Aroma harum kapur barus, mungkin sudah akrab di indra penciuman masyarakat Indonesia. Namun, "air kafur," minuman surgawi yang disebut dalam Al-Qur’an, mungkin masih terdengar asing. Kaitan keduanya, menarik untuk diulas lebih dalam, khususnya mengingat kemungkinan kapur barus, yang berasal dari pohon kapur (Dryobalanops aromatica) asli Indonesia, merupakan representasi duniawi dari minuman surga tersebut. Artikel ini akan mengupas lebih mendalam tentang air kafur dalam konteks keagamaan, sejarah kapur barus di Indonesia, serta menganalisis persamaan dan perbedaan keduanya.
Air Kafur: Janji Kesegaran Surgawi
Salah satu anugerah tak terhingga bagi penghuni surga adalah limpahan rezeki, termasuk makanan dan minuman yang tak terkira. Firman Allah SWT dalam Surah Al-Mursalat ayat 43, "Makan dan minumlah dengan nikmat karena apa yang selalu kamu kerjakan," merupakan gambaran kenikmatan yang tak terbatas bagi mereka yang mendapatkan ridho-Nya. Di antara kenikmatan itu, air kafur menduduki posisi yang istimewa.
Air kafur dipercaya berasal dari mata air Telaga Kautsar, telaga jernih dan luas yang memancarkan kesejukan di surga. Setelah melewati ujian berat di hari kiamat, penghuni surga akan menyegarkan diri dengan minuman beraroma harum ini. Telaga Kautsar sendiri merupakan anugerah khusus dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW, sebagaimana tercantum dalam hadist Riwayat Muslim: "Al-Kautsar adalah sungai yang dijanjikan oleh Rabbku ‘Azza wa Jalla untukku. Di sana terdapat kebaikan yang melimpah. Ia adalah telaga yang akan didatangi oleh umatku pada hari kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang."
Keistimewaan air kafur juga ditegaskan dalam Surah Al-Insan ayat 5-6: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum (khamar) dari gelas yang campurannya air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan dapat mereka pancarkan dengan mudah." Ayat ini menggambarkan kemudahan dan kenikmatan yang tak terkira dalam menikmati air kafur surgawi.
Tafsir Buya Hamka dan Jejak Kapur Barus di Nusantara
Ulama besar Indonesia, Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar jilid 10, mengaitkan air kafur dengan kapur barus yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau menjelaskan bahwa air kafur merupakan zat putih dan wangi yang dihasilkan dari pohon kayu, yang dikenal sebagai kapur barus. Nama "kapur barus" sendiri berasal dari kata "kafuur" dan "barus," menunjukkan asal usul kapur ini dari daerah Barus di Sumatera.
Tafsir Buya Hamka menarik karena mengindikasikan kontak perdagangan antara dunia Arab dan Nusantara jauh sebelum masa Nabi Muhammad SAW. Keberadaan kapur barus dalam teks suci menunjukkan bahwa rempah-rempah dari Nusantara, termasuk kapur barus, sudah dikenal dan dihargai di dunia Arab pada masa itu. Hal ini menunjukkan peran penting Nusantara dalam jaringan perdagangan global pada masa lampau.
Air Kafur Surgawi vs. Kapur Barus Duniawi: Perbedaan Kualitatif
Meskipun keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu pohon kapur (Dryobalanops aromatica), Buya Hamka menekankan perbedaan kualitatif antara air kafur surgawi dan kapur barus duniawi. Air kafur surga dikatakan jauh lebih nikmat dan harum daripada kapur barus yang kita kenal. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kenikmatan surga melampaui batas persepsi manusia di dunia.
Surah al-Baqarah ayat 25 menjelaskan tentang kemiripan makanan dan minuman di surga dengan yang ada di dunia, namun dengan kualitas yang jauh lebih tinggi. Ayat ini menegaskan bahwa kenikmatan surga merupakan bentuk peningkatan dari apa yang kita kenal di dunia, bukan sekadar duplikasi yang identik.
Kapur Barus: Sejarah dan Manfaat
Kapur barus memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia. Bukti penggunaan kapur barus dapat ditelusuri hingga peradaban Mesir Kuno. Dalam Thibbun Nabawi, Imam Adz Dzahabi mencatat penggunaan kapur barus dalam pemandian jenazah, sebagaimana tercantum dalam Hadits Bukhari nomor 1180. Kapur barus digunakan untuk memberikan aroma harum pada jenazah, menjaga kekuatan dan kesejukan tubuh, serta memperlambat proses pembusukan.
Di Indonesia, Sumatera, khususnya daerah Barus, pernah menjadi pusat perdagangan kapur barus. Pedagang dari Arab dan Persia datang untuk memperoleh rempah berharga ini. Kapur barus asli Indonesia dihasilkan dari pohon kapur (Dryobalanops aromatica), dengan kristal putih yang agak transparan dan aroma khas yang kuat. Namun, kini kapur barus asli semakin sulit ditemukan, dan banyak yang beredar di pasaran merupakan produk imitasi.
Selain untuk pemandian jenazah dan pengusir serangga, kapur barus juga memiliki berbagai manfaat kesehatan tradisional, seperti meredakan luka bakar ringan, membantu mengatasi gangguan pencernaan, dan meringankan masalah pernapasan. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan kapur barus harus tetap berhati-hati dan sesuai dengan petunjuk penggunaan.
Kesimpulan:
Air kafur surgawi dan kapur barus duniawi memiliki kaitan yang menarik. Meskipun kemungkinan berasal dari sumber yang sama, yaitu pohon kapur (Dryobalanops aromatica) asli Indonesia, perbedaan kualitatif keduanya sangat signifikan. Air kafur surgawi merupakan lambang kenikmatan tak terbatas di surga, sedangkan kapur barus duniawi memiliki nilai historis dan manfaat tertentu dalam kehidupan manusia. Kajian lebih lanjut tentang keduanya membuka wawasan tentang kekayaan alam Indonesia dan keindahan janji surga dalam pandangan Islam. Penelitian lebih mendalam tentang komposisi kimia kapur barus dan kemungkinan kaitannya dengan deskripsi air kafur dalam teks agama juga diperlukan untuk memperkuat pemahaman kita tentang keduanya. Lebih dari itu, penelusuran sejarah perdagangan kapur barus dari Indonesia ke dunia akan memberikan gambaran lebih lengkap tentang peran Indonesia dalam peradaban manusia.