Malam Nisfu Syaban, malam ke-15 bulan Syaban dalam kalender Hijriah, memiliki kedudukan istimewa dalam ajaran Islam. Bukan sekadar malam pertengahan bulan, bagi sebagian umat Islam, malam ini diyakini sebagai momentum spiritual yang sarat makna dan rahmat ilahi. Imam al-Ghazali, ulama besar yang juga dikenal sebagai Hujjatul Islam, dalam karyanya Musyafatul Qulub, mengungkapkan sejumlah keutamaan malam Nisfu Syaban yang patut direnungkan. Pemahaman mendalam tentang keutamaan ini, sebagaimana dijelaskan al-Ghazali, mengarah pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Al-Ghazali menyebut Malam Nisfu Syaban sebagai "malam penghapusan dosa" dan "malam kehidupan". Penamaan ini, menurutnya, bersumber pada hadits yang diriwayatkan al-Mundziri, yang menekankan pentingnya menghidupkan malam tersebut dengan ibadah dan dzikir. Hadits tersebut berbunyi: "Barang siapa yang menghidupkan dua malam hari raya dan malam Nisfu Syaban maka hatinya tidak mati saat hati orang-orang mati." Ungkapan ini mengandung makna yang dalam, menunjukkan bahwa menghidupkan malam Nisfu Syaban dengan amal saleh dapat menjaga hati tetap hidup dan terhubung dengan Allah SWT, bahkan di tengah gejolak duniawi yang kerap mematikan nurani. Ini bukan sekadar menjalankan ritual, melainkan sebuah upaya untuk memperkuat ikatan spiritual dan meraih keberkahan ilahi.
Lebih lanjut, al-Ghazali menjabarkan Malam Nisfu Syaban sebagai "malam syafaat". Pendapat ini didasarkan pada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memohon syafaat kepada Allah SWT pada malam ke-13, 14, dan 15 Syaban. Pada malam ke-13, Allah SWT memberikan sepertiga syafaat, malam ke-14 dua pertiga syafaat, dan pada malam ke-15, Allah SWT memberikan seluruh syafaat-Nya. Namun, al-Ghazali menekankan bahwa penerima syafaat sepenuhnya pada malam ke-15 ini adalah mereka yang tidak "melarikan diri" dari Allah SWT, artinya mereka yang tidak terus-menerus bermaksiat dan menjauh dari-Nya. Konsep "lari dari Allah" ini menunjukkan betapa pentingnya konsistensi dalam beribadah dan menjauhi dosa sebagai prasyarat untuk menerima syafaat Allah SWT. Syafaat di sini bukanlah jaminan otomatis masuk surga, melainkan pertolongan dan ampunan Allah SWT bagi hamba-Nya yang bertobat dan berusaha memperbaiki diri.
Keutamaan lain yang dijelaskan al-Ghazali adalah Malam Nisfu Syaban sebagai "malam ampunan". Hal ini merujuk pada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: "Allah melihat pada hamba-Nya pada malam Nisfu Syaban, lalu Dia mengampuni penduduk bumi kecuali dua laki-laki, yaitu orang musyrik dan orang yang bertengkar." (HR Ahmad). Hadits ini menunjukkan luasnya rahmat Allah SWT yang meliputi seluruh alam, namun juga menekankan pentingnya menjauhi syirik dan perselisihan sebagai syarat untuk mendapatkan ampunan-Nya. Ampunan bukanlah sesuatu yang otomatis didapatkan, melainkan buah dari taubat dan perbaikan diri.
Al-Ghazali juga mengungkapkan Malam Nisfu Syaban sebagai "malam kemerdekaan". Penjelasan ini bersumber pada hadits panjang yang diriwayatkan Ibnu Ishak dari Anas bin Malik. Hadits tersebut menceritakan peristiwa yang dialami Aisyah RA bersama Rasulullah SAW pada suatu malam. Di akhir riwayat, Rasulullah SAW bersabda: "Wahai perempuan yang merah pipinya, apakah engkau tidak mengetahui bahwa malam ini adalah malam Nisfu Syaban? Pada malam ini, Allah memerdekakan para penduduk neraka sebanyak bulu kambing Kalb, kecuali enam orang, yaitu pecandu khamar, orang yang durhaka kepada orang tua, orang yang terus-menerus berzina, orang miskin banyak keluarga yang buruk perilakunya, pemogok, dan tukang fitnah." Hadits ini menunjukkan bahwa Malam Nisfu Syaban merupakan momentum pembebasan dari siksa neraka bagi mereka yang bertobat dan menjauhi dosa-dosa besar. Namun, kecuali bagi enam golongan yang disebutkan, menunjukkan bahwa ampunan Allah SWT memiliki batasan bagi mereka yang terus berkeras dalam kemaksiatan.
Terakhir, al-Ghazali menjelaskan Malam Nisfu Syaban sebagai "malam pembagian dan takdir". Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Atha’ bin Yasar: "Jika malam Nisfu Syaban telah tiba, maka malaikat maut menyalin semua orang yang akan meninggal dunia, dari bulan Syaban ke bulan Syaban berikutnya, dan seorang hamba akan menanam tanaman, menikahi pasangan, dan membangun rumah. Namanya sudah benar-benar disalin dalam daftar orang-orang yang meninggal dunia. Malaikat mau menunggu perintah, lalu dia mencabut nyawanya." Hadits ini menunjukkan bahwa pada Malam Nisfu Syaban, Allah SWT menetapkan takdir bagi setiap manusia, termasuk waktu kematian. Namun, ini bukan untuk menimbulkan ketakutan, melainkan untuk mengingatkan manusia akan kefanaan dunia dan pentingnya bersiap menghadapi akhirat.
Kesimpulannya, penjelasan Imam al-Ghazali tentang keutamaan Malam Nisfu Syaban menunjukkan bahwa malam ini bukan sekadar malam biasa. Malam ini merupakan momentum spiritual yang sarat dengan rahmat dan ampunan Allah SWT. Namun, penerimaan rahmat dan ampunan tersebut tergantung pada kesiapan hati manusia untuk bertobat, menjauhi dosa, dan mengerjakan amal saleh. Pemahaman yang benar tentang keutamaan Malam Nisfu Syaban haruslah mengarah pada peningkatan keimanan dan kesalehan individu, bukan sekadar ritual yang tanpa makna dan perubahan perilaku. Wallahu a’lam bishawab.