Pernikahan, sebagai salah satu sunnatullah—hukum alam yang ditetapkan Allah SWT—merupakan institusi suci yang diatur secara rinci dalam ajaran Islam. Al-Qur’an, dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 49, menegaskan penciptaan segala sesuatu berpasang-pasangan, mengindikasikan pentingnya ikatan pernikahan dalam tatanan kehidupan manusia. Hadits Nabi Muhammad SAW juga menguatkan hal ini, menyatakan bahwa menikah termasuk sunnah para rasul, sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi: "Ada empat perkara yang termasuk sunnah para rasul: rasa malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah."
Namun, di tengah pentingnya institusi pernikahan dalam Islam, terdapat beberapa jenis pernikahan yang secara tegas diharamkan. Larangan ini bukan semata-mata pembatasan, melainkan untuk menjaga kesucian, keadilan, dan tujuan pernikahan itu sendiri sesuai syariat Islam. Berikut lima jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam, beserta penjelasan komprehensif berdasarkan dalil-dalil agama dan pandangan para ulama:
1. Pernikahan Beda Agama (Nikah Mu’ahhad)
Pernikahan beda agama merupakan salah satu isu yang paling sering diperdebatkan dalam konteks fiqih pernikahan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, mayoritas ulama mengharamkan pernikahan antara seorang muslim dengan non-muslim. Pendapat ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan dengan orang musyrik. Surat Al-Baqarah ayat 221, misalnya, menyatakan larangan menikahi laki-laki dan perempuan musyrik, tanpa memandang daya tarik atau keindahan mereka. Larangan serupa juga terdapat dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10.
Meskipun Surat Al-Maidah ayat 5 menyebutkan perbolehannya bagi laki-laki muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), banyak ulama menganggap ayat ini tidak dapat membatalkan dua ayat sebelumnya yang secara tegas mengharamkan pernikahan dengan orang musyrik. Mereka berpendapat bahwa dua ayat pengharaman tidak mungkin dikalahkan oleh satu ayat penghalalan, sehingga pengharaman nikah beda agama tetap berlaku.
Pendapat ini juga diperkuat oleh tindakan Umar bin Khattab, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Katsir. Setelah turunnya ayat Al-Mumtahanah ayat 10, Umar bin Khattab langsung menceraikan kedua istrinya yang masih beragama kafir. Tindakan ini menunjukkan pemahaman beliau terhadap larangan pernikahan beda agama. Perlu ditekankan bahwa "ahli kitab" dalam konteks ayat Al-Maidah ayat 5 memiliki batasan dan interpretasi yang kompleks, dan tidak serta merta mengakomodir semua non-muslim.
Pernikahan beda agama tidak hanya menimbulkan masalah hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik dalam kehidupan rumah tangga terkait perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan. Hal ini dapat mengancam keharmonisan keluarga dan pendidikan anak-anak yang akan dibesarkan dalam lingkungan yang berbeda secara fundamental.
2. Nikah Syighār (Pernikahan Saling Tukar)
Nikah syighār adalah praktik pernikahan yang melibatkan pertukaran antara dua keluarga. Dalam praktik ini, seorang laki-laki menikahkan putrinya atau saudara perempuannya kepada laki-laki lain dengan syarat laki-laki tersebut juga menikahkan putrinya atau saudara perempuannya kepadanya. Pernikahan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa maskawin. Ulama sepakat bahwa nikah syighār hukumnya haram.
Larangan nikah syighār didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Ibnu Abbas dan Anas bin Malik RA: "Tidak ada nikah syighār dalam ajaran Islam." Hadits ini secara tegas menolak praktik pernikahan yang didasarkan pada pertukaran atau transaksi yang mengurangi nilai suci pernikahan. Nikah syighār menunjukkan orientasi materialistik yang bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam, yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (cinta kasih dan kasih sayang).
3. Nikah Mut’ah (Pernikahan Kontrak)
Nikah mut’ah adalah jenis pernikahan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu, misalnya sehari, beberapa hari, atau beberapa bulan, dengan imbalan tertentu. Pernikahan ini pernah dibolehkan pada masa awal Islam, namun kemudian dihapuskan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, nikah mut’ah saat ini diharamkan secara mutlak.
Penghapusan nikah mut’ah dijelaskan melalui sabda Rasulullah SAW. Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengharamkan nikah mut’ah dan memakan daging keledai piaraan pada masa perang Khaibar (HR Bukhari dan Muslim). Penghapusan ini menunjukkan bahwa nikah mut’ah tidak lagi sesuai dengan konteks dan perkembangan ajaran Islam. Praktik ini berpotensi menimbulkan eksploitasi dan ketidakadilan terhadap perempuan.
4. Nikah Muhallil (Pernikahan untuk Menghalalkan)
Nikah muhallil adalah praktik pernikahan yang dilakukan dengan tujuan menghalalkan kembali hubungan antara seorang mantan suami dan mantan istrinya yang telah ditalak tiga. Dalam praktik ini, seorang laki-laki (muhallil) menikahi perempuan tersebut, kemudian menceraikannya, sehingga perempuan tersebut dapat dinikahi kembali oleh mantan suaminya.
Nikah muhallil merupakan praktik yang sangat tercela dan diharamkan dalam Islam. Rasulullah SAW melaknat pelaku nikah muhallil dan perempuan yang terlibat dalam praktik tersebut. Hadits dari Abu Hurairah RA menyatakan: "Allah melaknat muhallil (yang kawin/pria suruhan bekas suami pertama wanita yang ditalak tiga) dan muhallal-nya (bekas suami pertama yang menyuruh orang menjadi muhallil)." (HR Ahmad). Praktik ini memanfaatkan kelemahan hukum untuk memperoleh tujuan yang tidak terhormat, dan menunjukkan penyalahgunaan institusi pernikahan.
5. Pernikahan dengan Perempuan yang Bersuami (Poligami Terbalik)
Menikah dengan perempuan yang sudah bersuami hukumnya haram. Islam tidak mengenal poligami terbalik (poligandri), di mana seorang perempuan memiliki lebih dari satu suami. Hal ini berdasarkan prinsip keadilan dan kejelasan garis keturunan. Meskipun seorang perempuan telah bercerai, ia tetap harus menjalani masa iddah sebelum dapat dinikahi kembali. Masa iddah ini diberikan untuk memastikan kejelasan status kehamilan dan memberikan waktu bagi perempuan untuk menata kembali kehidupannya.
Kesimpulannya, lima jenis pernikahan di atas diharamkan dalam Islam karena bertentangan dengan tujuan pernikahan itu sendiri, yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Larangan ini diberikan untuk menjaga kesucian institusi pernikahan, menghindari ketidakadilan, dan melindungi hak-hak semua pihak yang terlibat. Pemahaman yang komprehensif terhadap larangan-larangan ini sangat penting untuk menjaga keharmonisan dan kesucian kehidupan berumah tangga dalam konteks ajaran Islam. Wallahu a’lam bishawab.