Abdurrahman bin Auf, nama yang harum dalam sejarah Islam, bukan sekadar dikenal sebagai saudagar sukses, melainkan juga sebagai simbol kedermawanan dan keikhlasan yang luar biasa. Kisah hidupnya, yang dipenuhi dengan keberhasilan bisnis yang gemilang dan amal jariyah yang tak terhitung jumlahnya, menjadi inspirasi bagi umat Islam sepanjang zaman. Julukan "Manusia Bertangan Emas" yang disematkan kepadanya bukanlah sekadar pujian, melainkan cerminan nyata dari kepribadiannya yang dermawan dan tangannya yang selalu terbuka untuk berbagi.
Sebelum memeluk Islam, Abdurrahman, yang kala itu bernama Abdu Amru atau menurut sebagian riwayat Abdul Ka’bah, telah menunjukkan bakat bisnisnya yang tajam. Namun, setelah mendapatkan hidayah dan masuk Islam, Rasulullah SAW mengganti namanya menjadi Abdurrahman bin Auf, sebuah nama yang kemudian melekat erat dengan segala kebaikan dan amal salehnya. Lahir sekitar tahun 581 M, sepuluh tahun lebih muda dari Rasulullah SAW, ia tumbuh menjadi sosok yang tidak hanya sukses dalam dunia perdagangan, tetapi juga menjadi teladan dalam beribadah dan bersedekah.
Kehidupan Abdurrahman bin Auf sebagai seorang pedagang ulung bukanlah tanpa tantangan. Ia berjuang keras untuk membangun kerajaan bisnisnya, namun keberhasilannya tidak membuatnya lupa akan kewajibannya kepada Allah SWT dan sesama manusia. Justru sebaliknya, semakin melimpah kekayaannya, semakin besar pula sedekahnya. Ia meyakini bahwa harta yang dimilikinya hanyalah titipan Allah SWT yang harus dikelola dengan baik dan digunakan untuk kemaslahatan umat. Keyakinan inilah yang menjadi landasan utama kedermawanannya yang luar biasa.
Berbagai peristiwa sepanjang hidupnya mengukuhkan Abdurrahman bin Auf sebagai sosok yang luar biasa dermawan. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah peristiwa ekspedisi Tabuk. Saat Rasulullah SAW memimpin pasukan Muslim menuju Tabuk untuk menghadapi ancaman dari Kekaisaran Romawi, Madinah menghadapi kekurangan pasokan makanan. Buah-buahan belum memasuki musim panen, sehingga masyarakat kesulitan untuk menyumbangkan hasil bumi mereka untuk keperluan pasukan.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan kaum Muslimin. Abu Bakar Ash-Shiddiq, dengan keikhlasannya yang luar biasa, menyumbangkan seluruh hartanya. Umar bin Khattab memberikan setengah dari kepemilikannya. Utsman bin Affan pun turut berpartisipasi dengan menyumbangkan hartanya. Namun, jumlah yang terkumpul masih belum mencukupi kebutuhan pasukan.
Di tengah keprihatinan tersebut, Abdurrahman bin Auf muncul dengan membawa kantong berisi dua ratus keping emas dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW. Kejutan dan kekaguman terpancar dari wajah para sahabat. Umar bin Khattab, bahkan, sempat mengira bahwa Abdurrahman ingin menebus suatu kesalahan dengan sedekah yang begitu besar.
Rasulullah SAW, dengan bijaksananya, menanyakan kepada Abdurrahman, "Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abdurrahman?" Dengan penuh keyakinan dan tanpa ragu, Abdurrahman menjawab, "Aku tinggalkan banyak untuk mereka, lebih banyak daripada yang aku sedekahkan ini." Rasulullah SAW kembali bertanya, "Seberapa banyak yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?" Jawaban Abdurrahman yang sederhana namun sarat makna menggetarkan hati Rasulullah SAW dan para sahabat, "Aku meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka."
Keikhlasan dan kepercayaan Abdurrahman bin Auf kepada Allah SWT begitu besar sehingga ia tidak merasa khawatir akan masa depan keluarganya. Baginya, rezeki dan perlindungan Allah SWT adalah yang paling berharga dan melimpah. Jawabannya tersebut menjadi bukti nyata akan keimanan dan ketawadhuannya yang mendalam. Kisah ini menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya seorang muslim mengelola harta kekayaannya dan mempercayakan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Kedermawanan Abdurrahman bin Auf tidak hanya terhenti pada satu peristiwa. Suatu ketika, penduduk Madinah dikejutkan oleh suara gemuruh yang mengira sebagai serangan musuh. Namun, ternyata suara tersebut berasal dari kafilah dagang Abdurrahman yang terdiri dari tujuh ratus unta yang sarat dengan muatan barang dagangan. Saat itu, Aisyah RA mengingatkan hadits Rasulullah SAW, "Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merayap." Mendengar hadits tersebut, Abdurrahman bin Auf tanpa ragu-ragu menyedekahkan seluruh kafilahnya, termasuk barang dagangan, pelana, dan perlengkapannya. Ia meyakini bahwa sedekah yang ikhlas akan menjadi jalan menuju surga.
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan konsistensi Abdurrahman bin Auf dalam bersedekah dan menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT. Ia tidak pernah ragu untuk berbagi, bahkan ketika harus mengorbankan sebagian besar kekayaannya. Kedermawanannya bukanlah tindakan impulsif, melainkan merupakan bagian integral dari keyakinan dan keimanannya yang mendalam.
Meskipun dikenal sebagai saudagar kaya raya, Abdurrahman bin Auf tetap rendah hati dan tidak pernah sombong. Ia selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjalankan perintah-Nya dengan sebaik-baiknya. Ia menyadari bahwa kekayaan yang dimilikinya adalah ujian dari Allah SWT dan ia harus mampu melewatinya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
Dalam Perang Uhud, Abdurrahman bin Auf mengalami luka-luka yang cukup parah. Ia menderita 20 luka, salah satunya menyebabkan cacat permanen pada kakinya. Giginya pun patah sehingga ia kesulitan berbicara. Luka-luka tersebut menjadi bukti nyata akan pengorbanannya dalam membela agama Islam.
Menjelang akhir hayatnya, Abdurrahman bin Auf merasa khawatir akan kekayaannya yang melimpah. Meskipun ia telah dijamin tempat di surga, ia tetap merasa was-was bahwa hartanya bisa menjadi penghalang baginya untuk masuk surga. Ketakutan ini menunjukkan kerendahan hati dan keikhlasannya yang luar biasa. Ia tidak pernah merasa aman dan selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sebagai wasiat terakhirnya, Abdurrahman bin Auf mewakafkan sebagian besar hartanya untuk perjuangan di jalan Allah SWT. Ia mewakafkan 500 dinar untuk perjuangan agama dan 400 dinar untuk setiap orang yang berpartisipasi dalam Perang Badar. Meskipun telah bersedekah hampir seluruh hartanya, ia masih meninggalkan warisan yang sangat banyak bagi anak-anaknya, sebanyak 28 anak laki-laki dan 8 anak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kedermawanannya tidak pernah mengurangi kasih sayangnya kepada keluarga.
Abdurrahman bin Auf wafat pada tahun 31 H atau menurut sebagian riwayat tahun 32 H, pada usia 75 tahun. Kisah hidupnya menjadi bukti nyata bahwa kesuksesan duniawi dan akhirat dapat diraih bersamaan. Ia membuktikan bahwa kekayaan bukanlah penghalang untuk mencapai keridaan Allah SWT, justru sebaliknya, kekayaan dapat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan membantu sesama. Kedermawanannya yang luar biasa menjadi inspirasi bagi seluruh umat Islam untuk senantiasa berbagi dan berbuat kebaikan. Kisah Abdurrahman bin Auf akan selalu dikenang sepanjang masa sebagai teladan bagi generasi mendatang dalam hal kesuksesan bisnis yang diiringi dengan keimanan dan kedermawanan yang tulus. Ia adalah bukti nyata bahwa harta yang digunakan di jalan Allah SWT akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir pahalanya hingga akhirat kelak.