Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat karib Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian dan tak pernah ragu membenarkan setiap ucapan Rasulullah, bahkan di tengah gelombang keraguan dan penolakan masyarakat Mekkah. Kepercayaannya yang tak tergoyahkan terhadap peristiwa Isra Mi’raj menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam, sekaligus mengukuhkan gelar Ash-Shiddiq (Sang Pembenar) yang melekat padanya hingga kini.
Abu Bakar, yang bernama asli Abdullah bin Abi Quhafa, bukan hanya seorang sahabat setia, melainkan juga figur penting dalam masyarakat Arab pra-Islam. Berasal dari kabilah Quraisy yang terpandang, ia dikenal sebagai seorang saudagar kaya raya, namun lebih dari itu, ia juga diakui sebagai ahli hukum yang jujur, adil, rendah hati, dan bijaksana. Kehidupan pribadinya yang terhormat dan reputasinya yang bersih menjadi landasan kuat bagi kepercayaan yang ia berikan kepada Rasulullah. Lahir pada tahun Gajah (572 M), sekitar dua tahun enam bulan lebih muda dari Nabi Muhammad, ia tumbuh di tengah-tengah masyarakat Mekkah yang sarat dengan tradisi jahiliyah, namun tetap mampu menjaga integritas moral dan spiritualnya. Riwayat kelahirannya, sebagaimana tercatat dalam berbagai sumber seperti buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah Kelas VII karya H. Fida Abdilah dan Yusak Burhanudin, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq Ra. karya Abdul Syukur Al-Azizi, menunjukkan asal-usul keluarganya yang terpandang, dengan ayah bernama Abu Qahafah (Utsman bin Amir) dan ibu bernama Salman binti Sakhr bin Amir (Ummu al-Khair).
Peran Abu Bakar dalam sejarah Islam tak hanya terbatas pada masa kenabian. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Islam menghadapi masa kritis dan penuh tantangan. Kondisi politik yang rawan dan potensi perpecahan di tengah umat Islam menuntut kepemimpinan yang kuat dan bijaksana. Dalam situasi yang genting tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Pengantar Studi Islam karya Shofiyun Nahidloh, Abu Bakar dipilih sebagai khalifah pertama. Keputusan ini, yang terkesan mendadak, merupakan bukti kepercayaan umat Islam terhadap integritas dan kepemimpinan Abu Bakar. Jabatan khalifah yang diembannya dari tahun 632 hingga 634 M menandai periode penting dalam sejarah perkembangan Islam, di mana ia berhasil menyatukan umat dan memimpin ekspansi Islam dengan bijak.
Namun, sebelum mencapai posisi khalifah, kepercayaan Abu Bakar terhadap Rasulullah telah teruji berkali-kali, terutama dalam peristiwa Isra Mi’raj. Kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW ke Masjidil Aqsa dan Sidratul Muntaha ini, yang merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, disambut dengan skeptisisme dan bahkan penolakan oleh sebagian besar masyarakat Mekkah. Seperti yang dikisahkan dalam Menerima vs Menentang karya Asri Wulantini, Abu Jahal, tokoh utama kaum Quraisy yang menentang Islam, memanfaatkan kesempatan ini untuk mempertanyakan kredibilitas Rasulullah. Ia mengumpulkan penduduk Mekkah dan menyebarkan isu bahwa Nabi Muhammad berdusta, bahkan menuduhnya gila karena mengklaim telah melakukan perjalanan yang mustahil dalam waktu semalam.
Keraguan dan tuduhan semakin diperkuat dengan jarak yang sangat jauh antara Mekkah dan Yerusalem. Beberapa orang, bahkan yang pernah mengunjungi Masjidil Aqsa, menantang Nabi Muhammad untuk membuktikan klaimnya dengan menyebutkan detail-detail bangunan tersebut. Rasulullah SAW, dengan detail yang luar biasa, menjelaskan ciri-ciri Masjidil Aqsa, sehingga membuat salah satu penanya mengakui kebenaran perkataan beliau. Namun, bukti tersebut tak cukup untuk mengubah keyakinan kaum musyrikin Mekkah. Mereka tetap bersikukuh pada penolakan mereka, menuduh Rasulullah sebagai pendusta dan orang gila.
Di tengah gelombang penolakan ini, Abu Bakar tampil sebagai sosok yang berbeda. Ia berdiri teguh di samping Rasulullah, memberikan dukungan dan kepercayaan yang tak tergoyahkan. Seperti yang tercatat dalam berbagai sumber, termasuk Kisah Teladan 20 Sahabat Nabi untuk Anak karya DR. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Abu Bakar menyatakan keyakinannya tanpa ragu-ragu. Ia tidak hanya menerima cerita Isra Mi’raj sebagai sebuah kebenaran, tetapi juga meyakini kebenaran wahyu yang diterima Rasulullah. Sikap Abu Bakar ini sangat kontras dengan reaksi masyarakat Mekkah yang penuh dengan keraguan dan tuduhan.
Jawaban Abu Bakar yang tegas dan lugas kepada mereka yang meragukan kisah Isra Mi’raj menjadi bukti nyata dari keimanannya yang mendalam. Ia menyatakan bahwa jika Rasulullah SAW telah mengatakan demikian, maka itu adalah kebenaran. Pertanyaan selanjutnya, "Bagaimana kamu bisa mempercayai hal ini?", dijawab Abu Bakar dengan pernyataan yang sangat bermakna: "Aku telah mempercayai perkataannya bahwa Al-Qur’an telah diturunkan kepadanya dari langit, maka bagaimana mungkin aku tidak mempercayainya dalam masalah seperti ini?" Pernyataan ini menunjukkan bahwa kepercayaan Abu Bakar kepada Rasulullah SAW bukanlah kepercayaan yang bersifat parsial, melainkan kepercayaan yang menyeluruh dan komprehensif, yang meliputi seluruh aspek ajaran dan pengalaman kenabian.
Kepercayaan Abu Bakar yang tak tergoyahkan ini menjadikannya sebagai orang pertama yang membenarkan kisah Isra Mi’raj, sebuah peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Islam. Kepercayaan ini bukan hanya sekedar penerimaan atas sebuah cerita, tetapi juga merupakan penegasan atas kebenaran kenabian Muhammad SAW. Sikap Abu Bakar ini menjadi inspirasi bagi seluruh umat Islam, menunjukkan bagaimana seharusnya seorang mukmin memberikan kepercayaan dan dukungan penuh kepada Rasulullah SAW.
Keteguhan hati dan kepercayaan Abu Bakar terhadap Rasulullah SAW inilah yang kemudian mengukuhkan gelar Ash-Shiddiq (Sang Pembenar) kepadanya. Sebagaimana diceritakan dalam 150 Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq karya Ahmad Abdul ‘Al Al-Thahtawi, dan juga diriwayatkan oleh Aisyah RA, ketika kisah Isra Mi’raj tersebar, bahkan beberapa orang yang telah beriman sempat ragu. Mereka mendatangi Abu Bakar untuk meminta pendapatnya. Jawaban Abu Bakar yang luar biasa, "Seandainya dia mengatakan lebih jauh lagi dari itu, aku akan membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang," menunjukkan kepercayaan mutlaknya kepada Rasulullah SAW. Tidak ada keraguan sedikitpun dalam hatinya, bahkan jika cerita tersebut tampak mustahil bagi akal manusia.
Gelar Ash-Shiddiq bukanlah sekadar julukan, melainkan sebuah pengakuan atas keteguhan iman dan kepercayaan Abu Bakar terhadap Rasulullah SAW. Ia menjadi simbol bagi setiap muslim untuk senantiasa membenarkan dan mempercayai ajaran Islam, meskipun menghadapi tantangan dan keraguan dari berbagai pihak. Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan kepercayaannya terhadap Isra Mi’raj menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, untuk senantiasa teguh dalam iman dan mempercayai kebenaran, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh sahabat setia Rasulullah SAW ini. Wallahu a’lam bishawab.