Jakarta, 4 Juni 2025 – Hari Raya Idul Adha 1446 H telah berlalu, meninggalkan jejak renungan mendalam melalui khutbah-khutbah yang disampaikan di berbagai masjid dan musholla di Indonesia. Kementerian Agama (Kemenag) RI, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, sebagai tiga pilar utama keagamaan di Indonesia, masing-masing menyajikan materi khutbah yang mencerminkan interpretasi dan penekanan teologis yang khas. Analisis komparatif terhadap materi khutbah ini memberikan gambaran menarik tentang bagaimana nilai-nilai Idul Adha dimaknai dan diimplementasikan dalam konteks kekinian.
Kemenag RI: Syukur, Takwa, dan Tawakal dalam Tiga Ibadah Utama Idul Adha
Khutbah Idul Adha versi Kemenag RI, yang disusun oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Sumsel Syafitri Irwan, menekankan tiga pilar utama: syukur, takwa, dan tawakal. Khutbah diawali dengan ungkapan syukur atas nikmat kesehatan dan umur panjang yang memungkinkan umat muslim dapat merayakan Idul Adha. Ini bukan sekadar ungkapan lisan, tetapi juga sebuah ajakan untuk mensyukuri nikmat tersebut melalui tindakan nyata, yaitu beribadah dan beramal saleh. Syukur, menurut khutbah ini, harus diwujudkan dalam ucapan, hati, dan tindakan.
Selanjutnya, khutbah tersebut menyinggung pentingnya takwa sebagai bekal utama dalam menjalani kehidupan duniawi dan ukhrawi. Ayat Al-Qur’an (QS Al-Baqarah: 197) yang menekankan pentingnya takwa sebagai sebaik-baik bekal dibacakan dan dijelaskan. Takwa, dalam konteks ini, diartikan sebagai menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kehidupan yang berlandaskan takwa akan membawa keberhasilan di dunia dan akhirat.
Titik fokus utama khutbah Kemenag RI adalah penanaman nilai tawakal melalui tiga ibadah utama Idul Adha: sholat Id, kurban, dan haji. Ketiga ibadah ini, menurut khutbah, tidak hanya memperkuat keimanan, tetapi juga mengajarkan kepasrahan total kepada Allah SWT. Tawakal dijelaskan sebagai penyerahan penuh setiap urusan kepada Allah, dengan tetap diiringi ikhtiar dan usaha. Khutbah mengutip ayat Al-Qur’an (QS Al Imran: 159) yang menjelaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.
Sholat Id dijelaskan sebagai manifestasi komitmen kepasrahan diri kepada Allah. Seluruh aspek sholat, dari niat hingga penyelesaiannya, didedikasikan sepenuhnya kepada Allah. Ayat Al-Qur’an (QS Al-An’am: 162) yang menyatakan bahwa sholat, ibadah, hidup, dan mati Nabi Muhammad SAW hanya untuk Allah, digunakan untuk memperkuat argumentasi ini.
Ibadah kurban dijelaskan sebagai pengingat atas limpahan nikmat Allah dan ajakan untuk berbagi rezeki dengan sesama. Khutbah menekankan pentingnya melepaskan perhitungan material dalam berkurban, dengan keyakinan bahwa Allah akan melipatgandakan pahala dan rezeki. Ayat Al-Qur’an (QS Al-Baqarah: 261) tentang perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah digunakan sebagai landasan. Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan keutamaan ibadah kurban juga dibacakan.
Terakhir, ibadah haji diuraikan sebagai puncak dari nilai tawakal. Perjalanan jauh ke tanah suci, pengorbanan materi, dan waktu tunggu yang panjang, semuanya dimaknai sebagai bentuk kepasrahan total kepada Allah. Ayat Al-Qur’an (QS Ali Imran: 97) tentang kewajiban haji bagi yang mampu menjadi penutup argumentasi. Secara keseluruhan, khutbah Kemenag RI menyajikan pesan yang komprehensif dan seimbang, menggabungkan aspek spiritual dan sosial dalam konteks perayaan Idul Adha.
NU: Keteladanan Ibrahim dan Ismail sebagai Model Keberagamaan
Khutbah Idul Adha versi NU, yang disusun oleh Ustaz Sunnatulah dari Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, lebih menekankan pada keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Khutbah diawali dengan ungkapan syukur dan ajakan untuk meningkatkan takwa. Namun, inti khutbah berfokus pada kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail sebagai teladan kesabaran dan ketaatan yang luar biasa.
Kisah tersebut diuraikan secara detail, menekankan aspek kepasrahan Nabi Ibrahim dan kerelaan Nabi Ismail. Ayat Al-Qur’an (QS Ash-Shaffat: 102) yang menceritakan percakapan antara Ibrahim dan Ismail dibacakan dan dijelaskan. NU menekankan bahwa kisah ini bukan sekadar cerita sejarah, tetapi sebuah teladan tentang ketaatan tanpa syarat kepada Allah. Namun, khutbah juga menyinggung pentingnya konteks, bahwa ketaatan Ibrahim dan Ismail perlu dimaknai dalam konteks keistimewaan mereka sebagai nabi, bukan sebagai ajakan untuk orang tua memaksa anak atau sebaliknya.
Khutbah NU kemudian menguraikan ayat Al-Qur’an (QS Ash-Shaffat: 105-107) yang menceritakan penggantian Ismail dengan hewan kurban. Ini dimaknai sebagai balasan Allah atas ketaatan dan kesabaran mereka. Khutbah kemudian mengutip pendapat Syekh Muhammad Mutawalli asy-Syarawi tentang pentingnya menerima takdir Allah dengan ikhlas dan sabar.
Secara keseluruhan, khutbah NU menekankan aspek moral dan spiritual dari kisah Idul Adha. Pesan utama yang disampaikan adalah pentingnya ketaatan, kesabaran, dan penerimaan terhadap takdir Allah. Khutbah ini lebih bernuansa tafsir dan pencerahan moral dibandingkan dengan khutbah Kemenag yang lebih menekankan pada aspek ritual dan tawakal.
Muhammadiyah: Islam Berkemajuan Berbasis Keteladanan Ibrahim dan Ismail
Khutbah Idul Adha versi Muhammadiyah, yang disusun oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dadang Kahmad, mengarahkan pesan keteladanan Ibrahim dan Ismail ke dalam konteks “Islam Berkemajuan”. Khutbah diawali dengan ungkapan syukur dan ajakan untuk meningkatkan takwa, kemudian langsung masuk ke inti pembahasan, yaitu kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail.
Muhammadiyah menyoroti aspek keikhlasan dan keberanian dalam kisah tersebut. Keikhlasan Nabi Ibrahim dalam beribadah dan keberaniannya menghadapi tantangan dimaknai sebagai teladan bagi umat Islam di era modern. Ayat Al-Qur’an (QS As-Shaffat: 102) dibacakan dan dijelaskan sebagai dasar argumentasi.
Khutbah Muhammadiyah kemudian menghubungkan kisah tersebut dengan konsep “Islam Berkemajuan”. Dalam konteks ini, ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail diinterpretasikan sebagai semangat untuk terus bergerak maju, menghadapi tantangan dengan keberanian, dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Khutbah juga menekankan pentingnya keikhlasan dalam beribadah, sesuai dengan ayat Al-Qur’an (QS Al-Bayyinah: 5).
Selain keikhlasan, Muhammadiyah juga menekankan pentingnya keberanian menghadapi tantangan dan semangat pembaruan (tajdid). Nabi Ibrahim dimaknai sebagai contoh pemimpin yang tidak gentar dalam menghadapi ujian. Semangat tajdid diartikan sebagai upaya untuk terus mencari kebenaran dan mendekatkan diri kepada Allah melalui karya dan kontribusi nyata bagi masyarakat. Ayat Al-Qur’an (QS Al-Baqarah: 124) tentang Ibrahim sebagai imam bagi seluruh manusia dikaitkan dengan semangat kepemimpinan yang progresif dan bertanggung jawab. Ayat Al-Qur’an (QS Al-Mumtahanah: 6) tentang keteladanan Ibrahim juga dibacakan untuk memperkuat argumentasi.
Secara keseluruhan, khutbah Muhammadiyah mengintegrasikan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail dengan visi gerakan Muhammadiyah, yaitu Islam Berkemajuan. Khutbah ini menekankan pentingnya implementasi nilai-nilai Idul Adha dalam kehidupan nyata, dengan fokus pada keberanian, keikhlasan, dan kontribusi positif bagi masyarakat. Ini menunjukkan bagaimana Muhammadiyah menginterpretasikan ajaran Islam dalam konteks perkembangan zaman dan kemajuan peradaban.
Kesimpulan:
Ketiga khutbah Idul Adha dari Kemenag RI, NU, dan Muhammadiyah, meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, pada dasarnya menyampaikan pesan yang sama, yaitu pentingnya ketaatan, kesabaran, keikhlasan, dan pengorbanan dalam konteks keimanan kepada Allah SWT. Namun, perbedaan penekanan dan konteks menunjukkan kekayaan interpretasi dan implementasi ajaran Islam di Indonesia. Kemenag RI menekankan aspek ritual dan tawakal, NU berfokus pada keteladanan moral, sementara Muhammadiyah mengintegrasikan nilai-nilai Idul Adha dengan visi Islam Berkemajuan. Ketiga perspektif ini saling melengkapi dan memperkaya pemahaman tentang makna Idul Adha bagi umat Islam di Indonesia.