Usulan kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza telah memicu gelombang kecaman internasional dan mengguncang fondasi gencatan senjata yang baru saja tercapai di wilayah konflik tersebut. Rencana yang diumumkan Trump, yang mengklaim keberhasilannya dalam negosiasi gencatan senjata, bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, tetapi juga sebagai ancaman serius terhadap stabilitas regional dan internasional. Analisis mendalam dari para ahli menunjukkan potensi bencana kemanusiaan dan gejolak politik yang ditimbulkan oleh rencana ambisius, bahkan terkesan arogan, ini.
Trump, dalam beberapa pernyataan publik, menyerukan pengosongan wilayah Gaza, sebuah seruan yang oleh banyak pihak ditafsirkan sebagai upaya agresif AS untuk menguasai wilayah Palestina secara paksa. Pernyataan-pernyataan tersebut, yang disampaikan secara berulang, tidak hanya mengabaikan hak-hak fundamental warga Palestina, tetapi juga mengabaikan konsekuensi kemanusiaan yang mengerikan dari rencana relokasi skala besar tersebut. Lebih dari dua juta warga Palestina akan terdampak langsung, menghadapi ketidakpastian dan potensi pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.
Pernyataan Trump yang disampaikan pada Selasa, 4 Februari 2025, di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, semakin memperkuat kekhawatiran internasional. Dalam pernyataan yang telah disiapkan sebelumnya, Trump secara terang-terangan menyatakan, "AS akan mengambil alih Jalur Gaza, dan kami juga akan melakukannya. Kami akan menguasainya." Pernyataan ini, yang disampaikan dengan nada penuh keyakinan dan tanpa sedikit pun pertimbangan etika atau hukum internasional, menunjukkan ambisi imperialis yang mengkhawatirkan.
Meskipun gencatan senjata yang dicapai pada 19 Januari 2025 masih berlaku – sebuah gencatan senjata yang Trump sendiri klaim sebagai keberhasilan diplomasi AS yang dipimpin oleh utusan Timur Tengah Steve Witkoff – rencana relokasi ini telah menimbulkan keraguan serius tentang komitmen AS terhadap perdamaian di Timur Tengah. Janji Trump dalam pidato pelantikannya untuk menjadi "pembawa perdamaian dan pemersatu" kini tampak ironis dan kontradiktif dengan tindakannya yang justru berpotensi memicu konflik baru yang lebih besar.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio berupaya meredam kritik internasional dengan menyatakan bahwa pemindahan warga Palestina bersifat sementara, dan mereka akan dapat kembali setelah pembangunan kembali Gaza. Namun, pernyataan ini langsung dibantah oleh Trump sendiri, yang menegaskan rencana relokasi permanen dan klaim kepemilikan AS atas wilayah Gaza. Perbedaan pernyataan antara Trump dan Rubio ini semakin mempertegas kebingungan dan kurangnya koordinasi dalam kebijakan luar negeri AS terkait isu Palestina.
Para ahli internasional pun memberikan tanggapan yang keras terhadap rencana kontroversial ini. Josh Ruebner, dosen di program Keadilan dan Perdamaian Universitas Georgetown, menyebut seruan Trump sebagai "benar-benar keterlaluan dan tidak masuk akal," mengatakan bahwa "pembersihan etnis terhadap lebih dari dua juta orang Palestina dari Gaza sangat merusak peluang untuk kelanjutan gencatan senjata." Ruebner dengan tepat menunjuk pada ketidaksesuaian rencana ini dengan semangat gencatan senjata yang baru saja dicapai, menegaskan bahwa rencana tersebut akan merusak proses perdamaian yang sangat sensitif.
Khalil Jahshan, direktur eksekutif Arab Center Washington DC, menyatakan bahwa usulan Trump menandakan "timbulnya malapetaka bagi gencatan senjata," bahkan menyebut perjanjian gencatan senjata tersebut sebagai "sudah hilang" akibat rencana relokasi ini. Jahshan mempertanyakan tujuan gencatan senjata jika warga Gaza akan dipindahkan secara paksa, menekankan bahwa rencana ini menghilangkan tujuan utama perjanjian, yaitu mencari solusi jangka panjang untuk kesejahteraan warga Gaza.
Khaled Elgindy, seorang analis Timur Tengah, memberikan pandangan yang lebih tajam, mengatakan bahwa Trump sama sekali tidak tertarik pada gencatan senjata demi kesejahteraan warga Palestina. Elgindy berpendapat bahwa Trump lebih tertarik pada publisitas dan pengakuan internasional atas keberhasilannya dalam menegosiasikan gencatan senjata, tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakannya. Menurutnya, Trump "tertarik pada tajuk utama gencatan senjata. Ia menginginkan penghargaan. Ia ingin mengatakan, ‘Saya menang. Saya orang yang melakukannya.’ Dia tidak peduli apakah kesepakatan itu dilaksanakan atau gagal atau berakhir dengan pembersihan etnis."
Pernyataan Netanyahu di Gedung Putih, yang menekankan tiga tujuan perang Israel – membebaskan tawanan, menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, dan memastikan Gaza tidak menimbulkan ancaman bagi Israel – menunjukkan bahwa rencana Trump sejalan dengan agenda Israel untuk mengendalikan wilayah Gaza. Hal ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa rencana relokasi ini bukan semata-mata inisiatif AS, tetapi hasil dari kesepakatan terselubung antara AS dan Israel.
Reaksi internasional terhadap rencana Trump sangat keras. Para pemimpin dari berbagai negara mengecam rencana tersebut sebagai pelanggaran HAM yang serius dan potensi pemicu konflik baru di Timur Tengah. Rencana ini dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas regional dan internasional, mengingat potensi besarnya untuk memicu kekerasan dan ketidakstabilan yang meluas. Potensi krisis pengungsi skala besar, kerusuhan sipil, dan bahkan perang regional menjadi ancaman nyata yang tidak dapat diabaikan.
Kesimpulannya, rencana relokasi warga Gaza yang diajukan oleh Presiden Trump merupakan tindakan yang sangat berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Rencana ini tidak hanya melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia, tetapi juga berpotensi memicu konflik yang lebih besar dan mengancam stabilitas regional. Kegagalan komunitas internasional untuk mengutuk dan menghentikan rencana ini akan berdampak sangat serius, menciptakan preseden berbahaya yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan global. Dunia internasional harus bertindak tegas untuk mencegah terjadinya bencana kemanusiaan dan gejolak politik yang ditimbulkan oleh rencana ambisius dan berbahaya ini. Keheningan internasional akan menjadi persetujuan atas pelanggaran hak asasi manusia yang besar dan ancaman terhadap perdamaian dunia.