Jakarta – Amalan harian yang dianjurkan bagi umat muslim untuk meraih ampunan Allah SWT adalah Sayyidul Istighfar, doa yang disebut sebagai "penghulu istighfar". Keutamaan doa ini begitu besar, bahkan dikaitkan dengan janji surga bagi yang mengamalkannya dengan penuh keikhlasan sebelum ajal menjemput. Hadits riwayat Imam Bukhari dari Syaddad bin Aus RA, yang diriwayatkan Rasulullah SAW, menyatakan: "Barangsiapa yang membaca Sayyidul Istighfar ini pada waktu siang dengan penuh keyakinan, lalu ia meninggal sebelum petang, maka ia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa yang mengucapkannya di waktu malam dan dia meyakininya, lalu dia mati sebelum Subuh, maka dia termasuk ahli surga."
Hadits tersebut mengungkapkan esensi Sayyidul Istighfar sebagai jalan utama menuju ampunan Allah. Redaksi lengkap doa ini, sebagaimana tercantum dalam berbagai kitab hadits dan referensi keagamaan, berbunyi:
Arab: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أعوذ بك من شر ما صنعت، أبوء لك بنعمتك علي، وأبوء بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت.
Latin: Allāhumma anta rabbī, lā ilāha illā anta, khalaqtani wa ana ‘abduka, wa ana ‘alā ‘ahdika wa wa’dika mastata’tu, a’ūdzu bika min syarri mā shana’tu, abū’u laka bin’amatīka ‘alayya, wa abū’u bi-ðanabī faghfir lī, fa-innahu lā yaghfiru ð-ðunūba illā anta.
Artinya: "Ya Allah, Engkau Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu. Aku akan tetap berada di atas perjanjian dan janji-Mu selama aku mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang telah aku perbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau."
Namun, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ulama terkemuka, mengingatkan bahwa istighfar bukan sekadar ucapan lisan belaka. Ia menekankan pentingnya keselarasan antara lisan dan hati. Istighfar yang hanya diucapkan tanpa disertai penyesalan dan perubahan perilaku yang tulus, tidak akan memberikan dampak maksimal. Ibnu Qayyim menyatakan, "Istighfar tidak cukup dengan kata-kata. Orang yang beristighfar dengan lisan, tidak mengerti maksud istighfar, belum bisa merenungkannya, hati dan lisannya tidak menyatu ketika beristighfar, namun masih berharap untuk mendapatkan pahala maka dosanya itu akan terhapus, tergantung kadar kualitas istighfar yang ada di dalam hati. Ampunan Allah SWT tidak dilihat dari sudut pandang model dan kuantitasnya. Akan tetapi bergantung pada apa yang ada di hati seorang hamba. Semakin khusyuk dan takut dia kepada Allah SWT maka sejauh itu pula karunia, ampunan dan maghfirah-Nya."
Dengan demikian, keefektifan Sayyidul Istighfar tergantung pada keikhlasan dan kesungguhan hati dalam memohon ampun. Bukan sekadar jumlah pengulangan, tetapi kualitas taubat dan penyesalan yang menjadi kunci utama penerimaan doa tersebut. Buku "Kumpulan Doa Mustajab Pembuka Pintu Rezeki" karya KH. Sulaeman Bin Muhammad Bahri juga menegaskan hal ini, menyatakan bahwa Sayyidul Istighfar merupakan doa permohonan ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan, disertai janji untuk tidak mengulanginya lagi.
Lebih jauh, agar Sayyidul Istighfar benar-benar memberikan dampak spiritual yang optimal, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, sebagaimana dijelaskan dalam buku "Ternyata Kita Tak Pantas Masuk Surga" karya H. Ahmad Zacky El-Syafa:
1. Ikhlas: Keikhlasan menjadi syarat mutlak agar istighfar diterima Allah SWT. Segala amal ibadah, termasuk istighfar, yang diiringi niat yang tidak tulus, akan sia-sia. Keikhlasan berarti mengucapkan istighfar hanya semata-mata karena Allah SWT, tanpa campur tangan tujuan duniawi lainnya.
2. Keselarasan Hati dan Lidah: Ini merupakan tantangan besar, terutama bagi orang-orang munafik. Mereka mungkin mengucapkan istighfar dengan lisan, tetapi hati mereka masih terikat dengan niat jahat atau rencana untuk melakukan dosa. Oleh karena itu, penting untuk menyelaraskan ucapan dengan keinginan batin yang tulus untuk berubah menjadi lebih baik. Keselarasan ini menunjukkan kesungguhan dalam bertaubat dan meninggalkan perbuatan dosa.
3. Kesucian Lahir dan Batin: Saat memanjatkan Sayyidul Istighfar, sebaiknya dalam keadaan suci lahir dan batin. Suci lahir berarti bebas dari hadas kecil maupun besar, misalnya dengan berwudhu. Hal ini sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW yang selalu berwudhu sebelum berdoa, seperti yang diriwayatkan dalam hadits Bukhari tentang doa Rasulullah SAW untuk Abu Amir, seorang sahabat yang gugur syahid. Suci batin berarti menjernihkan hati dari segala niat buruk, kesombongan, dan godaan setan. Hal ini dapat dicapai dengan menyibukkan diri dengan amal ibadah dan kegiatan yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4. Harapan Kepada Allah SWT: Dalam memanjatkan Sayyidul Istighfar, seorang muslim harus menanamkan rasa takut dan harap kepada Allah SWT. Rasa takut akan azab Allah SWT akan mendorong untuk benar-benar bertaubat, sedangkan rasa harap akan ampunan-Nya akan memberikan semangat untuk terus berusaha menjadi lebih baik. Keduanya merupakan motivasi yang kuat dalam proses taubat dan permohonan ampunan.
5. Memohon pada Waktu Mustajab: Ada waktu-waktu tertentu yang dianggap mustajab untuk berdoa, diantaranya sepertiga malam. Pada waktu ini, Allah SWT akan menurunkan rahmat dan ampunan-Nya. Hadits Rasulullah SAW menyatakan, "Tuhan kita, Allah SWT tiap malam turun ke langit dunia sampai pada sepertiga malam yang terakhir. Dia berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, akan Aku beri. Dan barangsiapa yang mohon ampunan kepadaKu akan Aku ampuni.’" (HR Bukhari) Memanfaatkan waktu-waktu mustajab akan meningkatkan kemungkinan doa kita diterima Allah SWT.
Kesimpulannya, Sayyidul Istighfar bukan sekadar doa biasa, tetapi merupakan doa yang memiliki keutamaan yang sangat besar. Amalan ini menawarkan jalan menuju ampunan Allah SWT dan janji surga bagi yang mengamalkannya dengan syarat-syarat yang telah disebutkan. Keikhlasan, keselarasan hati dan lisan, kesucian lahir dan batin, rasa takut dan harap kepada Allah SWT, serta memanfaatkan waktu-waktu mustajab merupakan kunci utama agar Sayyidul Istighfar benar-benar memberikan manfaat spiritual yang optimal dalam perjalanan spiritual seorang muslim. Semoga uraian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang Sayyidul Istighfar dan mendorong kita untuk lebih giat mengamalkannya.