kelompok dengan ideologi yang bertolak belakang dengan ajaran inti Islam.
Munculnya kelompok-kelompok ekstrem seperti Rafidhah (sebagian kelompok Syiah yang menolak legitimasi tiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib) dan Ghulat (kelompok Syiah yang lebih radikal, bahkan mengkafirkan sebagian besar sahabat Nabi kecuali pengikut Ali bin Abi Thalib) menunjukkan betapa rapuhnya persatuan umat Islam di masa awal. Perbedaan pendapat yang awalnya seputar kepemimpinan, berkembang menjadi perselisihan ideologis yang berpotensi memecah belah.
Situasi semakin kompleks dengan berdirinya Dinasti Umayyah pada tahun 661 M di bawah kepemimpinan Muawiyah. Perubahan sistem kekhalifahan dari sistem konstitusional menuju monarki absolut memicu konflik lebih lanjut di antara kelompok-kelompok Sunni, Syiah, dan Khawarij. Ekspansi wilayah kekuasaan Islam juga turut mempengaruhi dinamika sosial dan budaya, menghasilkan berbagai interpretasi ajaran agama yang beragam.
Di tengah gejolak ini, Aswaja muncul sebagai sebuah upaya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam. Aliran ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan para tabiin dan tabiut tabiin, generasi penerus sahabat Nabi yang berupaya menjaga dan mengembangkan ajaran Rasulullah SAW. Mereka dengan bijak menyaring berbagai pemahaman yang muncul, mengutamakan pemahaman yang moderat dan berlandaskan Al-Quran dan Sunnah yang sahih.
Tokoh-Tokoh Penentu dalam Perumusan Aswaja
Meskipun Aswaja tidak memiliki pendiri tunggal, dua tokoh ulama besar, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi, memainkan peran kunci dalam merumuskan dan menyebarkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah. Keduanya, dengan pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi, berhasil merumuskan sistematika akidah yang komprehensif dan moderat, menangkal paham-paham yang menyimpang dan menjaga kemurnian ajaran Islam.
Imam Al-Asy’ari, dengan karyanya yang monumental, menawarkan sistematika akidah yang sistematis dan rasional, menjelaskan berbagai aspek aqidah Islam dengan cara yang mudah dipahami. Pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan pemikiran teologis Islam, dan madzhab Asy’ariyah yang dikembangkannya menjadi rujukan utama bagi mayoritas ulama.
Sementara itu, Imam Al-Maturidi, dengan pendekatannya yang lebih menekankan pada aspek rasional dan filosofis, memberikan kontribusi signifikan dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran Islam. Madzhab Maturidiyah, yang dikembangkan olehnya, juga menjadi rujukan penting dalam kalangan ulama, terutama dalam aspek kalam (teologi).
Keduanya, meskipun berbeda pendekatan, sama-sama menekankan pentingnya berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, serta menghormati pendapat para sahabat Nabi. Ajaran mereka menjadi pondasi yang kokoh bagi perkembangan Aswaja hingga saat ini.
Aswaja: Lebih dari Sekadar Madzhab
Penting untuk dipahami bahwa Aswaja bukanlah sekadar madzhab fiqih seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, atau Hanbali. Aswaja lebih luas dari itu, merupakan sebuah pemahaman komprehensif tentang akidah, fiqih, akhlak, dan seluruh aspek kehidupan beragama. Dalam konteks akidah, Aswaja umumnya berpegang pada madzhab Asy’ariyah atau Maturidiyah, sedangkan dalam fiqih, pengikut Aswaja dapat mengikuti salah satu dari empat madzhab yang utama.
Kyai Hasyim Asy’ari, salah satu tokoh penting dalam perkembangan Islam di Indonesia, menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah adalah mereka yang dalam akidah mengikuti madzhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan dalam fiqih berpegang pada salah satu dari empat madzhab. Pernyataan ini mencerminkan pemahaman Aswaja yang integratif dan komprehensif.
Tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Al-Baihaqi, Al-Baqillani, Al-Qusyairi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhruddin Al-Razi, Al-Nawawi, Al-Suyuti, dan banyak lagi, telah memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan dan memperkaya pemahaman Aswaja. Mereka berasal dari berbagai madzhab fiqih, menunjukkan bahwa Aswaja bersifat inklusif dan tidak membatasi diri pada satu madzhab tertentu.
Aswaja di Indonesia: Benteng Moderasi dan Toleransi
Di Indonesia, Aswaja memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki keragaman budaya dan tradisi yang kaya. Aswaja, dengan pemahamannya yang moderat dan toleran, berperan penting dalam menjaga harmoni antarumat beragama dan mencegah munculnya paham-paham radikalisme.
Para ulama dan tokoh-tokoh Aswaja di Indonesia telah memberikan kontribusi besar dalam menjaga keutuhan NKRI. Mereka mengajarkan pentingnya menjaga persatuan, menghormati perbedaan, dan hidup berdampingan secara damai. Aswaja menjadi benteng pertahanan terhadap paham-paham ekstrimis yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Kesimpulan: Aswaja sebagai Jalan Tengah Menuju Perdamaian
Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) bukan sekadar aliran keagamaan, melainkan sebuah jalan tengah yang moderat dan inklusif. Lahir dari pergumulan sejarah Islam, Aswaja menawarkan solusi yang bijak dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, serta merujuk pada pemahaman para ulama terdahulu, Aswaja terus relevan dan menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjaga kemurnian ajaran agama dan membangun peradaban yang damai dan harmonis. Peran Aswaja dalam menjaga moderasi dan toleransi, khususnya di Indonesia, tidak dapat dipandang sebelah mata dan perlu terus dijaga dan dikembangkan untuk masa depan yang lebih baik.