Ramadan, bulan suci penuh berkah bagi umat muslim, juga menghadirkan dilema bagi sebagian kalangan, khususnya ibu hamil. Kewajiban berpuasa, rukun Islam yang sangat penting, berhadapan dengan kondisi fisiologis khusus yang dialami ibu hamil, menimbulkan pertanyaan krusial: apakah ibu hamil wajib berpuasa? Jawabannya, sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Islam dan didukung oleh perspektif medis, tidak sesederhana ya atau tidak. Lebih tepatnya, itu adalah pertanyaan yang membutuhkan pertimbangan cermat, mempertimbangkan aspek keagamaan dan kesehatan secara seimbang.
Secara prinsip, puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah baligh dan berakal sehat, kecuali terdapat halangan syar’i yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Namun, Islam, sebagai agama yang penuh rahmat, memberikan keringanan (rukhshah) bagi mereka yang mengalami kondisi tertentu, termasuk ibu hamil dan menyusui. Keringanan ini didasarkan pada prinsip maslahah (kemaslahatan), yaitu menjaga kesejahteraan dan keselamatan umat.
Kitab Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, merupakan salah satu rujukan penting yang menjelaskan hal ini. Buku tersebut menyatakan bahwa keringanan berpuasa diberikan jika puasa dikhawatirkan dapat membahayakan kesehatan ibu hamil atau perkembangan janin. Kekhawatiran ini meliputi risiko gangguan kecerdasan janin, ancaman terhadap keselamatan janin, atau munculnya penyakit serius pada ibu. Analogi yang sering digunakan adalah keringanan yang diberikan kepada orang sakit dan musafir. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menggugurkan kewajiban puasa dan separuh salat bagi musafir, serta menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita yang hamil dan menyusui." (HR Ahmad dan empat penyusun kitab Sunan dari Anas bin Malik al-Ka’bi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa Islam tidak memaksakan sesuatu yang dapat membahayakan kesehatan. Kewajiban berpuasa dibebaskan jika berpotensi menimbulkan risiko signifikan bagi ibu dan janin. Bahkan, dalam situasi tertentu, tidak berpuasa justru menjadi kewajiban jika puasa berpotensi mengancam nyawa atau memicu penyakit serius. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 195 yang berbunyi, "…wa la tulqū anfusakum fi al-tahlukah…" (…janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan…). Ayat ini menunjukkan prinsip kehati-hatian dan mencegah tindakan yang berpotensi merugikan.
Oleh karena itu, keputusan untuk berpuasa atau tidak berpuasa bagi ibu hamil bukanlah sesuatu yang absolut dan harus dipertimbangkan secara individual. Konsultasi dengan dokter sangat dibutuhkan untuk mengevaluasi kondisi kesehatan ibu dan janin. Dokter akan mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia kehamilan, riwayat kesehatan ibu, dan kondisi janin untuk memberikan rekomendasi yang tepat.
Jika ibu hamil memutuskan untuk tidak berpuasa karena pertimbangan kesehatan, maka ia wajib mengqadha (mengganti) puasa tersebut setelah masa nifas (masa pasca melahirkan). Namun, mengenai fidyah (tebusan puasa dengan memberikan makanan kepada orang miskin), pendapat para ulama berbeda tergantung mazhab yang dianut. Mazhab Hanafi hanya menetapkan qadha tanpa fidyah, sedangkan mazhab Syafi’i, Hambali, dan Maliki memiliki pandangan yang berbeda terkait kewajiban fidyah, tergantung pada kondisi ibu (hamil atau menyusui). Oleh karena itu, penting bagi ibu hamil untuk memahami pandangan mazhab yang dianutnya dan berkonsultasi dengan ulama yang kompeten untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci.
Dari perspektif medis, buku "Puasa Sebagai Terapi" karya Dyayadi M.T. menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui secara medis tidak diwajibkan berpuasa. Namun, buku tersebut juga mengakui bahwa sebagian ibu tetap ingin berpuasa karena pertimbangan spiritual. Secara medis, berpuasa dapat dilakukan asalkan kondisi kesehatan ibu memungkinkan dan terpenuhi kebutuhan nutrisi yang cukup bagi ibu dan janin.
Salah satu risiko yang perlu diwaspadai adalah hipoglikemia, yaitu penurunan kadar gula darah yang dapat menyebabkan pusing, lemah, dan gemetar. Kondisi ini sangat berbahaya bagi ibu dan janin, karena dapat mengakibatkan kekurangan gula, kalori, dan zat gizi penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan janin. Oleh karena itu, penting bagi ibu hamil yang berpuasa untuk memperhatikan asupan nutrisi dan memantau kadar gula darahnya secara teratur.
Waktu kehamilan juga mempengaruhi keputusan untuk berpuasa. Pada trimester pertama, ketika janin sedang berkembang pesat, ibu hamil sering mengalami mual, muntah, dan pusing. Kondisi ini membuat berpuasa menjadi lebih berisiko. Begitu pula pada trimester ketiga, terdapat risiko gangguan metabolisme yang dapat dipengaruhi oleh puasa. Produksi hormon insulin yang berperan dalam metabolisme lemak dan berat badan janin dapat terganggu jika ibu berpuasa terlalu lama. Janin membutuhkan energi secara terus-menerus, dan puasa yang terlalu lama dapat menyebabkan kekurangan energi bagi janin, meningkatkan risiko hipoglikemia.
Jika ibu hamil ingin berpuasa, periode kehamilan 4-6 bulan dianggap lebih aman karena risiko gangguan metabolisme lebih rendah. Namun, keputusan akhir tetap harus dilakukan setelah konsultasi dengan dokter dan memperhatikan kondisi kesehatan ibu dan janin secara keseluruhan. Pemantauan kesehatan yang teratur sangat penting untuk memastikan kesehatan ibu dan janin tetap terjaga selama bulan Ramadan.
Kesimpulannya, keputusan untuk berpuasa atau tidak berpuasa bagi ibu hamil merupakan suatu pertimbangan yang kompleks dan individual. Islam memberikan keringanan bagi mereka yang kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Konsultasi dengan dokter dan ulama yang kompeten sangat dibutuhkan untuk mendapatkan penjelasan yang tepat dan menentukan keputusan yang bijak, sehingga ibadah puasa dapat dijalankan dengan aman dan tidak merugikan kesehatan ibu dan janin. Prioritas utama adalah kesehatan ibu dan janin, karena kesehatan merupakan nikmat Allah yang harus dijaga dengan baik.