ERAMADANI.COM, DENPASAR – Mulai Jum’at (27/09/2019) lalu, Dosen STDI Jember, Ustadz Muhammad Yassir, Lc. bersafari dakwah di beberapa Masjid Denpasar bersama komunitas Bali Mengaji.
Safari dakwah dengan konsep kajian ilmiyyah tersebut diselenggarakan di lima lokasi berbeda dengan tema yang berbeda-beda pula, diantaranya:
Jum’at, 27 September 2019
- Masjid Nurul Huda Bandara, Ba’da Sholat Maghrib dengan tema:”Bacalah!”
Sabtu, 28 September 2019
- Masjid Sadar, Sesetan, Ba’da Sholat Subuh dengan tema “Tawakkal; Puncak Tauhid”
- Pondok Asy-Syifa, Tegalwangi, Waktu Dhuha khusus Muslimah dengan tema “Fiqih Seputar Kehamilan”
- Masjid Baitul Makmur, Monang-Maning, Ba’da Maghrib dengan tema “Sudut Pandang Muslim Terhadap Harta”
Ahad, 29 September 2019
- Musholla Ar-Raudhah, Kalimutu, Ba’da Subuh dengan tema “Kekuatan Sebuah Sarikat Bisnis”
Sebelum dimulai dengan rundown rangkaian tersebut, Ustadz Muhammad Yassir sempat mengisi khotbah Jum’at di Masjid Al-Muhajjirin IKMS, Monang-Maning di hari pertama kedatangan beliau.
Kajian Ustadz Muhammad Yassir di Masjid Baitul Makmur
Tim Eramadani berkesempatan mengikuti beberapa kajian dosen lulusan Universitas Islam Madinah tersebut. Salah satunya yang terangkum di Masjid Baitul Makmur, Monang-Maning, Masjid besar yang dikenal karena ramainya jemaah Sholat Subuhnya se-Indonesia.
Dengan tema “Sudut Pandang Muslim Terhadap Harta”, Ustadz membedah segala bentuk pandangan Muslim berkompeten dari setiap masa dan zama.
Dalam melihat satu benda, manusia bisa memiliki berbagai pandangan yang berbeda-beda satu dan lainnya, untuk itu selalu ada pendapat positif maupun negatif dari setiap tindakan yang dilakukan manusia.
“Tiap ada pemuji, maka selalu ada penentang. Konsep itulah yang mesti kita pahami sebelum berkenalan dengan sudut-sudut pandang Muslim terhadap harta”. Ujar Ustadz yang sering menyampaikan dakwahnya di channel Youtube Yufid.TV.
“Untuk melihat sudut pandang Muslim, maka berpeganglah pada sudut pandang Allah dan Rasulnya. Lihatlah dari dasar Al-Quran dan As-Sunnah, dan bagaimana Nabi beserta ummatnya menjalaninya semasa hidup”, tambahnya.
Sejatinya Harta Hanyalah Milik Allah Ta’ala
Dalam ceramahnya, Ustadz Yassir menanamkan pemikiran yang perlu dipahami oleh ummat Islam dalam memandang sebuah harta.
Sudut Pandang Pertama
Hakikatnya harta hanya milik Allah Subhana Wa Ta’ala, Manusia hanya dititipkan saja.
Allah Ta’ala berfirman,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7)
Berangkat dari ayat tersebut, ekonomiwan Muslim pada masa lampau menyimpulkan bahwa pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
Hakikat tersebut menjauhkan manusia dari rasa sombong hatinya. Rasa sombong yang timbul ketika pencapaian harta manusia tersebut membuatnya merasa bahwa harta yang dimiliki semata-mata hanya miliknya sendiri.
Jika perasaan itu muncul, maka manusia akan memperlakukan harta tersebut semau kehendaknya sendiri, sesuka hatinya, dan melupakan konsekuensinya. Tidak ada rasa tanggung jawab yang membuatnya perlu memperlakukan hartanya dengan baik.
Wajar jika terjadi banyak kekacauan seperti korupsi, penggelapan, pemborosan, dunia hiburan dan segala kekacauan masyarakat karena mereka merasa harta mereka bisa mereka perlakukan sesuka hati.
Refleksi Pemikiran
Maka Allah Ta’ala turunkan dalil tersebut untuk mengingatkan manusia bahwa segala pencapaiannya hanya titipan-Nya. Jika harta kita hanyalah titipan, maka kita harus ikuti semua tanggung jawab yang diminta Sang Penitip. Yaitu menggunakan hartanya untuk kebaikan, untuk dakwah, untuk beramal, untuk berjihad, untuk bermuamalah, untuk sedekah, dan lain sebagaiannya.
Sudut pandang itu juga mengingatkan kita bahwa harta yang barang titipan ini harus kita ikhlaskan dalam menggunakannya. Maknanya, jika barang titipan itu harus diambil kembali oleh sang penitip, entah dengan cara yang baik atau buruk bagi manusia, manusia harus siap.
Harus selalu ikhlas dan introspeksi diri sehingga percaya bahwa semuanya rencana Allah yang akan membuat kita lebih baik jika bisa kita ambil hikmahnya.
Ustadz Muhammad Yassir: Manusia Harus Meminta Pada Allah Ta’ala
Sudut Pandang Kedua
“Seorang Muslim boleh meminta harta sebanyak-banyaknya dari Allah Ta’ala”, Ujar Ustadz menjelaskan.
Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang doa yang Rasulullah berikan untuk Anas. Doa yang Rasulullah ucapkan ialah:
اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا، وَوَلَدًا، وَبَارِكْ لَهُ
“Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660)
Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480)
Berangkat dari hadist tersebut, muncul sudut pandang lainnya bahwa harta boleh kita minta kepada Allah Subhana Wa Ta’ala.
Masyarakat yang menganggap bahwa harta itu titipan dari Allah seringkali punya anggapan bahwa semua harta sudah dijatah. Beranggapan bahwa miskin dan kaya adalah kodrat, sehingga manusia hanya boleh pasrah.
Maka hadist ini memberikan pandangn baru, bahwa nyatanya Rasulullah pernah meminta Allah ta’ala untuk memperbanyak jatah rizky yang diturunkan untuk Anas bin Malik Radhiyallahu anha.
Motivasi Untuk Menjadi Besar
Dalam anggapan tentang terpuruknya perekonomian Ummat Islam hari ini, bukanlah suatu dasar bahwa ummat Islam hanya bisa menyerah. Pada hakikat dalil diatas, Rasulullah mengajarkan bahwa sebagai manusia, kita punya hak untuk meminta karunia harta sebanyak-banyaknya bagi Allah Ta’ala.
Dengan meminta kekayaan, maka kita punya hak untuk memperkuat usaha kita dalam memberikan manfaat bagi masyarakat, yang dalam kata lain disebut “bekerja”. Dengan semangat tersebut, doa dan ikhtiar manusia akan seimbang untuk menjemput karunia rizki yang berkah dari Allah Ta’ala.
Ketika Ummat Islam kaya akan harta, punya titipan yang berlimpah dari Allah, maka makin luas ladang manusia untuk mengamalkan ibadah dari hartanya.
Maka individu yang berhasil sampai pada tahap tersebut, ialah individu yang selalu meminta pada Allah dan berusaha secara maksimal untuk meraih kekayaan dengan cara yang baik. Juga individu yang selalu menanggap bahwa harta hanya titipan, sehingga pencapaiannya selalu digunakan sesuai apa yang Allah perintahkan.
Berbagai Problematika Lainnya
Kajian tersebut pun dilanjutkan dengan tanya jawab, salah seorang penanya bernama Raka Fajar berkesempatan menanyakan kebingungannya soal hukum Bitcoin.
Ustadz menegaskan bahwa secara makna, segala hal yang dianggap sebagai harta oleh manusia, maka itulah yang disebut harta. maknanya ketika mata uang digital modern seperti bitcoin itu dianggap harta bagi manusia, maka hal itu terikat dengan hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan harta.
Ketika pemahaman individu terhadap harta sudah sesuai dengan sudut pandang Islam seperti diatas, maka barulah individu bisa berangkat ke dalam problematika kelompok. Yang dimaksud adalah seputar ekonomi ummat, pelaksanaan sistem keuangan syariah, atau fasilitas perekonomian masyarakat dan lainnya.
Hal tersebut disinggung oleh Ustadz Muhammad Yassir sebagai target selanjutnya jika Ummat Islam sudah punya sudut pandang yang sepaham dengan diatas. (RAB)