Jakarta, 16 Februari 2025 – Ramadan 1446 Hijriah diprediksi akan berlangsung selama 30 hari, demikian menurut perhitungan astronomi yang dilakukan oleh Ketua Emirates Astronomy Society Uni Emirat Arab (UEA), Ibrahim Al Jarwan. Prediksi ini, yang selaras dengan perhitungan astronomi di Indonesia dan sejumlah negara lainnya, menempatkan awal puasa Ramadan pada hari Sabtu, 1 Maret 2025. Al Jarwan merinci detail perhitungannya, memberikan gambaran yang komprehensif mengenai posisi bulan dan matahari yang menjadi dasar prediksi tersebut.
Dalam wawancara dengan Gulf News yang dikutip berbagai media internasional, Al Jarwan menjelaskan bahwa durasi puasa harian diperkirakan mencapai 13 jam. Namun, ia juga mencatat adanya perbedaan waktu antara wilayah timur dan barat UEA. Perbedaan waktu sahur dan berbuka puasa di kedua wilayah tersebut diperkirakan mencapai sekitar 20 menit, sebuah selisih yang wajar mengingat luas wilayah UEA. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan bujur geografis, yang memengaruhi waktu terbit dan terbenamnya matahari.
Prediksi 30 hari puasa Ramadan didasarkan pada perhitungan hilal, yaitu penampakan bulan sabit Syawal. Al Jarwan memprediksi bulan sabit Syawal 1446 H akan muncul pada Sabtu, 29 Maret 2025, pukul 14.58 waktu UEA. Posisi bulan pada saat matahari terbenam akan berada sedikit di atas cakrawala barat, dan akan terbenam hanya lima menit setelah matahari. Keadaan ini, menurut Al Jarwan, akan menyulitkan pengamatan hilal secara visual. Oleh karena itu, berdasarkan perhitungan astronomi, Ramadan akan berlangsung selama 30 hari penuh, dan Idul Fitri 1446 H akan jatuh pada hari Senin, 31 Maret 2025.
Lebih jauh, Al Jarwan menjelaskan detail perhitungan awal Ramadan. Ia menyatakan bahwa bulan baru akan lahir setelah konjungsi matahari dan bulan pada Jumat, 28 Februari 2025, pukul 04.45 waktu UEA. Menjelang terbenamnya matahari pada hari yang sama, bulan akan berada pada ketinggian 6 derajat dan telah berusia 13 jam 35 menit. Pentingnya detail ini terletak pada fakta bahwa bulan baru akan terbenam 31 menit setelah matahari terbenam, memberikan kesempatan yang cukup untuk pengamatan hilal. Berdasarkan kriteria ini, Al Jarwan menyimpulkan bahwa bulan sabit baru akan terlihat setelah matahari terbenam pada Jumat, 28 Februari 2025, yang bertepatan dengan tanggal 29 Syaban 1446 H. Dengan demikian, awal Ramadan 1446 H diprediksi jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Prediksi Al Jarwan ini sejalan dengan metode perhitungan astronomi modern yang banyak digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Metode ini mengandalkan perhitungan matematis yang akurat untuk memprediksi posisi bulan dan matahari, sehingga dapat memberikan prediksi awal dan akhir Ramadan yang lebih tepat dibandingkan dengan metode pengamatan visual semata. Namun, penting untuk diingat bahwa penentuan awal Ramadan tetap menjadi kewenangan otoritas keagamaan masing-masing negara, yang dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain selain perhitungan astronomi semata, seperti rukyat (pengamatan hilal) langsung.
Selain prediksi Ramadan 2025, Al Jarwan juga menyoroti fenomena langka yang akan terjadi pada tahun 2030: dua kali Ramadan dalam satu tahun. Ia memprediksi Ramadan 1451 H akan dimulai pada tanggal 5 Januari 2030, dan Ramadan 1452 H akan dimulai pada tanggal 26 Desember 2030. Fenomena ini terjadi karena perbedaan antara kalender Hijriah (lunar) dan kalender Masehi (solar). Kalender Hijriah didasarkan pada siklus bulan, sedangkan kalender Masehi didasarkan pada siklus matahari. Perbedaan siklus ini dapat menyebabkan pergeseran tanggal awal Ramadan dari tahun ke tahun, dan dalam kasus yang jarang terjadi, dapat menyebabkan dua kali Ramadan dalam satu tahun Masehi.
Terjadinya dua kali Ramadan dalam satu tahun Masehi merupakan peristiwa yang menarik perhatian para ahli astronomi dan ilmuwan agama. Fenomena ini menjadi bukti kompleksitas interaksi antara sistem kalender yang berbeda dan menunjukkan betapa pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap perhitungan astronomi dan ilmu falak dalam menentukan waktu-waktu penting dalam kalender Islam. Peristiwa ini juga akan menjadi kesempatan bagi para peneliti untuk mempelajari lebih lanjut tentang hubungan antara astronomi dan agama, serta dampaknya terhadap kehidupan umat Islam di seluruh dunia.
Perlu ditekankan bahwa prediksi Al Jarwan, meskipun didasarkan pada perhitungan astronomi yang teliti, tetap merupakan prediksi. Penentuan resmi awal dan akhir Ramadan tetap berada di bawah kewenangan otoritas keagamaan masing-masing negara. Pengumuman resmi dari otoritas keagamaan di Indonesia dan negara-negara lain akan menjadi acuan utama bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Kesimpulannya, prediksi Al Jarwan memberikan gambaran yang komprehensif mengenai Ramadan 2025 dan fenomena langka dua Ramadan di tahun 2030. Detail perhitungan astronomi yang diberikannya memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang metode penentuan awal dan akhir Ramadan. Namun, penting untuk tetap mengikuti pengumuman resmi dari otoritas keagamaan terkait untuk memastikan akurasi dan kesesuaian dengan ketentuan agama. Prediksi ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan agama dalam menentukan waktu-waktu penting dalam kalender Islam, serta pentingnya pemahaman yang mendalam terhadap perhitungan astronomi dalam konteks kehidupan beragama. Peristiwa ini juga membuka peluang bagi penelitian lebih lanjut tentang hubungan kompleks antara kalender Hijriah dan Masehi, serta implikasinya bagi umat Islam di seluruh dunia. Dengan demikian, prediksi Al Jarwan bukan hanya sekadar informasi astronomi, tetapi juga sebuah kontribusi penting dalam pemahaman dan pelaksanaan ibadah umat Islam.