Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), sebuah istilah yang akrab di telinga umat Islam, merujuk pada kelompok yang teguh berpegang pada Sunnah dan tradisi Nabi Muhammad SAW serta kesepakatan mayoritas umat. Pemahaman mendalam terhadap Aswaja membutuhkan eksplorasi etimologi, sejarah kemunculannya, dan prinsip-prinsip yang menjadi landasannya.
Etimologi dan Definisi Ahlussunnah Wal Jamaah
Secara etimologis, "Ahlussunnah" terdiri dari kata "ahlu" yang berarti golongan, kelompok, atau keluarga, dan "as-sunnah" yang merujuk pada hadits atau tradisi Nabi Muhammad SAW. "Al-Jamaah" berarti jamaah atau mayoritas, menunjukkan kesepakatan dan persatuan umat. Dengan demikian, Ahlussunnah Wal Jamaah secara harfiah berarti "golongan yang mengikuti Sunnah dan jamaah (mayoritas)."
Namun, definisi ini membutuhkan penajaman. Bukan sekadar mengikuti sebagian Sunnah, melainkan komitmen menyeluruh terhadap ajaran Nabi SAW dalam segala aspek kehidupan, baik perkataan, pemikiran, maupun perbuatan. Ini mencakup pengamalan sesuai contoh Nabi dan para sahabat, berdasarkan dalil syari yang termaktub dalam Al-Qur’an, hadits shahih, atau ijtihad para sahabat yang terpercaya. Ketaatan pada Sunnah ini bukan sekadar ritual, melainkan juga menyangkut akidah, etika, dan seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Hadits Nabi SAW, "Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian," (HR. Abu Daud), menegaskan pentingnya komitmen yang kuat terhadap Sunnah.
Aspek "al-Jamaah" menunjukkan pentingnya persatuan dan kesatuan umat. Ini bukan sekadar jumlah mayoritas, melainkan juga kesepakatan dan konsensus dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Berpegang teguh pada tali Allah SWT secara berjamaah, menghindari perpecahan dan perselisihan, merupakan bagian integral dari Aswaja. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam).
Secara terminologis, Ahlussunnah Wal Jamaah juga diartikan sebagai kelompok ulama ahli tafsir, hadits, dan fiqih yang konsisten mengikuti dan berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Empat mazhab utama dalam Islam – Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali – umumnya dianggap sebagai representasi dari Ahlussunnah Wal Jamaah, meskipun perbedaan pendapat dalam hal furu’ (cabang-cabang hukum) tetap ada dan diakui sebagai bagian dari dinamika ijtihad.
Sejarah Kemunculan Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Perspektif Multifaceted
Sejarah kemunculan istilah Ahlussunnah Wal Jamaah masih menjadi perdebatan akademis. Beberapa pandangan perlu dipertimbangkan:
-
Pandangan Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa Aswaja telah ada sejak masa Rasulullah SAW. Mereka menunjuk pada sejumlah hadits yang dianggap sebagai embrio dari pemahaman Aswaja, yang menekankan pentingnya mengikuti Sunnah Nabi. Pandangan ini melihat Aswaja sebagai inti ajaran Islam sejak awal.
-
Pandangan Kedua: Pandangan lain menelusuri kemunculan istilah ini pada akhir abad ke-5 Hijriah, semasa ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan). Periode ini ditandai dengan upaya Hasan ibn Ali untuk menyerahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah ibn Abi Sufyan guna mencegah perang saudara. Upaya penyatuan umat ini dianggap sebagai konteks historis lahirnya "al-Jamaah" dalam istilah Ahlussunnah Wal Jamaah.
-
Pandangan Ketiga: Ada pula yang menghubungkan kemunculan Aswaja sebagai reaksi terhadap munculnya aliran Mu’tazilah. Mu’tazilah, dengan penekanannya pada akal dan ijtihad bebas, menimbulkan kekhawatiran di kalangan ulama yang lebih menekankan pada teks dan tradisi. Istilah Ahlussunnah Wal Jamaah, dalam konteks ini, muncul sebagai penanda kelompok mayoritas yang berpegang teguh pada Sunnah sebagai penyeimbang terhadap pandangan Mu’tazilah yang dianggap menyimpang dari tradisi. Namun, perlu ditekankan bahwa perbedaan pendapat ini tidak selalu berarti pertentangan yang absolut. Perbedaan ijtihad dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tetap diakui dalam konteks Aswaja.
Prinsip-Prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah: Landasan Moderasi dan Keseimbangan
Aswaja bukan sekadar label, melainkan sistem pemahaman dan pengamalan Islam yang berlandaskan prinsip-prinsip fundamental. Beberapa prinsip utama Aswaja meliputi:
-
Tawhid (Keesaan Tuhan): Aswaja menekankan keesaan Allah SWT secara mutlak, menolak segala bentuk syirik (penyembahan selain Allah) dan bid’ah (inovasi dalam agama yang menyimpang dari Sunnah). Keesaan Tuhan ini menjadi landasan utama dalam seluruh aspek kehidupan.
-
Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW: Aswaja menempatkan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Pemahaman dan pengamalan Sunnah dilakukan secara komprehensif, mencakup akidah, ibadah, muamalah, dan seluruh aspek kehidupan. Upaya untuk memahami Sunnah dilakukan dengan metode ilmiah, memperhatikan sanad (asal usul) dan matan (isi) hadits.
-
Mengikuti Salafus Shalih (Generasi Terbaik): Aswaja menjadikan para sahabat Nabi SAW dan generasi terbaik setelah mereka sebagai teladan. Pemahaman dan pengamalan ajaran Islam diukur berdasarkan pemahaman dan amalan mereka. Namun, ini bukan berarti meniru secara membabi buta, melainkan mengambil esensi ajaran mereka dan mengadaptasikannya sesuai konteks zaman.
-
Menghindari Ekstremisme dan Fanatisme: Aswaja menekankan pentingnya moderasi dan keseimbangan dalam beragama. Ini berarti menghindari sikap ekstrem, baik dalam hal akidah maupun perilaku. Aswaja menolak kekerasan dan terorisme atas nama agama, serta menekankan pentingnya toleransi dan dialog antarumat beragama.
-
Berpegang Teguh pada Ijma’ (Kesepakatan Ulama): Aswaja mengakui pentingnya ijma’ atau kesepakatan ulama dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Namun, ijma’ yang dimaksud bukanlah kesepakatan sembarangan, melainkan kesepakatan ulama yang berkompeten dan berdasarkan dalil yang shahih. Perbedaan pendapat dalam hal furu’ (cabang-cabang hukum) tetap diakui sebagai bagian dari dinamika ijtihad.
-
Menjaga Keseimbangan antara Akal dan Wahyu: Aswaja menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu dalam memahami ajaran Islam. Akal digunakan untuk memahami dan menafsirkan wahyu, tetapi wahyu tetap menjadi sumber utama kebenaran. Aswaja menolak pendekatan yang hanya mengandalkan akal semata atau yang mengabaikan akal sama sekali.
Kesimpulan:
Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan aliran utama dalam Islam yang menekankan pentingnya berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad SAW dan kesepakatan mayoritas umat. Pemahaman yang komprehensif terhadap Aswaja membutuhkan eksplorasi etimologi, sejarah, dan prinsip-prinsipnya. Aswaja berperan penting dalam menjaga kesatuan dan persatuan umat Islam, serta mencegah penyimpangan dan ekstremisme. Dengan memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip Aswaja, diharapkan umat Islam dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis, serta berkontribusi positif bagi kemajuan peradaban manusia. Namun, penting untuk selalu menyadari bahwa pemahaman dan pengamalan Aswaja tetap membutuhkan kajian mendalam dan terus menerus, sehingga terhindar dari misinterpretasi dan penyimpangan.