Bulan Syaban, bulan yang berada di antara Rajab dan Ramadhan, menyimpan keistimewaan tersendiri dalam kalender Hijriah. Puncaknya adalah malam Nisfu Syaban, malam pertengahan bulan yang diyakini sebagai malam penuh berkah, ampunan, dan rahmat Ilahi. Amalan sunnah yang dianjurkan untuk menyambut malam mulia ini adalah puasa sunnah Nisfu Syaban, sebuah ibadah yang tak hanya mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga menjadi sarana penyucian jiwa dan peningkatan amal saleh. Pelaksanaan puasa Nisfu Syaban sendiri serupa dengan puasa-puasa sunnah lainnya, namun dengan niat khusus yang membedakannya.
Buku "Meraih Surga dengan Puasa" karya H. Herdiansyah Achmad, Lc., menjelaskan keutamaan puasa Nisfu Syaban sebagai jalan meraih ampunan dan keberkahan. Hadits riwayat Ibnu Majah dari Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan sabda Rasulullah SAW yang menguatkan hal ini: "Jika datang malam Nisfu Syaban, sholatlah dan puasalah pada siang harinya, karena Allah akan menurunkan ampunan-Nya di malam itu, mulai dari terbenamnya matahari hingga pagi hari. Kemudian Allah berfirman, ‘Ingatlah, Aku akan mengampuni orang yang meminta ampunan dari-Ku. Ingatlah, Aku akan memberikan rezeki kepada orang yang meminta rezeki kepada-Ku. Ingatlah, Aku akan mengabulkan permintaan orang yang meminta kesehatan kepada-Ku. Dan ingatlah, Aku akan mengabulkan segala permintaan siapa pun yang memohon kepada-Ku hingga fajar menyingsing.’"
Niat puasa sunnah Nisfu Syaban, yang diucapkan sebelum fajar menyingsing, berbunyi:
Arab: نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ شَعْبَانَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى
Latin: Nawaitu shauma syahri Syabani sunnatan lillahi ta’ala.
Artinya: Saya berniat puasa pada bulan Syaban sunnah karena Allah Ta’ala.
Di sisi lain, kewajiban berpuasa Ramadhan bagi umat Islam merupakan rukun Islam yang sangat penting. Namun, berbagai halangan syar’i, seperti sakit atau perjalanan, dapat menyebabkan seseorang meninggalkan puasa Ramadhan. Dalam situasi tersebut, mengganti puasa yang ditinggalkan—dikenal sebagai qadha Ramadhan—merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185:
Arab: وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Latin: Wa man kana mariiḍan aw ‘ala safarin fa ‘iddatun min ayyamin ukhra.
Artinya: "…Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain…"
Buku "Seri Fiqih Kehidupan" karya Ahmad Sarwat menjelaskan pentingnya menunaikan qadha Ramadhan sebagai bentuk tanggung jawab atas kewajiban yang telah ditinggalkan. Niat puasa qadha Ramadhan, yang diucapkan sebelum fajar menyingsing, tidak jauh berbeda dengan niat puasa Ramadhan, dan dapat dilakukan kapan saja di luar bulan Ramadhan. Meskipun tidak ada redaksi baku, lafal yang umum digunakan adalah:
Arab: نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ لِلَّهِ تَعَالَى
Latin: Nawaitu shauma ghadin ‘an qadha’i fardhi Ramaḍāna lillahi ta’āla.
Artinya: Aku berniat puasa esok hari sebagai ganti fardhu Ramadhan karena Allah Ta’ala.
Menggabungkan Niat Puasa Nisfu Syaban dan Qadha Ramadhan: Ijtihad dan Pendapat Ulama
Seringkali, keinginan untuk menjalankan puasa sunnah Nisfu Syaban muncul bersamaan dengan kewajiban menunaikan qadha Ramadhan. Namun, pertanyaan mengenai boleh tidaknya menggabungkan kedua niat ini kerap muncul. Buku "Tata Cara dan Tuntunan Segala Jenis Puasa" karya Nur Solikhin, serta berbagai kitab fikih lainnya, membahas hal ini secara rinci.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menggabungkan niat puasa wajib (qadha Ramadhan) dengan puasa sunnah (Nisfu Syaban). Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya "Fiqih Islam wa Adillatuhu" mencatat dua pendapat utama:
-
Pendapat Pertama (Abu Yusuf): Menggabungkan ibadah wajib dan sunnah dalam satu niat hanya mensahkan niat ibadah wajib. Niat ibadah sunnah dianggap tidak sah. Pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa puasa wajib Ramadhan tidak boleh diqadha bersamaan dengan puasa sunnah. Alasannya, puasa wajib memiliki prioritas dan tidak boleh tercampur dengan niat sunnah.
-
Pendapat Kedua (Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, Imam Ramli, Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary): Menggabungkan kedua niat (wajib dan sunnah) diperbolehkan, dan pahala keduanya akan diperoleh. Imam Ramli bahkan menyatakan bahwa pahala ibadah wajib dan sunnah akan tetap didapatkan meskipun tanpa niat khusus untuk menggabungkannya. Pendapat ini diperkuat oleh Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibary dalam kitab Fathul Mu’in, yang menyatakan bahwa menggabungkan niat puasa sunnah dengan puasa fardhu tetap memberikan pahala untuk keduanya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Perbedaan pendapat di atas menunjukkan adanya ruang ijtihad dalam permasalahan ini. Bagi yang ingin menggabungkan kedua puasa tersebut, mengacu pada pendapat yang memperbolehkan penggabungan, cukup menggunakan niat puasa qadha Ramadhan. Dengan demikian, kewajiban qadha Ramadhan terpenuhi, dan pahala puasa sunnah Nisfu Syaban tetap dapat diraih. Namun, penting untuk memahami bahwa pendapat pertama juga memiliki dasar yang kuat, dan memilih salah satu pendapat tersebut merupakan pilihan pribadi yang didasarkan pada pemahaman dan rujukan fikih masing-masing.
Penting untuk diingat bahwa inti dari ibadah puasa, baik sunnah maupun wajib, adalah keikhlasan niat karena Allah SWT. Menjalankan ibadah dengan penuh kesadaran, ketaatan, dan harapan ridha Allah merupakan hal yang jauh lebih penting daripada perdebatan mengenai hukum menggabungkan niat. Semoga uraian di atas dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai puasa Nisfu Syaban dan qadha Ramadhan, serta memberikan panduan bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah dengan penuh keimanan dan ketaqwaan. Konsultasi dengan ulama atau ahli fikih yang terpercaya juga sangat dianjurkan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail dan sesuai dengan konteks masing-masing individu.