Perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah memunculkan berbagai inovasi yang mengagumkan, termasuk kemampuan untuk menghafal dan memproses informasi dalam jumlah besar dengan akurasi tinggi. Kemampuan AI untuk menghafal seluruh isi Al-Qur’an, misalnya, telah memicu perdebatan dan kekhawatiran akan tergesernya peran manusia, khususnya para penghafal Al-Qur’an (hafiz/hafizah). Namun, pandangan ini dibantah tegas oleh Ulil Abshar Abdalla, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Ulil, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ).
Dalam acara peringatan 20 tahun Pusat Studi Al-Qur’an di Masjid Istiqlal, Jakarta, pada 15 Februari 2025, Gus Ulil memberikan perspektif yang mendalam mengenai peran teknologi AI dalam konteks penghafalan Al-Qur’an. Ia menekankan bahwa AI, sekcanggih apapun, semestinya dilihat sebagai alat bantu, bukan pengganti peran manusia. "Peran AI itu untuk membantu manusia, bukan untuk menggantikan," tegasnya. Pernyataan ini menjadi landasan utama argumen Gus Ulil dalam menanggapi kekhawatiran yang berkembang di masyarakat.
Kekhawatiran akan tergantikannya peran hafiz/hafizah oleh AI memang beralasan. Kemampuan AI untuk menghafal Al-Qur’an tanpa kesalahan, menjadikannya seolah-olah superior dibandingkan manusia yang rentan terhadap kesalahan dalam proses menghafal. Namun, Gus Ulil melihat hal ini dari sudut pandang yang berbeda. Ia justru menekankan keistimewaan manusia yang melekat pada potensi untuk melakukan kesalahan.
"Mesin bisa menghafal Al-Qur’an tanpa kesalahan. Sementara manusia menghafal Al-Qur’an dengan potensi kesalahan yang besar, tetapi tetap kedudukan manusia sebagai penghafal Al-Qur’an yang mungkin salah ini jauh lebih tinggi dibanding mesin yang bekerja tanpa kesalahan," papar Gus Ulil. Pernyataan ini bukan sekadar pembelaan terhadap peran hafiz/hafizah, melainkan sebuah refleksi filosofis tentang esensi kemanusiaan. Kemampuan untuk melakukan kesalahan, menurut Gus Ulil, justru menjadi bagian integral dari proses pembelajaran dan pendewasaan spiritual. Manusia, dengan segala keterbatasan dan potensinya untuk salah, memiliki dimensi spiritual dan emosional yang tidak dapat direplikasi oleh mesin.
Lebih jauh, Gus Ulil menggarisbawahi keistimewaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Ia menyinggung sebuah hadits yang menekankan bahwa jika ada manusia yang sempurna tanpa kesalahan, maka Allah SWT tidak akan menyukai dunia ini. Hadits ini, menurut Gus Ulil, mengisyaratkan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada proses perjalanan spiritualnya, yang di dalamnya terdapat ruang untuk belajar dari kesalahan dan terus memperbaiki diri. Proses ini, dengan segala dinamika dan kompleksitasnya, tidak dapat ditiru oleh mesin yang beroperasi berdasarkan algoritma dan data.
Penggunaan AI dalam konteks penghafalan Al-Qur’an, menurut Gus Ulil, seharusnya diarahkan pada fungsi-fungsi pendukung. AI dapat berperan sebagai alat bantu untuk memeriksa keakuratan hafalan, membantu dalam proses pembelajaran, atau bahkan sebagai media untuk menyebarkan dan mengakses teks Al-Qur’an secara luas. Namun, AI tidak dapat menggantikan peran manusia dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Pemahaman dan penghayatan ini merupakan proses yang kompleks dan personal, yang melibatkan aspek intelektual, emosional, dan spiritual manusia.
Peran hafiz/hafizah, dalam konteks ini, melampaui sekadar kemampuan menghafal teks. Mereka berperan sebagai teladan, pembimbing, dan penjaga warisan keilmuan Islam. Mereka tidak hanya menghafal Al-Qur’an, tetapi juga memahami maknanya, menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kualitas ini, menurut Gus Ulil, tidak dapat diukur dan direplikasi oleh mesin.
Perkembangan teknologi AI memang menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi berbagai bidang kehidupan, termasuk dunia keagamaan. Namun, penting untuk selalu menempatkan teknologi pada posisi yang tepat, sebagai alat bantu yang mendukung aktivitas manusia, bukan sebagai pengganti peran manusia itu sendiri. Dalam konteks penghafalan Al-Qur’an, AI dapat menjadi alat bantu yang efektif, tetapi tidak akan pernah dapat menggantikan peran hafiz/hafizah yang memiliki dimensi spiritual dan emosional yang mendalam.
Gus Ulil juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia mengingatkan agar perkembangan teknologi tidak mengikis nilai-nilai luhur yang telah diwariskan selama berabad-abad. Penggunaan teknologi AI dalam konteks keagamaan harus diiringi dengan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai agama dan etika. Hal ini penting untuk mencegah penyalahgunaan teknologi yang dapat merugikan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kesimpulannya, pernyataan Gus Ulil mengenai teknologi AI dan peran manusia dalam menghafal Al-Qur’an bukan sekadar tanggapan terhadap isu terkini, melainkan sebuah refleksi filosofis yang mendalam tentang esensi kemanusiaan dan peran teknologi dalam kehidupan manusia. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, serta menempatkan teknologi pada posisi yang tepat sebagai alat bantu, bukan pengganti peran manusia. Peran hafiz/hafizah, dengan segala kompleksitas dan kedalamannya, tetap tak tergantikan oleh teknologi AI, karena melibatkan aspek spiritual dan emosional yang melekat pada kemanusiaan itu sendiri. Kemampuan untuk melakukan kesalahan, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan manusia, justru menjadi bukti keistimewaan dan potensi manusia untuk terus belajar dan berkembang. Oleh karena itu, perkembangan AI seharusnya dilihat sebagai peluang untuk memperkuat, bukan menggantikan, peran manusia dalam memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an.