Aliran Qadariyah, sebuah mazhab teologi dalam Islam, telah mewarnai sejarah pemikiran keagamaan dengan perdebatan sengitnya mengenai hakikat kebebasan manusia di tengah-tengah kekuasaan Tuhan yang mutlak. Bertolak belakang dengan aliran Jabariyah yang menekankan determinisme ilahi, Qadariyah menempatkan penekanan kuat pada kemampuan manusia untuk memilih dan bertindak, menganggap manusia sebagai aktor aktif dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Nama "Qadariyah" sendiri berasal dari kata "qadara" yang berarti kuasa, mencerminkan keyakinan inti aliran ini: manusia memiliki kuasa atau kemampuan ("qadar") dalam menentukan tindakannya.
Buku "Wawasan Islam" karya Saifuddin Anshari menjelaskan Qadariyah sebagai paham yang meyakini manusia memiliki kuasa tanpa batas dalam segala perbuatannya. Pandangan ini diperkuat oleh Abuddin Nata dalam "Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf", yang menyatakan bahwa dalam paham Qadariyah, manusia memiliki "qudrat" atau kekuatan untuk mewujudkan kehendaknya, bukan sekadar tunduk pasif pada qada dan qadar Tuhan. Konsep iman, keyakinan, dan perbuatan bagi penganut Qadariyah merupakan kesatuan yang saling berkaitan, di mana manusia memiliki kebebasan memilih tindakan, baik yang bernilai positif maupun negatif.
Namun, sejarah mencatat penerimaan yang kurang hangat terhadap aliran ini. Seperti yang diungkapkan Harun Nasution dan dikutip dalam "Pendidikan Agama Islam: Akidah Akhlak Untuk Madrasah Aliyah Kelas XI" oleh Toto Edidarmo dan Mulyadi, Qadariyah mendapat penolakan keras dari sebagian besar umat Islam pada masa awal kemunculannya. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, masyarakat Arab pra-Islam memiliki kecenderungan fatalisme yang kuat. Kedua, paham Qadariyah dianggap bertentangan dengan pemahaman sebagian besar umat Islam tentang ajaran Islam yang menekankan peran Tuhan dalam segala hal. Ketiga, para penguasa yang menganut paham Jabariyah melihat paham Qadariyah sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan mereka yang berlandaskan konsep takdir mutlak. Jika manusia memiliki kebebasan penuh, maka otoritas penguasa yang dianggap sebagai representasi kehendak Tuhan pun menjadi terkikis. Oleh karena itu, penolakan terhadap Qadariyah tidak hanya datang dari kalangan ulama, tetapi juga dari kalangan penguasa yang memiliki kepentingan politik.
Asal-Usul dan Perkembangan Aliran Qadariyah: Sebuah Perdebatan Historiografis
Mengenai asal-usul aliran Qadariyah, terdapat beberapa pendapat yang saling berbeda. Ahmad Amin dalam buku "Ilmu Kalam" (yang disusun oleh Dra. Safni Rida) menyebutkan Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Al-Dimasqy sebagai tokoh awal yang memperkenalkan paham ini. Ma’bad, seorang tabi’in yang terpercaya, dikenal sebagai murid Hasan Al-Basri, ulama besar pada masanya. Sementara Ghailan, seorang orator ulung, memiliki latar belakang keluarga yang dekat dengan kekuasaan, ayahnya pernah menjadi budak yang dimerdekakan oleh Utsman bin Affan.
Namun, Ibnu Nabatah dalam "Syarh Al-Uyun", seperti yang dikutip Ahmad Amin, menawarkan versi berbeda. Ia menunjuk pada kelompok orang Irak yang awalnya beragama Kristen, kemudian masuk Islam, dan kembali ke Kristen sebagai cikal bakal Qadariyah. Dari kelompok inilah, menurut Ibnu Nabatah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham tersebut. Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas dalam menelusuri sejarah awal Qadariyah, mengingat jumlah penganutnya yang cukup banyak pada masa itu.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa gerakan Qadariyah di Irak terkait erat dengan pengajian Hasan Al-Basri, sementara yang lain menunjuk Damaskus sebagai pusat perkembangannya, mengarah pada dugaan pengaruh kuat dari kalangan Kristen yang banyak bekerja di istana-istana khalifah. Ketidaksepakatan ini menunjukkan betapa sulitnya melacak secara pasti asal-usul suatu aliran pemikiran di masa lalu, di mana sumber-sumber sejarah seringkali terbatas dan terkadang saling bertentangan. Perdebatan mengenai asal-usul Qadariyah pun menjadi cerminan dari kompleksitas sejarah pemikiran Islam sendiri.
Tokoh-Tokoh Utama dan Perannya dalam Menyebarkan Paham Qadariyah
Dua tokoh utama Qadariyah yang paling dikenal adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasqy, seperti yang dijelaskan dalam "Akidah Akhlak Untuk Madrasah Ibtidaiyah Kelas 11" oleh Toto Adidarmo, Mulyadi, dan Miliki Aan. Ma’bad, seorang tabi’in yang berguru pada Hasan Al-Basri, wafat pada tahun 80 H. Kematiannya yang kontroversial, disebutkan sebagai akibat pemberontakan bersama Ibnu al-Asy’ats atau karena tuduhan zindik, menunjukkan betapa kontroversial sosoknya dan aliran yang dianutnya.
Ghailan, penerus Ma’bad, dikenal sebagai penulis dan orator. Pada masa mudanya, ia pernah menjadi pengikut Al-Harits Ibnu Sa’id, yang dikenal sebagai pendusta. Meskipun pernah menyatakan taubat di hadapan Umar bin Abdul Aziz, ia kembali pada paham Qadariyah setelah wafatnya Umar. Akhirnya, ia dihukum mati oleh Hisyam bin Abd al-Malik setelah perdebatan sengit dengan Al-Awza’i yang dihadiri langsung oleh khalifah. Kisah hidup Ghailan dan Ma’bad menunjukkan betapa kerasnya penindasan terhadap penganut Qadariyah dan betapa berisikonya mempertahankan keyakinan mereka di tengah tekanan politik dan keagamaan.
Doktrin dan Pokok Pikiran Aliran Qadariyah: Sebuah Interpretasi yang Beragam
Dr. Ahmad Amin dalam "Fajrul Islam" merumuskan pokok-pokok pikiran Qadariyah. Meskipun detailnya tidak dijelaskan secara lengkap dalam teks yang tersedia, inti ajaran Qadariyah terletak pada penekanan atas kebebasan manusia dalam bertindak. Mereka meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan, sehingga manusia bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya. Ini berbeda dengan Jabariyah yang menganggap segala sesuatu telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia hanya sebagai alat pasif dalam rencana ilahi.
Namun, penting untuk diingat bahwa interpretasi terhadap doktrin Qadariyah mungkin beragam, tergantung pada sumber dan konteksnya. Tidak semua penganut Qadariyah memiliki pandangan yang seragam, dan perbedaan pendapat di antara mereka mungkin terjadi. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif tentang doktrin Qadariyah membutuhkan studi lebih lanjut dan analisis kritis terhadap berbagai sumber sejarah dan teologi.
Kesimpulannya, aliran Qadariyah merupakan bagian penting dari sejarah pemikiran Islam yang menyoroti perdebatan abadi mengenai kebebasan manusia dan takdir ilahi. Meskipun mendapat penolakan keras pada masa awal kemunculannya, paham ini memberikan kontribusi penting dalam perkembangan teologi Islam dengan menawarkan perspektif yang berbeda tentang peran manusia dalam rencana Tuhan. Pemahaman yang mendalam tentang Qadariyah memerlukan analisis yang cermat terhadap konteks sejarah, tokoh-tokoh utamanya, dan berbagai interpretasi terhadap doktrinnya. Perdebatan seputar Qadariyah tidak hanya menjadi perdebatan teologis, tetapi juga perdebatan yang berimplikasi pada kekuasaan politik dan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, studi tentang Qadariyah tetap relevan hingga saat ini, memberikan wawasan berharga tentang dinamika pemikiran dan kekuasaan dalam sejarah Islam.