Jakarta, 20 Februari 2025 – Pernikahan, sebagai pondasi keluarga dan masyarakat, memiliki aturan dan kaidah yang sangat penting dalam Islam. Syariat Islam mengatur pernikahan secara detail, bertujuan untuk menjaga kesucian, keharmonisan, dan keberkahan rumah tangga. Namun, praktik pernikahan yang menyimpang dari syariat kerap terjadi, menimbulkan permasalahan hukum dan etika yang kompleks. Artikel ini akan mengkaji lima jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam, dengan penjelasan rinci mengenai dasar hukum, implikasi, dan konsekuensi pelanggaran terhadap aturan tersebut.
1. Pernikahan Beda Agama:
Pernikahan beda agama merupakan salah satu jenis pernikahan yang paling sering diperdebatkan. Dasar larangannya bersumber pada firman Allah SWT dalam Al-Quran yang secara tegas melarang pernikahan dengan pemeluk agama lain. Ayat-ayat tersebut menekankan pentingnya menjaga kesucian agama dan menghindari percampuran yang dapat menimbulkan konflik nilai dan keyakinan.
Secara hukum, pernikahan beda agama di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini mensyaratkan kedua calon mempelai harus menganut agama yang sama. Meskipun demikian, praktik pernikahan beda agama masih terjadi, menimbulkan dilema hukum dan sosial. Pernikahan yang dilakukan di luar ketentuan hukum negara, meskipun sah menurut agama salah satu pihak, tetap tidak diakui secara legal di Indonesia. Hal ini berdampak pada status anak, harta bersama, dan berbagai aspek hukum lainnya. Dari perspektif syariat Islam, pernikahan beda agama adalah batal dan tidak sah, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pernikahan dalam Islam.
2. Nikah Syighār (Pertukaran Wanita):
Nikah Syighār adalah praktik pernikahan yang melibatkan pertukaran wanita tanpa adanya mahar atau imbalan yang sesuai dengan syariat. Dalam praktik ini, dua orang laki-laki saling menikahi istri masing-masing tanpa adanya transaksi yang sah dan adil. Hal ini dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
Larangan nikah syighār didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang praktik tersebut. Nabi SAW menegaskan bahwa pernikahan harus didasarkan pada kesepakatan yang adil dan saling menghormati, bukan semata-mata pertukaran atau transaksi yang merugikan salah satu pihak. Nikah syighār dianggap sebagai bentuk penipuan dan ketidakadilan, karena mengabaikan hak-hak perempuan dan prinsip-prinsip keadilan dalam pernikahan. Dari sisi hukum Islam, pernikahan ini tidak sah dan tidak diakui.
3. Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak):
Nikah Mut’ah adalah jenis pernikahan sementara yang disepakati untuk jangka waktu tertentu dengan sejumlah mahar yang telah ditentukan. Praktik ini pernah dibolehkan pada masa tertentu dalam sejarah Islam, namun kemudian diharamkan oleh sebagian besar ulama.
Pendapat yang mengharamkan nikah mut’ah didasarkan pada sejumlah hadits dan riwayat yang menunjukkan larangan Nabi SAW terhadap praktik tersebut. Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial, seperti eksploitasi seksual, ketidakpastian status anak, dan pelemahan ikatan keluarga. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara ulama, mayoritas ulama kontemporer mengharamkan nikah mut’ah karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesucian dan kehormatan pernikahan dalam Islam. Di Indonesia, praktik ini tidak diakui secara hukum dan agama.
4. Nikah Muhallil (Nikah untuk Menghalalkan):
Nikah Muhallil merupakan praktik pernikahan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghalalkan seorang wanita yang telah dicerai talak raj’i (talak yang masih memungkinkan rujuk) oleh suaminya. Suami yang menceraikan istrinya kemudian menikahi wanita tersebut dengan tujuan untuk kemudian menceraikannya lagi, sehingga mantan suami pertama dapat kembali menikahinya.
Praktik ini sangat dilarang dalam Islam karena dianggap sebagai bentuk penipuan, eksploitasi, dan penghinaan terhadap martabat perempuan. Nikah muhallil bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesucian pernikahan dalam Islam. Nabi SAW telah melaknat orang yang melakukan nikah muhallil, menunjukkan betapa seriusnya larangan ini. Secara hukum, pernikahan ini tidak sah dan tidak diakui dalam Islam.
5. Pernikahan dengan Perempuan yang Bersuami:
Pernikahan dengan perempuan yang telah bersuami merupakan tindakan zina dan jelas dilarang dalam Islam. Hal ini merupakan pelanggaran yang sangat serius, karena merusak institusi keluarga dan melanggar hak-hak suami yang sah.
Larangan ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi SAW yang secara tegas melarang perzinahan dan menuntut hukuman yang berat bagi pelakunya. Pernikahan dengan perempuan yang bersuami tidak hanya melanggar hukum agama, tetapi juga hukum negara. Tindakan ini dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kesimpulan:
Kelima jenis pernikahan di atas merupakan contoh nyata praktik pernikahan yang menyalahi syariat Islam. Pernikahan yang sah dalam Islam harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan, serta didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kesucian, dan keharmonisan. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan etika yang serius, baik bagi individu maupun masyarakat. Penting bagi setiap muslim untuk memahami dan menaati syariat Islam dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal pernikahan, demi terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Pengetahuan yang mendalam tentang hukum Islam dan konsultasi dengan ulama yang berkompeten sangat penting untuk menghindari praktik-praktik pernikahan yang menyalahi syariat. Selain itu, edukasi dan sosialisasi tentang hukum pernikahan dalam Islam perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan melindungi hak-hak perempuan dalam institusi pernikahan. Perlu pula sinergi antara lembaga keagamaan dan pemerintah dalam penegakan hukum dan perlindungan terhadap praktik-praktik pernikahan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan hukum negara.