Bercanda merupakan bumbu kehidupan, sebuah alat perekat hubungan sosial yang mampu menciptakan suasana akrab dan kegembiraan. Namun, dalam Islam, bercanda bukanlah sekadar meluapkan tawa, melainkan sebuah tindakan yang diatur oleh adab dan etika yang luhur, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau, yang dikenal sebagai pribadi yang humoris dan penuh kasih sayang, senantiasa menjaga kesantunan dan kehormatan dalam setiap candaannya. Memahami dan mengamalkan adab bercanda sesuai ajaran Islam menjadi kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana ditekankan dalam berbagai literatur keagamaan, seperti buku "Adab Bercanda dalam Islam" karya Hafidz Muftisany.
Rasulullah SAW, sepanjang hidupnya, sering bercanda dengan para istri, cucu, dan sahabatnya. Namun, candaannya bukanlah canda yang sembarangan. Setiap gurauan yang dilontarkannya terpatri dengan nilai-nilai luhur, mencerminkan kepribadian beliau yang mulia dan bijaksana. Candaannya menjadi teladan bagi umat Islam sepanjang masa, mengajarkan bagaimana kita dapat menciptakan kegembiraan tanpa mengorbankan kesopanan dan rasa hormat. Lalu, bagaimana kita dapat meneladani adab bercanda Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari?
1. Menghindari Penyebutan Nama Allah SWT dalam Candaan:
Salah satu adab bercanda yang paling penting adalah menghindari penyebutan atau melibatkan nama Allah SWT dalam gurauan. Hal ini merupakan bentuk penghormatan dan kesucian terhadap nama-Nya yang Maha Agung. Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 65-66 dengan tegas memperingatkan hal ini:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"
Ayat ini secara implisit menunjukkan betapa seriusnya larangan mempermainkan nama Allah SWT, bahkan dalam konteks bercanda sekalipun. Bercanda yang melibatkan nama Allah SWT dapat dianggap sebagai bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap keagungan-Nya, sebuah tindakan yang sangat tercela dalam ajaran Islam.
2. Menjauhi Kebohongan dalam Bercanda:
Kebohongan, dalam bentuk apa pun, merupakan perilaku tercela. Rasulullah SAW menekankan pentingnya kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bercanda. Hadis riwayat Abu Dawud yang berbunyi: "Celakalah orang yang berkata-kata dan menyusun cerita dusta untuk membuat orang lain tertawa. Celaka baginya, celaka baginya," menunjukkan betapa seriusnya larangan berbohong, bahkan untuk sekadar mencari tawa. Candaan yang didasarkan pada kebohongan tidak hanya tidak bernilai, tetapi juga merusak kepercayaan dan integritas pribadi.
3. Menghindari Penghinaan dan Pencelaan:
Bercanda seharusnya tidak menjadi alat untuk mencela atau merendahkan orang lain. Saling menghina dan mengejek dapat melukai perasaan dan merusak hubungan antarmanusia. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 11:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat ini secara jelas melarang segala bentuk penghinaan dan pencelaan, baik antar individu maupun antar kelompok. Bercanda yang bersifat merendahkan atau mengejek dapat merusak persaudaraan dan menciptakan permusuhan. Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati dan menghargai, bahkan dalam konteks bercanda sekalipun.
4. Menjaga Kesantunan dan Menghindari Tawa Berlebihan:
Islam menganjurkan umatnya untuk bergembira dan tertawa, namun tetap dalam batas-batas yang wajar. Tawa yang berlebihan dapat menandakan hilangnya kesantunan dan bahkan dapat berdampak negatif bagi kesehatan jiwa. Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah terlalu sering tertawa, karena sering tertawa dapat membuat hati menjadi mati." (Shahih Sunan Ibnu Majah no 3400). Hadis ini mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan dan tidak terbawa suasana hingga tertawa secara berlebihan. Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, juga meriwayatkan bahwa beliau tidak pernah tertawa terbahak-bahak hingga tampak lidahnya, melainkan hanya tersenyum. Hal ini menunjukkan kesantunan dan pengendalian diri yang patut dicontoh.
5. Menjauhi Candaan yang Menyakiti dan Menghina:
Beberapa orang mungkin menganggap candaan yang menyindir penampilan fisik atau kekurangan orang lain sebagai hal yang lucu. Namun, Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk menghindari candaan yang dapat melukai perasaan dan menjatuhkan martabat seseorang. Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, misalnya, mengingatkan kita untuk tidak merasa senang atas musibah yang menimpa orang lain, karena Allah SWT dapat memberikan rahmat kepada orang yang kita hina dan sebaliknya menguji kita dengan hal yang sama. Ini menunjukkan pentingnya empati dan rasa kasih sayang dalam bercanda. Kita harus selalu berhati-hati agar candaan kita tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain.
Meneladani Cara Rasulullah SAW Bercanda:
Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam bercanda. Beliau dikenal sebagai pribadi yang humoris, namun candaannya selalu santun dan penuh hikmah. Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam Syarah Syama’il Nabi Muhammad menjelaskan kefasihan Rasulullah SAW dalam berbicara, yang mampu memikat hati siapa pun, termasuk musuh-musuhnya. Tawa Rasulullah SAW, menurut beberapa riwayat, terbagi menjadi tiga jenis: tawa yang ringan, tawa yang sedang, dan tawa yang tertahan. Beliau jarang tertawa terbahak-bahak, melainkan lebih sering tersenyum. Candaannya seringkali bertujuan untuk mengakrabkan diri dan menyenangkan hati, namun selalu dijauhkan dari kebohongan dan penghinaan.
Beberapa riwayat hadis dan ayat Al-Qur’an menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW bercanda dengan sahabat dan orang-orang di sekitarnya. Imam At-Tirmidzi dalam Syamail Muhammad SAW mencatat beberapa contohnya, salah satunya dari riwayat Anas bin Malik RA. Contohnya, ketika seorang laki-laki meminta tunggangan kepada Rasulullah SAW, beliau malah menyarankan untuk menunggangi anak unta, lalu menjelaskan bahwa setiap unta dewasa juga pernah kecil. (HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad). Contoh lain adalah candaannya dengan Zahir, seorang lelaki Badui, dan dengan seorang nenek yang meminta doa untuk masuk surga. Meskipun bercanda, Rasulullah SAW selalu memastikan bahwa ucapannya tetap benar dan tidak menyesatkan.
Kesimpulannya, bercanda dalam Islam bukanlah tindakan yang bebas nilai, melainkan tindakan yang terikat oleh adab dan etika yang luhur. Rasulullah SAW memberikan teladan yang sempurna tentang bagaimana bercanda dengan santun, penuh hikmah, dan tanpa menyinggung perasaan orang lain. Dengan meneladani adab bercanda Rasulullah SAW, kita dapat menciptakan suasana gembira dan akrab tanpa mengorbankan kesopanan, kehormatan, dan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Semoga kita semua dapat mengamalkan adab bercanda yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari.