Jakarta – Ungkapan “Adab lebih tinggi daripada ilmu” merupakan pepatah Arab yang sarat makna dan telah lama menjadi pedoman penting dalam khazanah keilmuan Islam. Pepatah ini bukan sekadar ungkapan bijak, melainkan refleksi mendalam tentang urgensi akhlak mulia sebagai fondasi bagi pencarian dan penerapan ilmu pengetahuan. Lebih dari sekadar ungkapan, pepatah ini merepresentasikan filosofi pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pembentukan karakter sebelum penguasaan materi keilmuan.
Dalam konteks Islam, adab—yang secara harfiah berarti “tata krama”—meluas melampaui pengertian etika dan sopan santun semata. Seperti yang dijelaskan dalam buku Berguru Adab kepada Imam karya Malik Masykur, adab dimaknai sebagai kecerdasan dan ketepatan dalam mengelola segala aspek kehidupan. Ini mencakup hubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan sekitar. Adab menjadi landasan moral yang membentuk perilaku individu, memastikan tindakannya selaras dengan nilai-nilai keislaman.
Ilmu, di sisi lain, juga menempati posisi yang sangat terhormat dalam Islam. Ia merupakan kunci untuk memahami kebenaran, mengungkap rahasia alam semesta, dan mencapai kebahagiaan sejati. Namun, pemahaman tentang ilmu dalam Islam tidak hanya terbatas pada aspek kognitif semata, melainkan juga mencakup aspek aplikatif dan etis. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diiringi dengan adab yang mulia.
Buku Adab dan Doa Sehari-hari untuk Muslim Sejati karya Thoriq Aziz Jayana, menggarisbawahi superioritas adab di atas ilmu. Meskipun ilmu sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan, adab berfungsi sebagai kerangka dan pembatas yang menuntun pemanfaatan ilmu tersebut. Ilmu tanpa adab, bagaikan pedang di tangan seorang yang tidak terlatih—berpotensi melukai diri sendiri dan orang lain.
Imam Malik, salah satu pakar fikih dan hadits terkemuka, dengan tegas menyatakan, "Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu." Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Akhlak mulia, atau adab, menciptakan kerangka mental yang reseptif terhadap ilmu pengetahuan. Dengan hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan perilaku yang terhormat, seseorang akan lebih mudah menyerap, memahami, dan mengaplikasikan ilmu yang dipelajarinya. Islam lebih memuliakan individu yang beradab mulia daripada mereka yang hanya berilmu tinggi namun miskin akhlak. Hal ini sejalan dengan misi kenabian Rasulullah SAW, sebagaimana sabdanya, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah" (HR Bukhari).
Hadits tersebut menekankan bahwa pembentukan karakter mulia merupakan inti dari ajaran Islam. Rasulullah SAW tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga mencontohkan akhlak yang terpuji dalam setiap aspek kehidupannya. Beliau menjadi teladan bagi umatnya dalam bersikap rendah hati, jujur, adil, dan penuh kasih sayang. Dalam hadits lain, beliau menegaskan, "Sebaik-baik kalian adalah yang paling mulia akhlaknya" (HR Bukhari). Ungkapan ini mengukuhkan posisi adab sebagai kriteria utama dalam menilai kualitas kemanusiaan.
Meskipun pepatah “Adab lebih tinggi daripada ilmu” bukan hadits Nabi Muhammad SAW, keterkaitan erat antara adab dan ilmu tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Surah Al-Baqarah ayat 30-34, misalnya, menggambarkan bagaimana Allah SWT mengajarkan nama-nama (benda-benda) kepada Adam AS, kemudian memerintahkan Adam AS untuk menyebutkan nama-nama tersebut kepada para malaikat. Para malaikat, yang dikaruniai kecerdasan luar biasa, mengakui keterbatasan pengetahuan mereka di hadapan Allah SWT dan hanya mampu menyebutkan apa yang telah diajarkan-Nya. Kisah ini menunjukkan bahwa bahkan kecerdasan tingkat tinggi pun harus disertai dengan kerendahan hati dan pengakuan atas kemahakuasaan Allah SWT. Ini merupakan manifestasi adab tertinggi.
Buku Faktor X karya Tantomi Simamora menganalisis surah Al-Baqarah ayat 30-34 ini dengan menekankan bahwa setiap kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki harus selalu dibingkai dalam kerangka ketaatan dan penyerahan diri kepada Allah SWT. Ilmu yang tidak diiringi dengan ketaatan dan kerendahan hati kepada Sang Khalik tidak akan membawa manfaat yang hakiki. Justru, ilmu tanpa adab dapat berujung pada kesombongan dan kesesatan.
Para ulama besar juga senantiasa menggaungkan pentingnya adab dalam menuntut dan mengamalkan ilmu. Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya Adab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim, menyatakan bahwa Tauhid mengharuskan adanya iman, iman mengharuskan adanya syariat, dan syariat mengharuskan adanya adab. Ketiadaan adab menunjukkan ketiadaan iman dan Tauhid yang hakiki. Pernyataan ini menegaskan hierarki nilai dalam Islam, di mana adab menjadi puncak dari sebuah perjalanan spiritual dan keilmuan.
Ibnu al-Mubarak RA, sebagaimana dikutip dari buku Antologi Hadits Tarbawi: Pesan-pesan Nabi SAW karya Anjali Sriwijbant, menyatakan, "Mempunyai adab (kebaikan budi pekerti) meskipun sedikit adalah lebih kami butuhkan daripada (memiliki) banyak ilmu pengetahuan." Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa sedikit ilmu yang diiringi adab yang mulia jauh lebih bernilai daripada banyak ilmu yang diiringi dengan akhlak yang buruk.
Kesimpulannya, pepatah “Adab lebih tinggi daripada ilmu” bukan sekadar ungkapan semata, melainkan prinsip fundamental dalam pendidikan dan kehidupan, khususnya dalam konteks Islam. Adab menjadi landasan moral yang membentuk karakter individu, memastikan bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki digunakan dengan bijak, bertanggung jawab, dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia. Ilmu tanpa adab berpotensi menjadi alat perusak, sementara adab tanpa ilmu akan terbatas dalam penerapannya. Oleh karena itu, keseimbangan antara keduanya mutlak diperlukan dalam mencapai tujuan hidup yang mulia dan bermakna. Integrasi adab dan ilmu merupakan kunci untuk membentuk pribadi yang unggul, berilmu, dan berakhlak mulia, sesuai dengan ajaran Islam yang komprehensif. Pepatah ini menjadi pengingat konstan bahwa perjalanan menuju puncak ilmu pengetahuan harus selalu diiringi dengan langkah-langkah yang dijiwai oleh adab yang luhur.