Jakarta – Tangis. Sebuah manifestasi emosi manusia yang universal, melampaui batas budaya dan agama. Dalam konteks Islam, tangis bukanlah sekadar reaksi fisiologis terhadap duka atau sukacita, melainkan juga sarana spiritual yang mendalam, sebuah jembatan menuju kedekatan dengan Sang Khalik. Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, menyebut tangis dalam beberapa ayatnya, menunjukkan bahwa ekspresi emosi ini, jauh dari larangan, bahkan memiliki makna dan nilai spiritual yang signifikan.
Pemahaman yang keliru seringkali memisahkan aspek emosional dan spiritual dalam kehidupan beragama. Namun, Islam, sebagai agama yang holistik, mengakui dan merangkul seluruh dimensi kemanusiaan, termasuk emosi. Menangis, dalam konteks tertentu, bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kepekaan hati dan kejernihan jiwa yang peka terhadap kebesaran dan keagungan Allah SWT. Sebagaimana Allah SWT menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk, air mata pun menjadi anugerah yang memiliki peran penting dalam mengungkapkan kedalaman iman dan ketaqwaan.
Buku "Sedikit Tertawa, Banyak Menangis" karya Azizah Hefni menawarkan perspektif yang menarik tentang peran tangis dalam spiritualitas Islam. Penulis mengargumenkan bahwa menangis, khususnya menangis di hadapan Allah SWT, merupakan ekspresi penghambaan yang totalitas. Bukan sekadar menumpahkan kesedihan, melainkan sebuah proses taqarrub (mendekatkan diri) dan tafakkur billah (merenungkan kebesaran Allah). Air mata yang tercurah dalam keadaan ini menjadi lambang keikhlasan dan ketundukan yang tulus kepada kehendak-Nya. Dalam hal ini, menangis bukan tanda kekurangan, melainkan sebuah kemuliaan spiritual yang patut dihargai.
Beberapa ayat Al-Qur’an secara eksplisit menyinggung tentang tangisan, memberikan konteks yang beragam terhadap maknanya:
1. An-Najm (53): 43:
"وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ"
(Wa annahu huwa adhkaka wa abka)
"Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis."
Ayat ini menunjukkan kekuasaan Allah SWT atas semua hal, termasuk emosi manusia. Allah SWT mampu menimbulkan rasa gembira dan sedih, tawa dan tangis. Ayat ini tidak melarang menangis, melainkan menegaskan bahwa emosi manusia ada di bawah kendali Allah SWT. Tangis dan tawa merupakan bagian dari kehidupan manusia yang telah ditentukan oleh-Nya.
2. At-Taubah (9): 82:
"فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ"
(Falyadhhaku qaliilan walyabku katsiiran jazaan bima kaanu yaksibuun)
"Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan."
Berbeda dengan ayat sebelumnya, ayat ini menunjukkan konteks tangis sebagai balasan atas perbuatan. Ayat ini diarahkan kepada orang-orang yang telah melakukan kesalahan dan kejahatan. Tangis di sini merupakan ungkapan penyesalan dan rasa bersalah atas perbuatan yang telah dilakukan. Menangis dalam konteks ini merupakan sebuah proses tobat dan penyucian diri.
3. Yusuf (12): 16:
"وَجَاءُوا أَبَاهُمْ عَشِيًّا يَبْكُونَ"
(Waja’uu abaahum ‘asyiyan yabkuun)
"Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis."
Ayat ini menceritakan kisah keluarga Yusuf yang menangis karena kehilangan Yusuf. Tangis di sini merupakan ungkapan kesedihan yang wajar dan manusiawi. Islam tidak melarang menangis karena kesedihan, asalkan tidak berlebihan dan tidak mengarah pada keputusasaan.
4. Al-Isra’ (17): 109:
"وَيَخِرُّّونَ لِلْأَعْقَابِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا"
(Wayakhirruuna lil-a’qaabi yabkuun wayaziiduhum khusyu’an)
"Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’."
Ayat ini menggambarkan keadaan orang-orang yang beriman yang merasakan keharuan mendalam ketika mendengarkan ayat-ayat Allah SWT. Tangis di sini merupakan ungkapan ketakjuban, keharuan, dan kekhusyukan yang mendalam terhadap kebesaran Allah SWT. Menangis dalam konteks ini menunjukkan kekuatan iman dan kedekatan dengan Allah SWT.
5. Maryam (19): 58:
Ayat ini menceritakan tentang tangisan para nabi dan orang-orang yang saleh ketika mendengarkan ayat-ayat Allah SWT. Tangis mereka merupakan ungkapan keharuan dan ketakjuban yang mendalam terhadap kebesaran Allah SWT.
6. An-Najm (53): 60:
"وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ"
(Wa tadhhakuun wa la tabkuun)
"Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?"
Ayat ini merupakan pertanyaan retorik yang menunjukkan ketidaklayakan untuk tertawa dan tidak menangis di hadapan kebesaran Allah SWT. Ayat ini mengajak untuk merenungkan kehidupan dan kebesaran Allah SWT dengan hati yang tawadhu’.
7. At-Taubah (9): 92:
Ayat ini menceritakan tentang orang-orang yang menangis karena kesedihan karena tidak mampu berinfak di jalan Allah SWT. Tangis di sini merupakan ungkapan kesedihan dan penyesalan karena tidak mampu berbuat baik.
8. Al-Ma’idah (5): 83:
Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang menangis karena kebenaran yang telah mereka ketahui. Tangis di sini merupakan ungkapan keharuan dan penyesalan atas ketidaktaatan mereka kepada Allah SWT.
Dari berbagai ayat di atas, terlihat bahwa tangis dalam Al-Qur’an dipresentasikan dalam berbagai konteks. Ada tangis karena kesedihan, penyesalan, keharuan, dan kekhusyukan. Namun, semua itu menunjukkan bahwa menangis bukanlah sesuatu yang dilarang dalam Islam, bahkan dalam konteks tertentu merupakan sebuah ungkapan iman dan kedekatan dengan Allah SWT. Yang penting adalah niat dan tujuan dari tangis tersebut. Jika tangis dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan merenungkan kebesaran-Nya, maka tangis tersebut akan menjadi sesuatu yang mulia. Sebaliknya, jika tangis dilakukan karena keputusasaan atau ketidakpercayaan kepada Allah SWT, maka tangis tersebut tidak akan memberikan manfaat apapun.
Kesimpulannya, Islam tidak melarang menangis. Justru, dalam konteks spiritualitas yang benar, tangis dapat menjadi sebuah ibadah yang menunjukkan keikhlasan dan ketaqwaan seorang hamba kepada Tuhannya. Menangis sebagai ekspresi emosi manusia harus dipahami dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian dari proses spiritual yang mengarah pada kedekatan dengan Allah SWT. Penting untuk menjaga agar tangis tidak berlebihan dan tidak mengarah pada keputusasaan, melainkan sebagai manifestasi iman yang tulus dan penyerahan diri yang sempurna kepada kehendak Allah SWT.