Zuhud, sebuah istilah Arab yang lekat dengan ajaran Islam, lebih dari sekadar konsep sederhana. Ia merupakan kunci menuju hati yang hidup, sebuah perjalanan spiritual yang menuntut pemahaman mendalam tentang relasi manusia dengan dunia dan akhirat. Bukan sekadar penolakan materi semata, zuhud adalah sebuah proses transformatif yang melibatkan pemahaman, penerimaan, dan akhirnya, pelepasan ikatan duniawi demi meraih kebahagiaan sejati di sisi Allah SWT.
Mengutip buku "Fakir dan Zuhud" karya Eko Setyo Budi, Imam Al-Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai penolakan terhadap sesuatu dan penggantungan diri pada yang lain. Lebih spesifik, zuhud adalah meninggalkan kelebihan duniawi dan menolaknya, sembari berharap pada pahala akhirat. Individu yang demikian disebut sebagai zahid. Namun, penting untuk ditekankan bahwa zuhud tidak berdiri sendiri; ia harus diiringi oleh keyakinan yang teguh bahwa kehidupan akhirat jauh lebih berharga dan abadi daripada kenikmatan fana dunia.
Proses menuju zuhud bukanlah langkah instan, melainkan sebuah perjalanan bertahap yang diawali dengan tiga tahapan penting: ilmu, ridha, dan qana’ah. Ilmu, sebagai pondasi utama, mencerahkan hati dan pikiran, memberikan pemahaman yang komprehensif tentang tujuan hidup dan nilai-nilai sejati. Ilmu yang mendalam ini kemudian melahirkan ridha, yaitu penerimaan atas takdir Allah SWT, baik suka maupun duka. Dengan ridha, hati menemukan ketenangan dan kedamaian, terlepas dari gejolak duniawi. Tahap selanjutnya adalah qana’ah, kepuasan hati atas apa yang telah dimiliki, tanpa terus menerus tergoda oleh keinginan yang tak berujung. Barulah setelah melewati tiga tahapan ini, seseorang dapat mencapai puncak perjalanan spiritualnya, yaitu zuhud—pelepasan ikatan terhadap kesenangan duniawi yang bersifat sementara.
Keteladanan Nabi Muhammad SAW dan Nabi Sulaiman AS menjadi bukti nyata keindahan dan kekuatan zuhud. Buku "Tasawuf Sosial KH MA Sahal Mahfudh" karya Jamal Ma’mur Asmani mencatat bagaimana kedua nabi agung tersebut, meskipun memiliki kekuasaan dan kemewahan, tetap menunjukkan sikap zuhud. Mereka menyajikan hidangan lezat kepada orang lain, sementara mereka sendiri cukup dengan roti dan gandum. Kisah ini menunjukkan bahwa zuhud bukan tentang kemiskinan materi, melainkan tentang kemiskinan jiwa dari ketergantungan terhadap dunia.
Memahami Zuhud Secara Lebih Dalam
Dari perspektif bahasa, kata "zuhud" memiliki arti keinginan atau hasrat terhadap sesuatu. Namun, dalam konteks Islam, zuhud memiliki makna yang lebih luas dan mendalam. Ia menggambarkan sikap hidup sederhana, jauh dari keserakahan dan ambisi materialistis. Zuhud mengajarkan kita untuk menghargai nikmat Allah SWT tanpa terbelenggu oleh keinginan yang tak terpuaskan.
Kitab "Mausu’ah min Akhlaq Rasulillah Shallallahu Alaihi wa Sallam" karya Syaikh Mahmud Al-Mishri, yang diterjemahkan oleh Solihin Rosyidi dan Muhammad Misbah, mencatat penjelasan Ibnu Qayyim tentang zuhud berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyah. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat, sementara wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang dikhawatirkan akan menimbulkan mudharat (kerugian) di akhirat. Perbedaan ini penting untuk dipahami, karena zuhud fokus pada hal-hal yang tidak memberikan manfaat abadi, sedangkan wara’ lebih menekankan pada pencegahan kerugian di akhirat.
Landasan Zuhud dalam Al-Qur’an dan Hadits
Ajaran zuhud tidak hanya didasarkan pada pemahaman ulama, tetapi juga tercantum secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Berzuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Dan berzuhudlah engkau terhadap apa-apa yang ada di manusia, niscaya mereka akan mencintaimu." (HR Ibnu Majah). Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa zuhud merupakan jalan menuju kecintaan Allah SWT dan manusia.
Surah Al-Kahfi ayat 46 juga mengandung pesan yang relevan dengan zuhud: "(Artinya): Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." Ayat ini menekankan bahwa kekayaan dan keturunan, meskipun merupakan anugerah Allah SWT, bukanlah tujuan hidup utama. Amalan saleh dan ketaatan kepada Allah SWT jauh lebih berharga dan akan memberikan kebahagiaan abadi.
Ciri-ciri Orang yang Zuhud
Buku "Zuhud Berdasi" karya Hj. Noorthaibah, mengutip Imam Al-Ghazali, memaparkan beberapa ciri-ciri orang yang zuhud: (Berikutnya akan dijelaskan ciri-ciri tersebut berdasarkan sumber yang disebutkan, namun detail ciri-ciri tersebut tidak tersedia dalam teks sumber yang diberikan).
Tingkatan Zuhud
Imam Ahmad bin Hanbal membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan: (Berikutnya akan dijelaskan tiga tingkatan tersebut berdasarkan sumber yang disebutkan, namun detail tingkatan tersebut tidak tersedia dalam teks sumber yang diberikan).
Keutamaan Zuhud
Keutamaan memiliki sifat zuhud sangatlah banyak. Kitab "Mukhtashar Ihya Ulumuddin" karya Imam Al-Ghazali, yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan, menyebutkan bahwa orang yang zuhud akan dicintai oleh Allah SWT. Hal ini diperkuat oleh hadits Nabi Muhammad SAW yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda: "Jika di antara kamu sekalian melihat orang laki-laki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah ia. Sesungguhnya ia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan." Hadits ini menunjukkan bahwa zuhud diiringi dengan kejujuran dan kebijaksanaan, menjadikannya teladan yang patut ditiru.
Keutamaan lain dari zuhud antara lain: (Berikutnya akan dijelaskan keutamaan-keutamaan tersebut berdasarkan sumber yang disebutkan, namun detail keutamaan tersebut tidak tersedia dalam teks sumber yang diberikan).
Kesimpulannya, zuhud bukanlah penolakan terhadap dunia secara mutlak, melainkan sebuah perjalanan spiritual untuk membebaskan diri dari belenggu materi dan mencapai kebahagiaan sejati di akhirat. Ia merupakan proses bertahap yang dimulai dari pemahaman yang mendalam, penerimaan yang tulus, dan kepuasan hati yang sejati. Dengan mengamalkan zuhud, kita mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih kehidupan yang lebih bermakna dan abadi. Wallahu a’lam.