Jakarta – Surah Al-Hujurat ayat 12 merupakan seruan tegas dari Allah SWT yang mengarahkan umat Islam untuk menjauhi prasangka buruk (suudzon) dan gunjing (ghibah). Ayat ini bukan sekadar larangan moral, melainkan pedoman hidup yang menekankan pentingnya menjaga lisan dan memelihara hubungan antar sesama manusia. Dalam konteks masyarakat yang semakin kompleks dan terhubung secara digital, pesan ayat ini sangat relevan dan membutuhkan pemahaman yang mendalam.
Ayat ini berbunyi: "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang."
Kalimat-kalimat dalam ayat ini mengandung makna yang kaya dan multi-lapis. Kata "jauhilah banyak prasangka" ( wajtanibū kaṯīran min az-ẓann) menunjukkan bahwa prasangka, meskipun terkadang muncul secara spontan, harus dihindari sebisa mungkin. Bukan sekadar membatasi diri dari prasangka yang sudah terlanjur terbentuk, tetapi juga upaya proaktif untuk mencegahnya sejak awal. Hal ini menuntut kesadaran diri yang tinggi dan kemampuan untuk mengontrol pikiran dan emosi.
Ayat ini kemudian menegaskan bahwa "sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa" (inna ba’ḍaẓ-ẓanni ʾiṯm). Ini menunjukkan bahwa prasangka bukan sekadar kesalahan berpikir, tetapi dapat berkembang menjadi dosa jika dibiarkan tanpa koreksi. Prasangka yang berujung pada tuduhan palsu, fitnah, atau perbuatan yang merugikan orang lain jelas merupakan pelanggaran syariat Islam. Tingkat dosa ini bergantung pada intensitas dan dampak prasangka tersebut.
Selanjutnya, ayat ini secara eksplisit melarang mencari-cari kesalahan orang lain (wa lā tajassasū) dan menggunjing (wa lā yagtab ba’ḍukum ba’ḍan). Mencari-cari kesalahan menunjukkan upaya aktif untuk menemukan aib atau kekurangan orang lain, bahkan jika aib tersebut sudah disembunyikan. Ini merupakan tindakan yang tidak terpuji dan dapat menghancurkan reputasi seseorang. Sementara itu, gunjing adalah membicarakan aib atau kekurangan orang lain di belakang punggungnya. Perbuatan ini seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menjatuhkan atau menghina orang lain.
Sebagai analogi, ayat ini menggunakan perumpamaan yang sangat menarik: "Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik." (a-yaḥibbu aḥadukum ay ya’kula laḥma akhīhi mayyitan fa karhihtumūhu). Perumpamaan ini menggambarkan betapa keji dan menjijikkannya gunjing dan berprasangka buruk. Memakan daging saudara yang sudah mati adalah sesuatu yang amat menjijikkan dan tidak manusiawi. Begitu pula dengan gunjing dan prasangka buruk, perbuatan ini merupakan tindakan yang menghancurkan harga diri dan hubungan antar manusia.
Ayat ini diakhiri dengan seruan untuk bertaqwa kepada Allah SWT (wat-taqullāha). Ketakwaan merupakan landasan utama untuk menghindari prasangka buruk dan gunjing. Dengan bertaqwa, seseorang akan selalu berusaha untuk berbuat baik kepada sesama manusia dan menjaga lisannya dari ucapan yang dapat menyakiti orang lain. Allah SWT digambarkan sebagai Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang (innallaha tawwabur rahim), memberikan harapan bagi mereka yang telah terjerumus ke dalam perbuatan ini untuk bertobat dan memperbaiki diri.
Berbagai tafsir menguatkan makna ayat ini. Tafsir Kementerian Agama RI, misalnya, menekankan larangan mencari-cari kesalahan orang lain yang sengaja ditutup-tutupi untuk mencemoohnya. Hal ini menunjukkan bahwa niat dan tujuan seseorang dalam berkata dan bertindak juga perlu diperhatikan. Gunjing dijelaskan sebagai membicarakan aib sebagian yang lain, sebuah tindakan yang harus dihindari karena dapat menimbulkan kerusakan yang luas.
Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menambahkan bahwa prasangka merupakan tuduhan yang tidak beralasan dan dapat memutus silaturahim. Beliau juga menyatakan bahwa gunjing merupakan sifat orang munafik, perbuatan hina, dan pengecut. Hal ini menunjukkan bahwa gunjing bukan sekadar perbuatan yang tidak terpuji, tetapi juga menunjukkan kekurangan iman dan moral seseorang.
Implementasi ajaran Surah Al-Hujurat ayat 12 dalam kehidupan sehari-hari sangat penting. Di era digital saat ini, gunjing dan prasangka buruk dapat tersebar dengan sangat cepat melalui media sosial dan platform online lainnya. Oleh karena itu, kita harus lebih hati-hati dalam berbicara dan berkomentar di dunia maya. Sebelum mengungkapkan sesuatu, kita harus memastikan kebenaran dan keakuratan informasi tersebut. Jika kita ragu, lebih baik untuk diam daripada menebar prasangka buruk atau gunjing.
Lebih jauh, kita perlu mengembangkan empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Sebelum menilai atau menghakimi seseorang, kita harus memahami konteks dan situasinya. Kita juga harus berusaha untuk melihat sisi positif dari orang lain dan menghindari untuk fokus pada kekurangan mereka.
Pendidikan agama yang komprehensif sangat penting untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam Surah Al-Hujurat ayat 12. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada pemahaman teks ayat secara harfiah, tetapi juga pada aplikasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua, guru, dan tokoh agama memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai ini sejak usia dini.
Selain pendidikan agama, peran media juga sangat penting dalam mensosialisasikan pesan ayat ini. Media dapat memberikan penjelasan yang jelas dan mudah dimengerti tentang bahaya prasangka buruk dan gunjing. Media juga dapat menampilkan contoh-contoh konkret tentang bagaimana prasangka buruk dan gunjing dapat menimbulkan kerusakan dan konflik dalam masyarakat.
Kesimpulannya, Surah Al-Hujurat ayat 12 merupakan pedoman hidup yang sangat relevan untuk dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ayat ini mengajarkan kita untuk menghindari prasangka buruk dan gunjing, memelihara hubungan antar sesama manusia, dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, damai, dan beradab. Di era digital yang penuh dengan informasi dan opini yang berseliweran, kesadaran untuk menjaga lisan dan berhati-hati dalam berkomentar menjadi sangat penting untuk mencegah penyebaran prasangka buruk dan gunjing yang dapat menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Semoga kita semua dapat menjadikan ajaran Surah Al-Hujurat ayat 12 sebagai pedoman hidup untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan bermakna.