Anjuran untuk membunuh cicak dalam ajaran Islam telah menjadi perbincangan yang kerap muncul di kalangan umat Muslim. Keberadaan hewan kecil yang tampak tidak berbahaya ini, menimbulka pertanyaan mendasar: mengapa Islam menganjurkan untuk membunuhnya? Jawabannya tidak sesederhana anggapan umum, melainkan berakar pada peristiwa-peristiwa sejarah yang termaktub dalam riwayat-riwayat Nabi dan dikaitkan pula dengan temuan-temuan ilmiah terkini mengenai kesehatan. Artikel ini akan mengkaji secara mendalam asal-usul anjuran tersebut, mempertimbangkan berbagai hadis yang relevan, serta perspektif ulama kontemporer.
Peristiwa Baitul Maqdis dan Peran Cicak dalam Kebakaran:
Salah satu peristiwa kunci yang menghubungkan cicak dengan anjuran pemusnahannya adalah kebakaran Masjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis, tempat suci umat Islam yang sarat makna sejarah. Baitul Maqdis, yang pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Ka’bah, telah menyaksikan berbagai peristiwa penting, termasuk perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Masjid ini, meski tanggal pembangunannya masih diperdebatkan, telah mengalami beberapa kali kerusakan dan renovasi, termasuk peristiwa kebakaran yang tragis.
Peristiwa kebakaran yang paling dikenal terjadi pada 21 Agustus 1969, dilakukan oleh seorang ekstrimis Yahudi bernama Dennis Michael Rohan. Rohan menggunakan bahan kimia mudah terbakar, menghanguskan sebagian besar masjid, termasuk Mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi yang bersejarah. Kejadian ini memicu kemarahan dan kecaman internasional dari umat Islam di seluruh dunia, dan menjadi salah satu faktor pendorong berdirinya Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Namun, kaitan cicak dengan kebakaran ini tidak hanya terbatas pada peristiwa modern tersebut. Beberapa riwayat hadis menyebutkan peran cicak dalam memperbesar kobaran api saat Baitul Maqdis terbakar di masa lalu. Hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, yang sumbernya disebut bersumber dari Kitab Al-Sunan Al-Kubra (9/318) dengan status hadis mauquf yang sanadnya shahih, menceritakan bahwa cicak meniup-niup api, sementara kelelawar berusaha memadamkannya dengan sayapnya. Riwayat ini, yang dikutip dari Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr berdasarkan perkataan Aisyah RA, menyatakan: "Pada hari Tempat Suci terbakar, cicak mengobarkan api dengan mulutnya dan kelelawar memadamkannya dengan sayapnya."
Kisah Nabi Ibrahim AS dan Uji Coba Api:
Selain peristiwa Baitul Maqdis, kisah Nabi Ibrahim AS juga dikaitkan dengan anjuran membunuh cicak. Dalam kisah ini, Nabi Ibrahim AS dilemparkan ke dalam api oleh Raja Namrud. Berbagai makhluk berusaha memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim AS, namun cicak justru meniup api agar semakin berkobar. Perilaku cicak ini, yang dianggap sebagai pengkhianatan, menjadi salah satu alasan mengapa Rasulullah SAW menganjurkan untuk membunuhnya. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Muslim, serta riwayat dari bekas budak Al-Fakih bin Al-Mughirah yang bertemu Aisyah RA, menguatkan kisah ini. Aisyah RA menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh cicak karena perannya dalam memperbesar api yang membakar Nabi Ibrahim AS.
Hadis-Hadis yang Menguatkan Anjuran Membunuh Cicak:
Beberapa hadis lain memperkuat anjuran membunuh cicak. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, yang menyebutkan bahwa terdapat pahala bagi siapa pun yang membunuh cicak, dengan pahala yang lebih besar jika berhasil membunuhnya dengan sekali pukul. Hadis ini, yang diriwayatkan oleh Muslim, menunjukkan adanya keutamaan dalam membunuh cicak, dan menekankan pentingnya keefektifan dalam menjalankan perintah tersebut. Imam Nawawi dalam Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim menjelaskan perbedaan tingkat pahala ini sebagai penghargaan atas usaha yang efektif dan cepat dalam menjalankan perintah Rasulullah SAW.
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Abi Waqqash RA dan tercatat dalam Shahih Muslim, menyebut cicak sebagai "penjahat kecil" dan memerintahkan untuk membunuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak hanya sekadar menganjurkan, namun juga memberikan penegasan atas pentingnya membunuh cicak.
Pandangan Ulama Kontemporer:
Meskipun hadis-hadis tersebut memberikan dasar atas anjuran membunuh cicak, ulama kontemporer memberikan penafsiran yang lebih bernuansa. Buya Yahya, Pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon, menjelaskan bahwa anjuran tersebut tidak semata-mata didasarkan pada dendam atas tindakan cicak terhadap Nabi Ibrahim AS, melainkan juga mempertimbangkan aspek kesehatan. Cicak, menurut Buya Yahya, seringkali membawa kotoran dan kuman yang dapat menyebabkan penyakit. Kotoran cicak, terutama dalam mazhab Syafi’i, dianggap najis. Oleh karena itu, membunuh cicak dianggap sebagai upaya menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, terutama di tempat-tempat ibadah.
Buya Yahya juga menekankan bahwa anjuran ini tidak berlaku untuk semua jenis cicak, namun terutama yang berada di lingkungan rumah dan tempat tinggal manusia. Hal ini menunjukkan adanya konteks dan pertimbangan praktis dalam penerapan anjuran tersebut.
Kesimpulan:
Anjuran membunuh cicak dalam Islam memiliki akar sejarah yang kuat, dikaitkan dengan peristiwa kebakaran Baitul Maqdis dan kisah Nabi Ibrahim AS. Namun, penafsiran modern menekankan aspek kesehatan dan kebersihan sebagai pertimbangan utama. Hadis-hadis yang relevan menunjukkan adanya keutamaan dalam membunuh cicak, namun perlu dipahami dalam konteksnya. Ulama kontemporer memberikan penafsiran yang lebih komprehensif, mempertimbangkan aspek sejarah, kesehatan, dan konteks sosial budaya. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif dan berimbang terhadap anjuran ini sangatlah penting, menghindari pemahaman yang sempit dan tekstual. Anjuran ini lebih menekankan pada upaya menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, bukan sekadar pemusnahan semata-mata atas dasar kisah sejarah. Wallahu a’lam bishawab.