Jakarta, 4 Desember 2024 – Ungkapan "Adab di Atas Ilmu" bukanlah sekadar semboyan belaka, melainkan sebuah prinsip hidup yang mendalam, yang terpatri kuat dalam ingatan saya sejak masa kanak-kanak. Kalimat bijak ini bukan hanya saya dengar dari kitab-kitab klasik, melainkan dari sosok yang paling saya hormati: Simbah Kakung, kakek saya. Pengalaman pribadi ini kemudian beririsan dengan pemahaman mendalam tentang kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti karya Imam Nawawi, yang menegaskan betapa pentingnya adab dalam menuntut dan mengajarkan ilmu.
Kisah ini bermula di sebuah kampung terpencil di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah, sekitar tahun 1980-an. Saat itu, kedua orang tua saya merantau ke Jakarta, meninggalkan saya dalam asuhan Simbah Kakung. Keluarga kami bukanlah keluarga yang berlatar belakang pendidikan pesantren atau formal yang mapan. Akses terhadap pendidikan formal sangat terbatas di kampung kami yang terisolir. Namun, Simbah Kakung, seorang tokoh masyarakat yang juga Ketua RT, mengajarkan nilai-nilai luhur, khususnya tentang pentingnya adab, melalui teladan dan nasihatnya. Beliau, yang seumur hidupnya tak pernah memegang kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti, tetap mampu menanamkan prinsip "Adab di Atas Ilmu" dalam diri saya.
Ungkapan tersebut bukan hanya didengar, melainkan dihayati dalam keseharian. Rumah Simbah Kakung menjadi pusat kegiatan warga, tempat berbagai persoalan dibahas, mulai dari silaturahmi sederhana hingga permohonan pinjaman kas RT. Sebagai cucu, saya sering terlibat dalam pertemuan-pertemuan tersebut, dan Simbah Kakung selalu menekankan pentingnya adab dan sopan santun, khususnya dalam berbahasa Jawa. Beliau mengajarkan penggunaan Bahasa Jawa Kromo Inggil untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, dan Bahasa Jawa ngoko untuk teman sebaya. Ini merupakan refleksi dari tata krama Jawa yang mengatur interaksi sosial berdasarkan hierarki usia dan status.
Lebih dari sekadar tata bahasa, Simbah Kakung menekankan pentingnya penghormatan terhadap sesama, tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi. Beliau berulang kali mengingatkan saya, dan cucu-cucunya yang lain, agar tidak pernah meremehkan orang lain, khususnya tetangga-tetangga yang kurang beruntung. Nasihatnya selalu diakhiri dengan kalimat, "Adab ono sak nduwure ilmu (Adab di atas ilmu), Gus."
Penambahan "Gus" pada akhir kalimat tersebut bukanlah karena saya anak seorang kiai atau ulama. "Gus" merupakan kependekan dari "Cah Bagus," panggilan sayang Simbah Kakung untuk saya. Beliau tak pernah memanggil saya dengan nama asli. "Cah Bagus," yang berarti "anak baik" atau "anak tampan" dalam bahasa Jawa, merupakan doa dan harapan beliau agar saya kelak menjadi pribadi yang baik akhlaknya, beradab, dan berbudi pekerti luhur. Panggilan ini, bagi saya, lebih dari sekadar sebutan; ia adalah doa tulus yang dipanjatkan dengan penuh harap. Hingga wafatnya, saya tak pernah sempat menanyakan secara langsung makna "Cah Bagus" bagi Simbah Kakung. Namun, dari para tetua kampung, saya memahami bahwa panggilan sayang yang disertai doa tersebut merupakan tradisi turun-temurun, sebuah harapan agar anak cucu memiliki akidah, akhlak, adab, dan segala hal yang baik. Doa ringkas namun sarat makna, dipanjatkan oleh mereka yang kuat tirakatnya, diyakini mampu sampai ke langit.
Setelah kepergian Simbah Kakung, ayah saya meneruskan pesan tersebut, "Adab di Atas Ilmu," namun tanpa embel-embel "Gus." Pada saat itu, saya tidak hanya mendengar, tetapi juga membaca langsung kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti (dalam terjemahan Bahasa Indonesia, "Adab di Atas Ilmu"). Kitab tersebut bukan hanya membahas pentingnya menuntut ilmu, tetapi juga menekankan adab dan etika dalam proses belajar-mengajar. Imam Nawawi secara detail menjelaskan adab yang harus dijaga oleh murid dan guru. Murid diingatkan untuk meluruskan niat dalam menuntut ilmu, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan duniawi atau merendahkan orang lain. Begitu pula dengan guru, yang harus menghindari sikap merasa lebih pintar, merendahkan murid, atau mengejar popularitas dan kemewahan duniawi. Seorang guru seharusnya memiliki akhlak dan adab yang mulia, mencerminkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak ulama mengingatkan bahaya merasa lebih pintar dari orang lain, yang dapat memicu sikap menghina dan merendahkan. Kisah Nabi Daud dalam kitab Mukasyafatul Qulub karya Imam Al-Ghazali menjadi contoh nyata. Nabi Daud, yang merasa heran dengan keberadaan cacing tanah, mendapat teguran langsung dari cacing tersebut. Cacing itu menjelaskan amalan dzikir dan shalawatnya yang konsisten. Nabi Daud pun menyesali kesombongannya dan bertaubat atas sikap meremehkan makhluk Allah.
Pada akhirnya, "Adab di Atas Ilmu, Gus," bukan hanya sebuah nasihat kakek, tetapi juga sebuah prinsip hidup yang terpatri dalam diri saya. Ia adalah pengingat akan pentingnya adab dan etika, bukan hanya dalam konteks menuntut dan mengajarkan ilmu, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan. Ia adalah warisan tak ternilai yang mengajarkan saya untuk selalu menghormati sesama, menjaga kesopanan, dan menghindari kesombongan. Ia adalah sebuah pesan yang terus bergema dalam hati, mengingatkan saya akan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan adab, di mana adab menjadi fondasi yang kokoh bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang bermakna. Dan, setiap kali saya merenungkan kalimat tersebut, saya kembali teringat akan kasih sayang dan kebijaksanaan Simbah Kakung, seorang kakek yang mengajarkan nilai-nilai luhur tanpa harus melalui pendidikan formal yang terstruktur. Beliau adalah guru terbaik yang pernah saya miliki.