Jakarta, 11 Februari 2025 – Usulan mengejutkan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk membeli Jalur Gaza dan merelokasi penduduknya telah memicu gelombang kecaman internasional yang meluas. Pernyataan kontroversial ini, yang dilontarkan Trump pada Minggu, 9 Februari 2025, saat dalam perjalanan menuju New Orleans untuk menyaksikan pertandingan Super Bowl, menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Hamas, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Trump, dalam pernyataan kepada wartawan, menyatakan komitmennya untuk mengakuisisi Jalur Gaza, dengan rencana untuk menghancurkan sebagian besar infrastruktur yang ada dan membangun kembali wilayah tersebut dengan bantuan negara-negara Timur Tengah. Ia menegaskan tekadnya untuk mencegah Hamas kembali berkuasa di wilayah tersebut, mengatakan, "Tidak ada yang bisa dipindah kembali. Tempat itu adalah lokasi pembongkaran. Sisanya akan dihancurkan. Semuanya dihancurkan."
Pernyataan tegas ini menunjukkan niat Trump untuk melakukan penggusuran besar-besaran terhadap lebih dari dua juta penduduk Gaza. Meskipun ia menyatakan kesediaan untuk mempertimbangkan penerimaan sejumlah pengungsi Palestina ke Amerika Serikat secara kasus per kasus, usulan ini jauh dari solusi yang komprehensif dan justru memperlihatkan ketidakpedulian terhadap nasib populasi sipil yang terdampak. Trump berargumen bahwa adanya alternatif tempat tinggal akan mengurangi keinginan warga Palestina untuk kembali ke Gaza, sebuah pernyataan yang dinilai sangat naif dan menghilangkan konteks sejarah dan hak-hak fundamental penduduk Palestina.
Reaksi keras segera datang dari Hamas, kelompok yang berkuasa di Gaza. Izzat al-Rishieq, anggota biro politik Hamas, dengan tegas menolak usulan Trump yang dinilai tidak masuk akal dan menghina. Al-Rishieq menyatakan, "Gaza bukanlah properti yang dapat dibeli dan dijual, dan itu adalah bagian integral dari tanah Palestina yang kami duduki." Pernyataan ini menunjukkan penolakan mutlak terhadap upaya untuk menganggap Gaza sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, serta penegasan atas hak bersejarah Palestina terhadap wilayah tersebut.
Usulan Trump juga menimbulkan keprihatinan yang dalam di tingkat internasional. Rencana ini, yang pertama kali diungkapkan dalam pertemuan Trump dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih minggu lalu, telah menimbulkan kemarahan dan kecaman di dunia Arab. Hal ini juga berpotensi mempersulit upaya normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab, terutama Arab Saudi.
Presiden Israel, Isaac Herzog, mengungkapkan bahwa Trump akan melakukan serangkaian pertemuan dengan para pemimpin Arab, termasuk Presiden Mesir, Abdel Fattah El Sisi, dan mungkin Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman. Trump juga dijadwalkan menerima Raja Yordania, Abdullah II, di Gedung Putih pada Selasa, 11 Februari 2025. Pertemuan-pertemuan ini diharapkan akan membahas usulan kontroversial Trump tersebut, meskipun kemungkinan tercapainya kesepakatan tampak sangat remang.
Netanyahu, dalam pidatonya di hadapan kabinetnya pada Minggu, memuji usulan Trump sebagai "revolusioner." Pernyataan ini menunjukkan dukungan Israel terhadap rencana yang berpotensi menimbulkan konflik humaniter yang besar. Namun, pendapat Netanyahu ini berbeda jauh dengan reaksi negara-negara Arab.
Kemarahan dunia Arab terhadap usulan Trump semakin memuncak setelah Netanyahu menyatakan kepada saluran TV Israel bahwa Arab Saudi dapat mendirikan negara Palestina di Arab Saudi sendiri. Pernyataan ini langsung mendapat balasan keras dari Kementerian Luar Negeri Saudi yang menuduh Israel melakukan "kejahatan berkelanjutan" dan "pembersihan etnis" terhadap rakyat Palestina. Arab Saudi juga menolak komentar Netanyahu tentang kemungkinan terbentuknya hubungan antara Israel dan Arab Saudi tanpa adanya negara Palestina merdeka.
UEA juga menunjukkan solidaritasnya dengan Arab Saudi. Khalifa Al Marar, Menteri negara UEA, menyatakan bahwa kedaulatan kerajaan Arab Saudi adalah "garis merah" yang tidak dapat dilanggar. Pernyataan ini menunjukkan bahwa usulan Trump tidak hanya memicu kecaman dari Palestina dan negara-negara Arab, tetapi juga menimbulkan keprihatinan di kalangan negara-negara Arab lainnya yang berusaha untuk mempertahankan stabilitas regional.
Usulan Trump untuk membeli Gaza dan merelokasi penduduknya bukanlah hanya sebuah pernyataan politik yang kontroversial, tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman yang dalam terhadap konflik Israel-Palestina dan implikasinya terhadap stabilitas regional. Rencana ini tidak hanya melanggar hak-hak asasi manusia penduduk Gaza, tetapi juga berpotensi memicu konflik yang lebih besar dan mengancam perdamaian di kawasan tersebut. Reaksi keras dari berbagai pihak menunjukkan bahwa usulan ini tidak hanya tidak realistis, tetapi juga sangat berbahaya dan tidak dapat diterima oleh masyarakat internasional. Ke depan, perkembangan situasi ini patut diawasi dengan cermat, karena potensi eskalasi konflik sangat tinggi. Pernyataan Trump ini bukan hanya menimbulkan perdebatan politik, tetapi juga mengungkapkan tantangan yang sangat kompleks dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi konflik Israel-Palestina.