Jakarta, 7 Februari 2025 – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang menyatakan haram bagi kalangan mampu untuk mengonsumsi Liquified Petroleum Gas (LPG) 3 kg dan Pertalite bersubsidi. Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bersubsidi oleh kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu dinilai sebagai tindakan yang melanggar prinsip keadilan dan syariat Islam. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda, melalui laman resmi MUI.
KH Miftahul Huda menegaskan bahwa program subsidi BBM dan gas LPG 3 kg merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat kurang mampu. Subsidi ini dirancang untuk menjangkau kelompok-kelompok tertentu yang membutuhkan, seperti nelayan, petani, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, penggunaan fasilitas subsidi oleh orang kaya dinilai sebagai tindakan yang merugikan masyarakat yang sebenarnya berhak menerimanya.
"Adapun dalam hukum Islam, penggunaan BBM dan gas bersubsidi oleh orang kaya yang tidak berhak adalah haram," tegas KH Miftahul Huda. Pernyataan ini didasarkan pada prinsip keadilan dan pemerataan ekonomi yang diajarkan dalam Islam. Penggunaan subsidi oleh orang kaya, menurutnya, merupakan bentuk pengambilan hak orang lain, yang dalam konteks ini adalah masyarakat miskin dan rentan. Tindakan tersebut, selain melanggar hukum positif, juga dinilai sebagai pelanggaran etika dan moralitas.
Lebih lanjut, KH Miftahul Huda mengutip ayat Al-Quran Surat An-Nahl ayat 90 sebagai landasan hukum fatwa tersebut. Ayat tersebut menekankan pentingnya keadilan dan berbuat kebaikan. Penerjemahan ayat tersebut, meskipun tidak diberikan secara lengkap dalam rilis berita, secara umum menggarisbawahi prinsip keadilan yang menjadi inti dari ajaran Islam. Penggunaan subsidi oleh orang kaya, menurut penafsiran MUI, bertentangan dengan semangat keadilan yang diajarkan dalam ayat tersebut.
"Orang kaya yang mengambil hak orang miskin dalam subsidi berarti melanggar prinsip keadilan," jelas KH Miftahul Huda. Ia menekankan bahwa subsidi merupakan amanah dari pemerintah yang ditujukan untuk rakyat yang membutuhkan. Oleh karena itu, penggunaan subsidi oleh orang kaya dianggap sebagai penyelewengan dan pengkhianatan terhadap amanah tersebut. Tindakan ini bukan hanya merugikan negara dari sisi anggaran, tetapi juga merugikan masyarakat yang berhak menerima bantuan tersebut.
KH Miftahul Huda juga menjelaskan implikasi hukum fiqih Islam terhadap tindakan penggunaan subsidi oleh orang kaya. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai ghasab, yaitu mengambil atau memakai sesuatu yang bukan haknya tanpa izin. Dalam konteks ini, orang kaya yang menggunakan subsidi LPG 3 kg dan Pertalite telah merampas hak fakir miskin, sehingga perbuatannya dikategorikan sebagai dosa besar. Hal ini memperkuat landasan hukum agama terhadap larangan penggunaan subsidi oleh kalangan mampu.
Fatwa MUI ini bukan sekadar pernyataan agama, tetapi juga memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang signifikan. Subsidi BBM dan LPG 3 kg merupakan bagian penting dari kebijakan pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari gejolak harga energi. Dengan adanya fatwa ini, diharapkan terjadi perubahan perilaku di kalangan masyarakat mampu, sehingga subsidi dapat tepat sasaran dan memberikan manfaat maksimal bagi mereka yang membutuhkan.
Permasalahan subsidi di Indonesia memang kompleks dan telah berlangsung lama. Ketidaktepatan sasaran subsidi seringkali terjadi, di mana sebagian besar manfaat subsidi justru dinikmati oleh kalangan mampu, sementara masyarakat miskin masih kesulitan mengaksesnya. Hal ini menyebabkan pemborosan anggaran negara dan memperlebar kesenjangan ekonomi. Fatwa MUI ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, meskipun tentu saja dibutuhkan upaya multi-sektoral yang lebih komprehensif.
Fatwa ini juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keadilan dan kepedulian sosial. Penggunaan subsidi oleh orang kaya bukan hanya merugikan negara dan masyarakat miskin, tetapi juga menunjukkan kurangnya kepedulian sosial dan rasa tanggung jawab terhadap sesama. Dengan memahami konsekuensi hukum agama dan dampak sosialnya, diharapkan masyarakat mampu lebih bijak dalam menggunakan sumber daya negara.
Namun, implementasi fatwa ini tentu saja menghadapi tantangan. Mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang efektif diperlukan untuk memastikan bahwa fatwa ini benar-benar dipatuhi. Pemerintah perlu memperkuat sistem distribusi subsidi dan melakukan pengawasan yang ketat untuk mencegah penyelewengan. Selain itu, diperlukan pula sosialisasi yang intensif kepada masyarakat agar fatwa ini dipahami dengan baik dan dipatuhi secara sukarela.
Selain aspek hukum dan agama, fatwa MUI ini juga memicu diskusi publik mengenai keadilan sosial dan pemerataan ekonomi. Permasalahan subsidi merupakan cerminan dari ketidakmerataan ekonomi yang masih terjadi di Indonesia. Fatwa ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk mendorong pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang lebih komprehensif dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Lebih jauh lagi, fatwa ini dapat diinterpretasikan sebagai ajakan untuk membangun budaya gotong royong dan kepedulian sosial di tengah masyarakat. Dalam konteks agama Islam, berbagi dan membantu sesama merupakan nilai-nilai luhur yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tidak menggunakan subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, orang kaya dapat berkontribusi pada upaya pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Kesimpulannya, fatwa MUI yang mengharamkan penggunaan LPG 3 kg dan Pertalite bersubsidi oleh orang kaya merupakan langkah penting dalam upaya menegakkan keadilan dan pemerataan ekonomi. Fatwa ini memiliki landasan hukum agama yang kuat dan relevan dengan konteks sosial dan ekonomi Indonesia. Namun, keberhasilan implementasi fatwa ini sangat bergantung pada kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait dalam menciptakan sistem distribusi subsidi yang efektif dan pengawasan yang ketat. Lebih dari itu, fatwa ini juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk lebih peduli terhadap sesama dan berkontribusi dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Perlu diingat bahwa fatwa ini tidak hanya berdampak pada aspek keagamaan, tetapi juga memiliki implikasi yang luas terhadap kebijakan publik, ekonomi, dan sosial di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan diskusi dan evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan efektivitas fatwa ini dalam mencapai tujuannya.