Jakarta, 8 Februari 2025 – Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) 2025 yang baru saja berakhir menghasilkan rekomendasi penting bagi pemerintah: mendesak penyusunan strategi nasional yang komprehensif dan efektif untuk memberantas kekerasan di lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Rekomendasi ini, sebagaimana tertuang dalam siaran pers yang diterima redaksi, mencerminkan keprihatinan mendalam NU terhadap peningkatan kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dan terukur.
Pemimpin Sidang Komisi Rekomendasi Konbes NU 2025, Rumadi Ahmad, dalam keterangan persnya di The Sultan Hotel dan Residence Jakarta, menekankan perlunya sebuah "grand strategy" yang melibatkan berbagai pihak. "Mengorkestrasi grand strategy tersebut dengan meningkatkan partisipasi serta kemitraan dengan lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat sipil menjadi kunci keberhasilan," tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan kolaboratif yang melibatkan tidak hanya pemerintah, tetapi juga organisasi keagamaan, organisasi masyarakat sipil (ORMAS), dan elemen masyarakat lainnya dalam upaya penanggulangan kekerasan di lembaga pendidikan.
Selain strategi komprehensif, NU juga mendesak pemerintah untuk memastikan respons cepat, adil, dan objektif dari aparat penegak hukum terhadap setiap laporan kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Kecepatan dan keadilan dalam proses hukum menjadi krusial untuk mencegah impunitas dan memberikan rasa keadilan bagi korban. Lebih lanjut, PBNU mendorong pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan di tingkat nasional sebagai pelengkap dari Satgas Penanggulangan Kekerasan di Pesantren yang telah ada. Langkah ini menunjukkan komitmen NU untuk memperluas cakupan penanganan kekerasan, tidak hanya terbatas pada pesantren, tetapi juga mencakup seluruh lembaga pendidikan.
Rumadi juga menekankan pentingnya peran Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) sebagai leading sector dalam akselerasi transformasi pesantren menuju lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman bagi seluruh santri. RMI, sebagai badan otonom NU yang membidangi pendidikan pesantren, diharapkan dapat mengambil peran proaktif dalam mendorong perubahan budaya dan implementasi kebijakan yang efektif dalam mencegah kekerasan di lingkungan pesantren. Hal ini menuntut komitmen kuat dari RMI untuk melakukan reformasi internal dan membangun sistem pengawasan yang ketat di lingkungan pesantren.
Kekerasan di Lembaga Pendidikan: Realitas yang Mengkhawatirkan
Rumadi mengungkapkan data yang mengkhawatirkan mengenai peningkatan kasus kekerasan di lembaga pendidikan. Data Komnas Perempuan tahun 2022 menempatkan kasus kekerasan seksual di pesantren pada peringkat kedua tertinggi setelah perguruan tinggi. Angka ini menjadi indikator kuat betapa seriusnya masalah kekerasan di lingkungan pendidikan, khususnya pesantren. Analisis konten pemberitaan media juga menunjukkan tren yang serupa, dengan lebih dari 90 kasus kekerasan di pesantren tercatat dalam satu tahun terakhir, di mana 72% di antaranya merupakan kekerasan seksual (data Saka Pesantren PBNU). Data ini menunjukkan urgensi penanganan masalah ini secara serius dan komprehensif.
Rumadi juga menyoroti peran media sosial dalam memperluas dampak kasus kekerasan di lembaga pendidikan. "Resonansi kasus kekerasan di lembaga pendidikan termasuk di pesantren menjadi berlipat ganda karena kekuatan media sosial," ujarnya. Media sosial, di satu sisi, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu kekerasan, namun di sisi lain juga dapat memicu reaksi emosional dan bahkan tindakan main hakim sendiri yang berdampak negatif, baik bagi korban maupun bagi reputasi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan strategi komunikasi publik yang efektif untuk mengelola informasi dan mencegah penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan.
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan, seperti program pemberantasan 3 Dosa Besar Pendidikan dari Kementerian Pendidikan, kebijakan Pesantren Ramah Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Agama (Kemenag), serta regulasi lainnya, belum terlihat perubahan signifikan di lapangan. Hal ini menunjukkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang telah ada dan pengembangan strategi baru yang lebih efektif dan terintegrasi.
Upaya NU dan Perlunya Kolaborasi Nasional
NU sendiri telah menunjukkan komitmen kuat dalam menangani kekerasan di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungannya, termasuk Muslimat NU, LP Maarif NU, LPTNU, dan pesantren di bawah RMI. Sejumlah inisiatif telah diambil, seperti pembentukan Tim Lima, penyelenggaraan Halaqah Syuriyah PBNU bersama para kiai, pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Kekerasan di Pesantren (SAKA Pesantren), dan penyusunan Peta Jalan Transformasi Budaya Pesantren Nir-Kekerasan. Namun, upaya ini diakui tidak cukup jika dilakukan sendiri.
Rumadi menekankan perlunya pendekatan multi-pihak yang sistematis dan terintegrasi. "Negara harus hadir untuk mengorkestrasi grand design strategi penanggulangan kekerasan di lembaga pendidikan, khususnya pesantren," tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah sebagai aktor utama dalam memimpin dan mengkoordinasikan upaya nasional untuk memberantas kekerasan di lembaga pendidikan. Kolaborasi yang efektif antara pemerintah, lembaga keagamaan, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan sangat krusial untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan kondusif bagi seluruh peserta didik.
Rekomendasi Konbes NU ini bukan sekadar seruan, melainkan tuntutan nyata atas perlunya tindakan segera dan terukur dari pemerintah. Peningkatan kasus kekerasan di lembaga pendidikan merupakan ancaman serius bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, penyusunan strategi nasional anti-kekerasan di lembaga pendidikan bukanlah sekadar pilihan, melainkan keharusan yang mendesak untuk diwujudkan. Keberhasilannya akan sangat bergantung pada komitmen dan kolaborasi seluruh pihak yang terlibat, termasuk pemerintah, lembaga keagamaan, organisasi masyarakat sipil, dan seluruh elemen masyarakat. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif, terintegrasi, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, cita-cita menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan dapat terwujud. Kegagalan dalam hal ini akan berdampak luas dan berkelanjutan terhadap generasi penerus bangsa.