Perjanjian Hudaibiyah, yang ditandatangani pada bulan Dzulqa’dah tahun 6 Hijriah, merupakan tonggak sejarah penting dalam perjalanan dakwah Islam. Lebih dari sekadar perjanjian damai antara Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy di Makkah, peristiwa ini menunjukkan kejeniusan strategi Nabi dalam menyebarkan Islam melalui jalur diplomasi dan kesabaran, sekaligus menjadi bukti nyata bahwa syiar Islam tidak dibangun di atas kekerasan, melainkan kesukarelaan dan kedamaian. Perjanjian ini, yang pada pandangan pertama tampak merugikan bagi kaum Muslimin, justru menjadi batu loncatan menuju kemenangan yang lebih besar, membuka jalan bagi perkembangan Islam yang pesat dan penaklukan Makkah yang damai dua tahun kemudian.
Latar Belakang: Rindu Kampung Halaman dan Tekad Berziarah
Enam tahun pasca hijrah ke Madinah, kerinduan akan Makkah, kampung halaman Nabi dan para sahabat Muhajirin, begitu terasa. Hasrat untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, sekaligus berziarah ke Ka’bah, mendorong Nabi Muhammad SAW untuk memimpin rombongan besar menuju Makkah. Sekitar 1.400 orang, terdiri dari Muhajirin dan Anshar, berangkat dengan membawa 70 ekor unta untuk kurban. Di antara rombongan tersebut terdapat Ummu Salamah, salah satu istri Nabi. Perjalanan yang sarat makna spiritual ini dimulai dengan lantunan talbiyah di Dzulhulaifah.
Namun, niat suci ini tidak luput dari perhatian kaum Quraisy yang masih musyrik. Berita kedatangan rombongan Nabi segera sampai ke Makkah, memicu reaksi keras dari kaum Quraisy yang khawatir akan kekuatan kaum Muslimin yang terus berkembang. Mereka segera mengerahkan pasukan berkuda sebanyak 200 orang di bawah pimpinan Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal, menempatkannya di Dzu Thuwa untuk menghalau rombongan Nabi.
Pertemuan di Usfan dengan seorang penduduk Bani Ka’ab yang menyampaikan informasi tentang pasukan Quraisy, membuat Nabi Muhammad SAW mengubah strategi. Beliau menyadari potensi pertumpahan darah yang dapat terjadi jika memaksakan diri masuk Makkah. Keputusan diambil untuk menghindari konfrontasi dan memilih jalur alternatif menuju Hudaibiyah, sebuah lokasi di pinggiran Makkah.
Kaum Quraisy, yang awalnya bersiap untuk peperangan, mengirim beberapa utusan untuk menyelidiki maksud kedatangan rombongan Nabi. Utusan pertama dari Bani Khuza’a, Budail bin Warqa, kembali dengan laporan bahwa rombongan tersebut bertujuan berziarah, bukan berperang. Namun, laporan ini tidak memuaskan kaum Quraisy yang tetap bersikeras pada sikap permusuhan. Utusan kedua dari Bani Ahabisy, Hulais, menyaksikan sendiri persiapan kurban rombongan Nabi, memperkuat kesaksian bahwa tujuan mereka adalah damai. Bahkan Urwah bin Mas’ud, utusan ketiga, setelah berinteraksi langsung dengan Nabi dan para sahabat, terkesan dengan kesederhanaan dan kedisiplinan mereka, hingga menyampaikan laporan yang menunjukkan kekagumannya kepada kaum Quraisy.
Meskipun demikian, ketegangan tetap berlangsung. Sebuah insiden pelemparan batu ke kemah Nabi oleh sekitar 50 orang Quraisy terjadi pada malam hari. Namun, dengan bijaksana, Nabi Muhammad SAW memaafkan mereka, menunjukkan komitmennya pada perdamaian, khususnya mengingat lokasi Hudaibiyah yang termasuk wilayah suci Makkah dan bulan suci yang sedang berlangsung.
Upaya diplomasi Nabi untuk mengirimkan utusan guna berunding dengan kaum Quraisy pun dimulai. Umar bin Khattab, yang dikenal dengan sikap tegasnya, menolak penugasan tersebut karena khawatir akan keselamatannya. Akhirnya, Utsman bin Affan yang dipilih untuk menjalankan misi penting ini.
Perundingan antara Utsman dan Abu Sufyan berjalan alot. Kaum Quraisy tetap menolak keinginan kaum Muslimin untuk memasuki Makkah. Munculnya isu pembunuhan Utsman oleh kaum Quraisy memicu reaksi keras dari kaum Muslimin. Peristiwa ini melahirkan Bai’atur Ridhwan, sumpah setia yang dilangsungkan di bawah pohon Samrah, yang kemudian menjadi asbabun nuzul Surah Al-Fath ayat 18: "Sungguh, Allah benar-benar telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad) di bawah sebuah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia menganugerahkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan berupa kemenangan yang dekat."
Kembalinya Utsman, meskipun setelah Bai’atur Ridhwan, tidak mengubah niat Nabi untuk mencapai perdamaian. Kaum Quraisy, meskipun telah menerima penjelasan Utsman, masih enggan menunjukkan kelemahan di hadapan suku-suku Arab lainnya.
Proses Perundingan dan Perumusan Perjanjian
Suhail bin Amr dari Bani Amir bin Luai akhirnya diutus sebagai utusan terakhir dari kaum Quraisy untuk merumuskan perjanjian. Perundingan berlangsung intensif. Suhail meminta kaum Muslimin membatalkan ziarah ke Ka’bah tahun itu. Setelah pertimbangan matang, Nabi Muhammad SAW menyetujui perjanjian damai tersebut. Ali bin Abi Thalib ditunjuk untuk menulis naskah perjanjian.
Proses penulisan naskah perjanjian pun sarat dengan dinamika. Suhail bin Amr menolak penulisan basmalah dengan redaksi "Bismillahirrahmanirrahim", mengusulkan "Bismikallahumma" karena ia tidak mengenal gelar "Ar-Rahman" dan "Ar-Rahim". Nabi Muhammad SAW menerima usulan tersebut, menunjukkan fleksibilitas dan kebijaksanaan dalam mencapai kesepakatan. Suhail juga meminta agar nama Nabi Muhammad SAW dituliskan lengkap dengan nama ayahnya, bukan dengan gelar "Rasulullah". Sekali lagi, Nabi Muhammad SAW menerima permintaan tersebut, menunjukkan prioritas utama beliau adalah tercapainya perdamaian.
Isi Perjanjian Hudaibiyah dan Hikmahnya
Naskah Perjanjian Hudaibiyah, yang dikutip dari Sirah Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam, mencakup beberapa poin penting: perjanjian damai selama 10 tahun; jaminan keamanan bagi kedua belah pihak; pengembalian orang Quraisy yang masuk Islam tanpa izin wali; orang Muslimin yang pindah ke Quraisy tidak akan dikembalikan; larangan pengkhianatan dan pencurian rahasia; kebebasan bagi suku-suku Arab untuk bersekutu dengan salah satu pihak; penundaan ziarah Nabi Muhammad SAW ke Makkah tahun itu, dengan kesepakatan ziarah pada tahun berikutnya selama tiga hari dengan membawa senjata hanya pedang yang terhunus.
Meskipun pada pandangan pertama, perjanjian ini tampak merugikan kaum Muslimin, terutama terkait penundaan ziarah dan pengembalian orang Quraisy yang masuk Islam, namun hikmah di baliknya sangat besar. Perjanjian Hudaibiyah membuka peluang emas bagi perkembangan Islam. Suasana damai yang tercipta memungkinkan kaum Muslimin berinteraksi dan berdakwah dengan lebih leluasa kepada kaum Quraisy. Dakwah lisan dan tertulis pun dapat dilakukan dengan aman. Nabi Muhammad SAW bahkan mengirimkan surat kepada para penguasa negara lain untuk mengajak mereka memeluk Islam.
Hasilnya luar biasa. Dalam waktu dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyah, jumlah pemeluk Islam meningkat secara signifikan, melebihi jumlah pemeluk Islam sebelum perjanjian tersebut. Perjanjian ini juga menjadi pintu gerbang menuju Fathu Makkah, penaklukan Makkah yang damai, sebuah kemenangan besar yang tidak terbayangkan sebelumnya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah bahkan menyebut Perjanjian Hudaibiyah sebagai kunci menuju Fathu Makkah.
Perjanjian Hudaibiyah bukan hanya sebuah perjanjian damai biasa, melainkan sebuah strategi jenius Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan Islam. Ia membuktikan bahwa kekuatan Islam tidak hanya terletak pada kekuatan militer, tetapi juga pada kebijaksanaan, kesabaran, dan kemampuan bernegosiasi untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia. Perjanjian ini merupakan pelajaran berharga tentang pentingnya diplomasi dan perdamaian dalam mencapai tujuan mulia.