Jakarta, 20 Februari 2025 – Persoalan klasik dalam penyelenggaraan ibadah haji kembali mencuat ke permukaan. Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) RI, Hilman Latief, mengungkapkan ketidaksinambungan sistem penanggalan antara anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebagai biang keladi inefisiensi anggaran. Hal ini disampaikan Latief dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) Penyelenggara Haji dan Umrah di Gedung DPR, Jakarta.
Perbedaan mendasar terletak pada penggunaan tahun Masehi untuk APBN dan tahun Hijriah untuk BPIH. "Sistem tahun penganggaran biaya haji saat ini, antara APBN dan BPIH, berbeda. APBN menggunakan tahun Masehi, sementara BPIH menggunakan tahun Hijriah," jelas Latief dalam rapat bersama Komisi VIII DPR RI. Menurutnya, perbedaan ini bukan sekadar detail administratif, melainkan memiliki implikasi serius terhadap efektivitas dan efisiensi anggaran.
Ketidaksinkronan tersebut, lanjut Latief, berpotensi menimbulkan pelaksanaan anggaran yang tidak efisien dan tidak efektif. Lebih jauh, perbedaan sistem penanggalan ini dapat mengakibatkan penyelenggaraan ibadah haji berlangsung dua kali dalam satu tahun Masehi. Kondisi ini, selain menimbulkan kebingungan administrasi, juga berdampak pada pembengkakan anggaran APBN yang tidak terduga.
"Bahkan, sangat dimungkinkan dalam tahun Masehi tertentu diselenggarakan ibadah haji sebanyak dua kali yang saling beririsan, dan itu bisa terjadi berulang kali karena tanggalnya sangat berdekatan," tegas Latief. Hal ini disebabkan perbedaan panjang kalender Hijriah dan Masehi. Kalender Hijriah lebih pendek sekitar 10-12 hari dibandingkan kalender Masehi. Akibatnya, setiap 32-33 tahun sekali, ibadah haji dapat jatuh dua kali dalam satu tahun Masehi.
Fenomena ini, menurut perhitungan Kemenag, akan terjadi kembali pada tahun 2028. Haji 1449 Hijriah bertepatan dengan Januari atau Februari 2025, sementara Haji 1450 Hijriah diperkirakan berlangsung pada Desember 2028. Situasi ini menimbulkan tantangan signifikan dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran, karena membutuhkan alokasi dana yang lebih besar dari yang diproyeksikan dalam satu tahun anggaran Masehi.
Lebih lanjut, Latief menjelaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji dua kali dalam satu tahun Masehi bukan hanya masalah administrasi semata. Hal ini juga berimplikasi pada berbagai aspek penyelenggaraan haji, mulai dari pengadaan akomodasi, transportasi, hingga pembinaan jamaah. Koordinasi yang rumit dan potensi tumpang tindih dalam berbagai layanan menjadi tantangan yang perlu diatasi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Kemenag mengusulkan agar sinkronisasi sistem penanggalan antara APBN dan BPIH diatur lebih lanjut dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan Umrah yang saat ini sedang dalam proses penyusunan. Latief berharap, RUU tersebut dapat mengakomodasi solusi yang komprehensif untuk mengatasi ketidaksinambungan sistem penanggalan ini.
"Kami mengusulkan agar dalam RUU Haji dan Umrah diatur mekanisme sinkronisasi antara sistem penanggalan APBN dan BPIH," ujar Latief. Menurutnya, sinkronisasi ini sangat krusial untuk menghindari lonjakan anggaran yang tidak terduga dan memastikan stabilitas keuangan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dengan demikian, anggaran yang dialokasikan dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien.
Ketidakpastian anggaran yang diakibatkan oleh perbedaan sistem penanggalan ini, menurut Latief, juga berpotensi mengganggu perencanaan jangka panjang penyelenggaraan ibadah haji. Kemenag membutuhkan kepastian anggaran yang memadai dan terencana dengan baik untuk memastikan kelancaran penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya. Ketidakpastian ini dapat menghambat upaya Kemenag dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada jamaah haji.
Lebih dari sekadar masalah teknis, perbedaan sistem penanggalan ini juga berpotensi menimbulkan kompleksitas birokrasi. Proses penganggaran yang rumit dan berbelit-belit dapat menghambat kecepatan dan efisiensi dalam penyaluran dana. Hal ini dapat berdampak pada kualitas layanan yang diberikan kepada jamaah haji.
Oleh karena itu, sinkronisasi sistem penanggalan menjadi sangat penting untuk menciptakan sistem pengelolaan anggaran yang lebih terintegrasi, transparan, dan akuntabel. Hal ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran, serta memastikan bahwa dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan ibadah haji digunakan secara optimal untuk memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah.
Kemenag berharap DPR RI dapat mendukung usulan tersebut dan memasukkannya dalam RUU Haji dan Umrah. Dengan adanya payung hukum yang jelas, diharapkan permasalahan ketidaksinambungan sistem penanggalan ini dapat terselesaikan secara permanen. Sinkronisasi ini, menurut Latief, tidak hanya akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi anggaran, tetapi juga akan memberikan kepastian dan stabilitas dalam penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang.
Selain itu, Kemenag juga berencana untuk melakukan kajian lebih mendalam terkait dengan implikasi perbedaan sistem penanggalan ini terhadap berbagai aspek penyelenggaraan ibadah haji. Kajian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi yang lebih komprehensif untuk mendukung penyusunan kebijakan yang tepat dan efektif.
Kesimpulannya, permasalahan ketidaksinambungan sistem penanggalan antara APBN dan BPIH dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan isu krusial yang membutuhkan solusi segera. Usulan Kemenag untuk memasukkan mekanisme sinkronisasi dalam RUU Haji dan Umrah merupakan langkah strategis untuk mengatasi permasalahan ini secara permanen dan memastikan efektivitas serta efisiensi anggaran dalam penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang. Hal ini penting untuk menjamin keberlangsungan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada para jamaah haji Indonesia. Semoga DPR RI dapat memberikan dukungan penuh terhadap usulan ini demi terwujudnya penyelenggaraan ibadah haji yang lebih baik dan terencana.