Jakarta, 19 Februari 2025 – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, atau yang akrab disapa Cak Imin, menyerukan revolusi total dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dalam sambutannya pada diskusi publik bertajuk ‘Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah’ di DPP PKB, Jakarta, Rabu (19/2/2025), ia menekankan perlunya transformasi mendasar pada tiga pilar utama penyelenggaraan haji: Kementerian Agama sebagai regulator, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai pengelola dana, dan lembaga pelaksana di daerah dan lokasi ibadah haji di Arab Saudi.
Cak Imin, yang juga menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan, menganggap pengelolaan dana haji yang mencapai triliunan rupiah perlu dikelola secara lebih optimal dan produktif. "Bagaimana uang sebesar itu dikelola menjadi kekuatan yang mampu meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji secara signifikan?" tanyanya retoris, mengungkapkan keprihatinannya atas potensi yang belum tergali sepenuhnya dari dana haji.
Sebagai solusi konkret, Cak Imin mengusulkan langkah berani: akuisisi aset properti di Makkah dan Madinah. "Salah satunya, kalau ada uang, harus beli hotel di Makkah dan Madinah," tegasnya. Ia berpendapat bahwa kepemilikan hotel-hotel tersebut akan menjadi aset berharga bagi penyelenggaraan haji setiap tahunnya, menghasilkan pendapatan tambahan dan meningkatkan efisiensi biaya akomodasi bagi jemaah.
"Beli hotel, atau bangun kondominium, atau apartemen, atau apa saja yang memungkinkan aset tersebut menjadi lebih produktif," imbuhnya, menekankan pentingnya investasi jangka panjang untuk menjamin keberlanjutan dan peningkatan kualitas layanan haji. Ide ini, menurut Cak Imin, bukan hanya sekadar solusi jangka pendek, melainkan strategi investasi yang bijak untuk masa depan penyelenggaraan haji Indonesia. Kepemilikan aset tersebut, selain menghasilkan pendapatan, juga akan memberikan kepastian akomodasi bagi jemaah Indonesia, terhindar dari fluktuasi harga dan keterbatasan ketersediaan kamar hotel selama musim haji.
Namun, usulan Cak Imin tidak berhenti pada akuisisi aset properti. Ia juga mendorong pembentukan Kementerian Haji dan Umrah sebagai lembaga independen yang terpisah dari Kementerian Agama. Menurutnya, pemisahan ini merupakan langkah krusial dalam revolusi penyelenggaraan haji.
"Dan setiap pelaksanaan, saya menuliskan beberapa perbaikan. Salah satu usulan kita dari awal adalah pemisahan Kementerian Agama dengan Kementerian Haji. Ini adalah salah satu revolusi penyelenggaraannya," jelasnya. Ia berpendapat bahwa dengan kementerian tersendiri, penyelenggaraan haji akan lebih fokus, terarah, dan terbebas dari birokrasi yang berbelit-belit di Kementerian Agama. Pembentukan kementerian khusus ini, menurutnya, akan memungkinkan adanya fokus penuh pada peningkatan kualitas layanan dan efisiensi pengelolaan dana haji.
Cak Imin mengakui bahwa usulan pembentukan Kementerian Haji dan Umrah merupakan langkah yang signifikan dan membutuhkan perencanaan matang. Namun, ia melihat langkah ini sebagai kunci untuk mencapai penyelenggaraan haji yang lebih efektif dan efisien. Ia juga mengapresiasi langkah pemerintah yang telah membentuk BPKH sebagai langkah awal menuju reformasi penyelenggaraan haji.
"Alhamdulillah, Pak Prabowo telah memulai, meskipun baru setengah revolusi. Yaitu ada Badan Penyelenggara Haji, tapi belum menjadi kementerian," ujarnya, merujuk pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang telah membentuk BPKH. Namun, menurutnya, pembentukan BPKH hanyalah langkah awal yang perlu dilanjutkan dengan pembentukan Kementerian Haji dan Umrah untuk mencapai transformasi yang lebih komprehensif.
Usulan Cak Imin ini tentu memicu berbagai perdebatan dan analisis. Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah, misalnya, akan menimbulkan pertanyaan mengenai pembagian kewenangan dan koordinasi dengan Kementerian Agama. Alokasi anggaran dan sumber daya manusia juga menjadi pertimbangan penting. Sementara itu, akuisisi hotel di Makkah dan Madinah memerlukan kajian mendalam mengenai aspek legal, finansial, dan operasional. Analisis kelayakan investasi, strategi akuisisi, dan pengelolaan aset pasca-akuisisi perlu dilakukan secara cermat dan transparan.
Namun, terlepas dari tantangan yang ada, usulan Cak Imin ini patut diapresiasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji Indonesia. Selama ini, penyelenggaraan haji seringkali dihadapkan pada berbagai kendala, seperti keterbatasan kuota, biaya yang tinggi, dan kualitas layanan yang belum optimal. Usulan ini menawarkan solusi yang inovatif dan berorientasi pada peningkatan kualitas layanan bagi jemaah.
Lebih lanjut, usulan ini juga menyoroti pentingnya pengelolaan dana haji yang lebih produktif. Dana haji yang jumlahnya sangat besar seharusnya tidak hanya disimpan, tetapi juga diinvestasikan untuk menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan haji dan memberikan manfaat bagi jemaah. Investasi pada aset properti seperti hotel di Makkah dan Madinah dapat menjadi salah satu alternatif investasi yang menjanjikan.
Namun, keberhasilan implementasi usulan ini sangat bergantung pada perencanaan yang matang, koordinasi yang efektif, dan pengawasan yang ketat. Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan proses, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, sangat penting untuk memastikan bahwa usulan ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi jemaah haji Indonesia.
Secara keseluruhan, usulan Cak Imin ini memicu diskusi penting mengenai masa depan penyelenggaraan haji di Indonesia. Ia mendorong kita untuk berpikir lebih inovatif dan proaktif dalam mencari solusi untuk meningkatkan kualitas layanan haji dan memanfaatkan dana haji secara optimal. Meskipun usulan ini masih memerlukan kajian lebih lanjut, ide-ide yang disampaikan Cak Imin patut dipertimbangkan sebagai langkah strategis untuk mewujudkan penyelenggaraan haji yang lebih baik dan berkelanjutan. Diskusi publik ini diharapkan dapat menjadi awal dari proses dialog dan kolaborasi yang lebih luas untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Perlu adanya kajian komprehensif dari berbagai pihak, termasuk para ahli ekonomi, hukum, dan agama, untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil dalam rangka reformasi penyelenggaraan haji benar-benar terukur dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh jemaah.