ERAMADANI.COM, JAKARTA – Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju telah diumumkan oleh Presiden terlantik Joko Widodo. Mengejutkannya, pengampu jabatan tersebut ialah saingan pilpresnya, Prabowo Subianto.
Momentum tersebut menjadi kesempatan bagi media Historia.id untuk mengingatkan masyarakat tentang sejarah, sesuai ranah media online tersebut. Mereka mengingatkan pembacanya tentang kisah Menteri Pertahanan pertama Republik Indonesia yang telah menghilang, Supriyadi.
Mengingat Menteri Pertahanan Pertama
Pasca kemerdekaan, Indonesia belum memiliki istilah Menteri Pertahanan, akan tetapi menteri yang berkaitan dengan ini bernama Kementerian Keamanan Rakyat.
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, urusan pemerintahan mulai ditata dengan rapi, ditandai dengan pembentukan kabinet pada 19 Agustus 1945 bernama Kabinet Presidentil.
Yang terdiri atas 12 Menteri Departemen ditambah lima Menteri Negara yang tidak mengepalai suatu Departemen tertentu, yang kemudian dilantik oleh Presiden Sukarno pada 2 September 1945.
Mengenal Supriyadi Yang Hilang
Pada 6 Oktober 1945 setelah kemerdekaan indonesia, Supriyadi diyatakan sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun, ia tidak pernah muncul, alias menghilang.
Sehingga pada tanggal 20 Oktober ia digantikan oleh menteri Imam Muhammad Suliyoadikusumo.
Supriyadi seorang tokoh pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar pada Februari 1945 yang kemudian ia diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat.
Hingga kementrian ini di ganti dengan Kementerian Pertahanan, Supriyadi tak pernah kelihatan bahkan ia dinyatakan hilang.
Ia tak pernah datang ke Jakarta, bahkan ia tak pernah memberi jawaban yang pasti akan kesediannya menjadi menteri pada waktu.
Padahal saat itu Indonesia baru memiliki Barisan Keamanan Rakyat yang menghimpun bekas anggota Peta, Heiho, dan sebagainya.
Maka, pada 5 Oktober 1945 dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Meski tak ada kabarnya, bersamaan dengan digantinya Menteri Keamanan Rakyat, Supriyadi ditunjuk sebagai Pemimpin Tertinggi TKR.
Tidak berjalan lama, Kabinet Presidentil jatuh pada 14 November 1945, hanya bertahan selama dua bulan 12 hari, yang kemudian digantikan dengan kabinet parlementer.
Yaitu sebuah sistem pemerintahan yang memiliki peranan penting dalam pemerintahan, serta memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan menjatuhkan pemerintahan.
Pada masa kabinet parlementer Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri yaitu seseorang yang mengepalai sebuah kabinet pada sebuah negara.
Kisah Hilangnya Supriyadi
Hilangnya Supriyadi masih menjadi misteri hingga kini. Ratnawati Anhar dalam Pahlawan Nasional Supriyadi menyebut beberapa informasi tentang Supriyadi sempat muncul setelah dia menghilang.
Ronomejo, seorang kamituwo desa Ngliman, Kabupaten Nganjuk mengaku pernah mengantar Supriyadi ke persembunyiannya di sebuah gua dekat air terjun Sedudo.
Namun, ketika didatangi ayahnya, Darmadi, ia sudah tidak ada. Menurut Ronomejo, kemungkinan Supriyadi lari ke arah barat menuju Jawa Tengah.
Informasi lainnya muncul dari M. Nakajima, Direktur Taisei Internatonal Coporation di Singapura. Ia menerangkan bahwa sekitar bulan Februari-Maret 1945.
Supriyadi bersama dua orang kawannya pernah menginap di rumahnya di Jalan Jangkongan, Salatiga, lalu pergi karena didatangi Kempetai Jepang dari Semarang.
Munculnya Supriyadi Baru
Sementara itu, pada 2008, masyarakat dihebohkan dengan seseorang bernama Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi.
Baskara T. Wardaya selaku sajarawan mewawancarai Andaryoko sebagai Ketua Umum Perkumpulan Kesenian Sobokartti Semarang, dalam rangka Mencari Supriyadi,
Dalam kesaksiannya, Andaryoko tidak berharap diakui sebagai Supriyadi, ia hanya ingin menyampaikan narasi sejarah yang ia ketahui sepanjang hidupnya.
Ia juga mengaku, bahwa dirinya diangkat sebagai menteri dan bahkan berada di sekitaran Soekarno dan terkadang bolak balik Jakarta-Semarang.
“Waktu saya ditunjuk jadi menteri itu saya tidak diberi kantor, wong memang tidak ada tempat. Bung Karno saja masih belum tinggal di Istana,” tuturnya.
Ia sempat pamit kepada Soekarno di Semarang pada 12 Oktober 1945 silam, setelah ikut dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang pada 14 Oktober 1945.
Lalu ia kembali ke Jakarta, pada 20 Oktober 1945, karena Soekarno mengangkatnya menjadi Pemimpin Tertinggi TKR.
“Organisasi BKR ditingkatkan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan saya diangkat menjadi Panglima Tertinggi TKR itu,” sebutnya.
Ia juga mengaku mengundurkan diri sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima Tertinggi TKR serta memilih menyepi untuk bersemadi.
Namun, ia tetap diminta menjadi pembantu Soekarno. Selama itulah, ia sering bolak balik Jakarta-Semarang, karena ditugasi untuk mencari informasi terkait situasi politik saat itu.
Sudut Pandang Sejarawan
Dalam sudut pandang Asvi Warman Adam selaku sajarawan ia meragukan pengakuan Andaryoko. Ia lebih meyakini Andaryoko sebagai anggota Peta yang bekerja di bidang pemerintahan di Semarang.
“Sebagai seorang anggota Peta yang ada di Blitar, dia tahu segala kegiatan Peta di Blitar. Tapi mungkin bukan Supriyadi, karena anggota Peta yang ada waktu itu ratusan,” tutr Asvi.
Waktu ada orang di Yogyakarta mengaku sebagai Supriyadi, Wakil Presiden Try Soetrisno meminta Utomo Darmadi, adik tiri Supriyadi untuk mengeceknya.
Utomo mengajak bicara dalam Bahasa Belanda, orang itu tidak mengerti. Ia juga menanyakan sesuatu dalam bahasa populer Jepang, orang itu juga tidak bisa menangkap.
Menurutnya seseorang yang pernah sekolah MULO dan Stovia pasti bisa Bahasa Belanda dan Jepang, setidaknya megerti bahas istilah dari kedua negara tersebut.
Namun, dalam percakapan dengan Baskara, Andaryoko sama sekali tidak mengucapkan satu pun istilah Bahasa Belanda.
Padahal, berbicara dengan orang yang berusia 70-80 tahun dan pernah sekolah Belanda, pasti keluar istilah-istilah Belanda. Sementara Andaryoko cuma Bahasa Jawa.
Asvi juga menambahkan bahwa Andaryoko menyampaikan banyak keterangan yang tidak sesuai fakta sejarah. Misalnya, dia mengaku hadir pada Proklamasi 17 Agustus 1945.
Bahkan ia ikut mengerek bendera merah putih katanya, padahal secara historis, pengerek bendera merah putih adalah Latief Hendraningrat.
Ia juga menyebut beberapa sidang sidang untuk menetapkan UUD 1945 diadakan di Gedung Joang 45.
Padahal sidang-sidang itu berada di Gedung Pantjasila yang sekarang berada di dalam kompleks Kementerian Luar Negeri.
Bahkan ia juga mengaku hadir ketika Supersemar diserahkan di Istana Bogor.
Menurut Baskara hal ini cukup aneh, pada tahun 1945 ia menolak ikut dalam pemerintahan karena meramalkan 20 tahun lagi akan ada huru hara dan orang yang dukung Bung Karno akan tersingkir.
Lalu ia memilih untuk berada di luar pemerintahan, dan tidak ikut campur dengan sistem pemerintahan Indonesia.
Ini sangat klenik, dan mistis, karena pengakuannya yang sering hadir di mana-mana, yang bisa meramal kejadian 20 tahun yang akan datang.
Ialah Andaryoko Wisnuprabu, salah satu dari beberapa orang yang mengaku sebagai Supriyadi, meninggal dunia di Semarang pada 3 Juni 2009. (MYR)