Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Hukum puasa sunnah pada hari Sabtu dan Minggu, dua hari yang memiliki signifikansi historis dan religius bagi berbagai agama, menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama. Meskipun Rasulullah SAW sendiri tercatat pernah menjalankan puasa sunnah pada hari-hari tersebut, pendapat mengenai hukumnya—makruh atau mubah—tetap terbelah, memicu diskusi yang hingga kini masih relevan bagi umat Islam.
Sumber utama perdebatan ini bersandar pada beberapa hadits yang mencatat praktik puasa Rasulullah SAW. Dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, diriwayatkan, "Rasulullah SAW sering berpuasa dalam satu bulan. Jika bulan ini beliau berpuasa hari Sabtu, Minggu, dan Senin, maka hari berikutnya beliau berpuasa pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis." (HR Tirmidzi). Hadits ini, meskipun menunjukkan praktik Rasulullah SAW, tidak secara eksplisit menetapkan hukum puasa di hari Sabtu dan Minggu. Ia lebih menggambarkan pola puasa beliau yang cenderung berurutan dan tidak terpaku pada hari-hari tertentu.
Perdebatan semakin kompleks dengan munculnya hadits lain yang memberikan perspektif berbeda. Hadits dari Busr al-Sullami, yang meriwayatkan perkataan saudara perempuannya, Shamma, menyebutkan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: "Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan kepada kalian. Seandainya seseorang di antara kalian tidak mendapatkan kecuali kulit anggur atau dahan kayu (untuk makan), maka hendaknya dia memakannya." (HR Ahmad dan lainnya). Hadits ini, dengan larangannya terhadap puasa Sabtu kecuali puasa wajib, menjadi landasan bagi sebagian ulama yang menganggap puasa sunnah di hari Sabtu sebagai makruh.
Imam Tirmidzi, salah satu imam hadits terkemuka, menafsirkan "makruh" dalam konteks ini sebagai larangan khusus terhadap ikhtisash (pengkhususan) puasa pada hari Sabtu. Alasannya, hari Sabtu merupakan hari suci bagi agama Yahudi, dan menghindari puasa khusus di hari tersebut dianggap sebagai upaya untuk menjauhi kemiripan praktik keagamaan dengan Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konteks budaya dan sejarah turut mewarnai interpretasi hadits.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima secara universal. Riwayat lain justru memperkuat praktik puasa Rasulullah SAW di hari Sabtu dan Minggu. Ummu Salamah RA, istri Rasulullah SAW yang lain, menuturkan bahwa Rasulullah SAW lebih sering berpuasa pada hari Sabtu dan Minggu daripada hari-hari lainnya. Beliau menjelaskan alasannya: "Kedua hari ini merupakan hari besar orang-orang musyrik. Maka, aku ingin melakukan amalan yang bertentangan dengan mereka (orang musyrik)." (HR Ahmad dan Baihaqi). Hadits ini memberikan konteks yang berbeda, menunjukkan puasa sebagai bentuk penolakan terhadap praktik keagamaan orang musyrik, bukan sekadar mengikuti tradisi Yahudi.
Perbedaan interpretasi hadits ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Buku Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, misalnya, mencatat adanya perbedaan pendapat tersebut. Sementara itu, buku Fiqih Praktis Sehari-hari karya Farid Nu’man menjelaskan bahwa puasa di hari Minggu dianggap makruh jika dilakukan secara ifrad (sendiri), tanpa diiringi puasa hari lain atau tanpa sebab khusus. Hal ini juga didukung oleh riwayat dari Kuraib, pelayan Ibnu Abbas RA, yang sejalan dengan penuturan Ummu Salamah RA tentang kebiasaan puasa Rasulullah SAW di hari Sabtu dan Minggu. Kedua hari tersebut, menurut interpretasi ini, idealnya dijalani bersama-sama, bukan secara terpisah.
Kitab al-Mausu’ah juga mencatat perbedaan pendapat mazhab Hanafi dan Syafi’i yang menganggap puasa khusus di hari Minggu sebagai makruh, kecuali jika bertepatan dengan jadwal puasa rutin. Hal ini menekankan pentingnya konsistensi dan niat dalam berpuasa, bukan sekadar memilih hari tertentu secara acak.
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin RA, dalam Syarhul Mumti’, menjelaskan lebih lanjut bahwa puasa pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu dimakruhkan jika dilakukan secara ifrad. Beliau menekankan bahwa puasa Jumat yang dilakukan sendiri lebih kuat makruhnya karena adanya hadits-hadits sahih yang melarangnya. Namun, mengkombinasikan puasa tersebut dengan hari-hari lain, misalnya berpuasa Senin-Selasa atau Sabtu-Minggu, dianggap diperbolehkan.
Buku Puasa Sepanjang Tahun karya Yunus Hanis Syam juga menyoroti pandangan ulama mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali yang menyatakan makruhnya puasa hari Sabtu. Pandangan ini didasarkan pada hadits yang melarang puasa hari Sabtu kecuali puasa wajib.
Kesimpulannya, perdebatan mengenai hukum puasa sunnah hari Sabtu dan Minggu masih menjadi perbincangan yang kompleks. Tidak ada kesimpulan tunggal yang diterima secara universal. Perbedaan pendapat ulama berasal dari interpretasi yang berbeda terhadap hadits-hadits yang ada, dipengaruhi oleh konteks historis dan budaya. Sebagian ulama menganggap puasa sunnah di hari Sabtu dan Minggu sebagai makruh jika dilakukan secara terpisah (ifrad), khususnya untuk hari Sabtu yang berkaitan dengan hari suci Yahudi. Namun, jika diiringi puasa hari lain atau ada sebab khusus, seperti mengqadha puasa, maka hukumnya menjadi mubah. Praktik Rasulullah SAW sendiri, yang terkadang berpuasa di hari Sabtu dan Minggu, tidak secara eksplisit menetapkan hukumnya, melainkan menunjukkan fleksibilitas dan kebebasan dalam menjalankan ibadah sunnah. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami berbagai perspektif dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta selalu mengutamakan niat yang ikhlas dan menjauhi kemiripan dengan praktik keagamaan selain Islam. Wallahu a’lam bishawab.