Jakarta – Kisah Nabi Ibrahim, Sarah, dan Hajar, yang selama ini dikenal sebagai bagian penting dari sejarah Islam, menyimpan sebuah detail yang seringkali luput dari perhatian: asal-usul anting. Lebih dari sekadar aksesori, anting dalam konteks ini menjadi simbol kompleks yang merefleksikan dinamika hubungan manusia, khususnya bagaimana kecemburuan dapat dihadapi dengan bijaksana, atau sebaliknya, dapat memicu konflik yang mendalam. Narasi ini, yang dihimpun dari berbagai sumber termasuk rujukan seperti buku "Orang yang Jatuh Cinta dan Rasa Cemburu" karya Al-Imam Syamsyud Din, menawarkan perspektif yang kaya akan nuansa psikologis dan sosial, melebihi sekadar kisah keagamaan semata.
Cerita bermula dari kesabaran dan keikhlasan Sarah, istri Nabi Ibrahim. Bertahun-tahun lamanya, pasangan suci ini mendambakan kehadiran seorang anak, namun takdir belum mengabulkan doa mereka. Dalam sebuah tindakan yang dilandasi kasih sayang dan keinginan agar suaminya merasakan kebahagiaan menjadi seorang ayah, Sarah mengambil keputusan yang terbilang berani: menghibahkan Hajar, budaknya, kepada Nabi Ibrahim untuk dinikahi. Keputusan ini, yang awalnya dibalut niat mulia, menimbulka benih-benih konflik yang akan berbuah pahit di kemudian hari.
Kehadiran Hajar dalam kehidupan Nabi Ibrahim membawa perubahan signifikan. Hajar, dengan keanggunan dan kesucian hatinya, berhasil mendapatkan tempat di hati Nabi Ibrahim. Puncaknya, Hajar mengandung dan melahirkan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim yang kelak menjadi tokoh penting dalam sejarah Islam. Kabar gembira ini, yang seharusnya dirayakan, justru menjadi pemicu kecemburuan yang membara di hati Sarah.
Kecemburuan Sarah bukanlah kecemburuan yang sederhana. Ini adalah kecemburuan yang terpendam, tumbuh subur dalam kegelisahan batiniah, dan akhirnya meledak dalam bentuk sumpah serapah yang mengguncang kedamaian rumah tangga mereka. Dalam puncak amarahnya, Sarah bersumpah dengan lantang, "Aku akan memotong tiga bagian tubuh Hajar!" Kata-kata yang terlontar bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan cerminan luka batin yang mendalam akibat ketidakmampuannya untuk memiliki anak sendiri.
Reaksi Nabi Ibrahim atas sumpah Sarah menunjukkan kebijaksanaan dan kedewasaan spiritual yang luar biasa. Ia tidak langsung menghukum atau mencela istrinya, melainkan mendekati Sarah dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Dengan pertanyaan yang penuh pengertian, "Tegakah engkau benar-benar melakukan itu, wahai Sarah?", Nabi Ibrahim mencoba meredam amarah Sarah dan mengarahkannya pada jalan yang lebih bijak.
Sarah, yang menyadari kesalahannya, namun masih terbelenggu oleh emosi, menjawab dengan nada bingung, "Apa yang harus kulakukan? Lisanku telah terlanjur mengucapkan sumpah ini." Di sinilah peran Nabi Ibrahim sebagai pemimpin keluarga dan teladan umat terlihat. Ia tidak membiarkan sumpah Sarah menjadi kenyataan, melainkan menawarkan solusi yang cerdas dan penuh simbolisme. Nabi Ibrahim menyarankan agar Sarah melubangi kedua daun telinga Hajar dan mengkhitaninya sebagai bentuk penebusan sumpah tersebut.
Perlu dicermati bahwa saran Nabi Ibrahim ini bukanlah tindakan yang sembarangan. Lubang di daun telinga Hajar, yang kemudian dihiasi dengan anting, dapat diinterpretasikan sebagai simbol pengorbanan dan penerimaan. Hajar, dengan kerelaannya menjalani saran tersebut, menunjukkan ketaatan dan kesabaran yang luar biasa. Ia menerima konsekuensi dari situasi yang tidak ia ciptakan, menunjukkan kedewasaan emosional yang patut diacungi jempol. Pemasangan anting pun bukan sekadar tindakan fisik, melainkan simbol transformasi, perubahan dari situasi yang penuh konflik menuju penerimaan dan kedamaian.
Ironisnya, tindakan Sarah yang dilandasi kecemburuan justru menghasilkan efek yang berlawanan dengan harapannya. Anting yang menghiasi telinga Hajar justru menambah kecantikan dan pesonanya. Sarah, yang menyaksikan perubahan ini, mengeluarkan kata-kata getir, "Sesungguhnya apa yang kulakukan hanya membuat dia semakin cantik saja." Kalimat ini menunjukkan betapa kecemburuan dapat membutakan seseorang dan menghasilkan hasil yang bertolak belakang dengan niat awalnya.
Namun, kisah ini tidak berakhir dengan penyesalan Sarah semata. Kecemburuan yang mendalam terus menggerogoti hati Sarah. Kedekatan Nabi Ibrahim dengan Hajar tetap menjadi sumber konflik. Pada akhirnya, Sarah meminta agar Hajar dipindahkan dari rumah mereka. Nabi Ibrahim, dengan penuh pengertian, mengabulkan permintaan Sarah dan memindahkan Hajar ke Makkah.
Perpisahan fisik antara Hajar dan Nabi Ibrahim tidak mengurangi kasih sayang Nabi Ibrahim kepada Hajar. Bahkan, untuk menunjukkan cintanya yang tulus, Nabi Ibrahim rela menempuh perjalanan jauh dari Syam ke Makkah setiap hari dengan mengendarai Buraq, semata-mata untuk bertemu dengan Hajar. Tindakan ini menunjukkan betapa cinta sejati mampu mengatasi hambatan fisik dan emosional.
Kisah Nabi Ibrahim, Sarah, dan Hajar bukan sekadar cerita tentang kecemburuan. Ini adalah kisah tentang manusia dengan segala kompleksitas emosinya. Kecemburuan, sebagai emosi manusiawi, diperlihatkan dalam berbagai nuansa, dari yang terpendam hingga yang meledak. Namun, kisah ini juga menekankan pentingnya kebijaksanaan dalam menghadapi konflik. Nabi Ibrahim, dengan sikapnya yang bijak dan penuh pengertian, menunjukkan bagaimana konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan dan kebencian.
Lebih jauh lagi, kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya mengelola emosi. Kecemburuan, jika tidak dikelola dengan baik, dapat merusak hubungan dan menyebabkan penderitaan. Sebaliknya, dengan sikap yang bijak dan penuh pengertian, konflik dapat diatasi dan hubungan dapat diperbaiki. Anting, sebagai simbol dari kisah ini, menjadi pengingat akan pentingnya memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang damai, bukan malah memperburuk situasi dengan tindakan yang didorong oleh emosi negatif. Kisah ini, walau berlatar belakang sejarah yang jauh, tetap relevan hingga saat ini dan menawarkan pelajaran berharga bagi setiap individu dalam menghadapi dinamika hubungan interpersonal. Wallahu a’lam.