ERAMADANI.COM, DENPASAR – Di tengah bulan suci ramadhan yang pebuh dengan keberkehan, media sosial kembali di gemparkan oleh tanggapan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia yang angkat bicara
terkait promosi pelacuran dan penistaan terhadap institusi keluarga.
Akun media Magdalene malah mengkampanyekan pekerja seks komersil dan bahkan menyamakan dan atau merendahkan para Ibu Rumah Tangga.
Mengangapi hal seperti ini, AILA melalui Ketua Umum Rita H Soebagio,Msi mengeluarkan pernyataan sikap terkait postingan media tersebut pada hari Ahad (17/05/2020).
Tanggapan AILA
Pertama, AILA sangat menyesalkan di tengah pandemi Covid-19 yang sedang dialami masyarakat Indonesia dan bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
Muncul publikasi yang merendahkan institusi keluarga dan mempromosikan kejahatan seksual, yaitu pelacuran, yang dilakukan oleh salah satu media feminis di Indonesia, Magdalene.
Magdalene memuat publikasinya dalam laman web nya dengan judul “Prostitusi Bisa Jadi Pilihan yang Berdaulat” pada tanggal 16 Mei 2020.
Kedua, publikasi tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat dan merupakan bukti nyata adanya ancaman ketahanan keluarga di Indonesia, yaitu kampanye nilai-nilai feminis yang memusuhi institusi keluarga dan mengusung isu kedaulatan tubuh serta kebebasan seksual.
Publikasi tersebut menampilkan pernyataan, kutipan dan wawancara para pendukung pelacuran, serta di saat yang bersamaan sekaligus memunculkan komentar yang merendahkan dan menghina peran dan kedudukan istri dalam institusi pernikahan/keluarga.
Menurut opini mereka, profesi pelacur dianggap memiliki kemerdekaan dan kontrol penuh atas tubuhnya. Pelacur bebas kapan menerima pesanan, menentukan jenis pelanggan yang akan dilayani, dan mendapatkan bayaran ketika berhubungan seksual dgn kliennya.
Sedangkan seorang Istri dianggap sebagai pelacur yang diperbudak, karena selain digunakan untuk hubungan seksual, istri harus merawat rumah dan keluarga dan tunduk pada suami.
Ideologi Kedaulatan Tubuh
Ketiga, ideologi kedaulatan tubuh dalam berbagai publikasi feminis seperti Magdalene, yang menganggap kemerdekaan perempuan terletak pada kebebasan dalam mengontrol organ seksualnya, bukanlah barang baru karena telah dikampanyekan secara masif di Indonesia.
Isu kedaulatan tubuh juga merupakan filosofi dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (“RUU PKS”) yang menitikberatkan pidana pada ada tidaknya consent atau persetujuan dalam hubungan seksual, bukan pada baik buruknya sebuah perilaku seksual.
Bagi para pengusung kedaulatan tubuh, prostitusi dan perzinaan tidak dianggap sebagai bentuk kekerasaan seksual jika dilakukan atas dasar suka sama suka.
Ideologi kedaulatan tubuh tentunya sangat bertentangan dengan konsep keluarga yang merupakan hubungan suci dan sakral karena diikat oleh nilai-nilai agama.
Pernikahan dan keluarga lebih dari sekedar penjajaan dan eksploitasi organ seksual demi uang sebagaimana pelacuran.
Pernikahan dan keluarga adalah unit sosial masyarakat terkecil yang menunjang peradaban manusia. Keluarga yang ideal merupakan tempat pulang yang hangat bagi jiwa dan raga manusia.
AILA: Kebebasan Berekspresi
Keempat, AILA mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi yang senantiasa digaungkan oleh media feminis dan gerakan pemikiran lainnya.
Bukan berarti menjadikan media bebas untuk menyampaikan hal-hal yang justru bersinggungan dengan nilai dan prinsip masyarakat Indonesia.
Apalagi sampai memicu keresahan masyarakat. Untuk itu, menyikapi dampak yang ditimbulkan atas pemberitaan Magdalene.
AILA mengharapkan agar media tidak hanya sekedar menjalankan fungsinya untuk menyajikan berita tetapi juga disertai dengan tanggung jawab sosialnya untuk menyajikan kebenaran.
Kelima, AILA secara khusus menghimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap publikasi yang mengkampanyekan isu kedaulatan tubuh.
Mempromosikan kebebasan seksual, serta memusuhi pernikahan dan institusi keluarga.
Masyarakat diharapkan dapat memperkuat ketahanan keluarga dan terlibat secara aktif untuk mengawasi atau melaporkan.
Agar media semacam ini tidak terus mempengaruhi pola pikir masyarakat, khususnya generasi muda Indonesia.
Terakhir, pihakya juga menghimbau pemerintah untuk berperan secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap konten informasi.
Terutama yang patut diduga dapat mengarah pada penghinaan, pencemaran nama baik, maupun kebohongan yang merugikan masyarakat.
Tentu tanpa harus membatasi kebebasan media itu sendiri, namun harus sesuai dengan etika etika penulisan. (HAD)