Bulan Ramadan, bulan suci penuh berkah bagi umat Islam, menjadi momentum istimewa untuk meningkatkan amal ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berbagai amalan sunnah dianjurkan untuk dikerjakan, di antaranya menghidupkan malam-malam Ramadan dengan shalat, dzikir, tilawah Al-Qur’an, dan amal kebaikan lainnya. Pahala yang dijanjikan pun berlipat ganda, menjadikannya kesempatan emas bagi setiap muslim untuk meraih ampunan dan ridha Ilahi. Dalam sejarah Islam, terdapat satu figur penting yang berperan besar dalam membumikan praktik menghidupkan malam Ramadan, khususnya melalui pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah: Khalifah Umar bin Khattab.
Perintah untuk menghidupkan malam Ramadan dengan ibadah bukanlah suatu ketentuan yang turun secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun hadits shahih. Namun, semangat untuk memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan telah tertanam kuat dalam ajaran Islam. Praktik-praktik ibadah di bulan Ramadan, termasuk shalat Tarawih, berkembang secara bertahap seiring dengan perjalanan sejarah Islam. Khalifah Umar bin Khattab, dengan kebijaksanaan dan kepemimpinannya yang tegas, memainkan peran krusial dalam mendorong dan membudayakan praktik ini di tengah masyarakat muslim kala itu.
Berdasarkan riwayat yang termaktub dalam kitab Tarikh Khulafa: Sejarah Lengkap Kehidupan Empat Khalifah Setelah Wafatnya Rasulullah SAW karya Ibrahim Al-Quraibi, Khalifah Umar bin Khattab merupakan sosok yang pertama kali menginisiasi pelaksanaan shalat Tarawih berjamaah di Masjid Nabawi. Sebelum masa kepemimpinannya, shalat Tarawih dilakukan secara individual oleh para sahabat di berbagai tempat di masjid, tanpa imam dan koordinasi yang terstruktur. Kondisi ini, menurut Khalifah Umar, kurang efektif dan kurang memaksimalkan kemuliaan malam Ramadan.
Hadits riwayat Imam Bukhari melalui jalur sanad Abdurrahman bin Abdul Qari menggambarkan situasi tersebut dengan gamblang: "Aku keluar bersama Umar bin Khattab pada suatu malam di bulan Ramadan. Kami menuju suatu masjid. Di sana kami mendapati para jemaah terpencar-pencar. Setiap orang salat sendiri-sendiri. Ada yang bersuara keras dan sebagainya. Umar lalu mengatakan, ‘Aku punya pendapat, lebih baik mereka berkumpul dan menjadi makmum pada satu imam.’"
Ketegasan dan kebijaksanaan Umar bin Khattab terlihat dalam keputusannya untuk mengorganisir shalat Tarawih. Beliau bukan hanya sekadar memberikan saran, melainkan langsung mengambil tindakan untuk menghimpun jamaah dan menunjuk seorang imam. Ubay bin Ka’ab, seorang sahabat yang dikenal sebagai ahli qira’ah (bacaan Al-Qur’an), dipilih sebagai imam pertama shalat Tarawih berjamaah ini. Keputusan ini menandai sebuah tonggak penting dalam sejarah ibadah Ramadan. Dari praktik individual yang terkesan sporadis, shalat Tarawih kemudian terorganisir menjadi ibadah berjamaah yang lebih khusyuk dan terarah.
Pada malam berikutnya, Khalifah Umar kembali mengunjungi masjid dan mendapati jamaah telah melaksanakan shalat Tarawih berjamaah dengan tertib. Melihat pemandangan tersebut, beliau berucap, "’Inilah bid’ah yang baik. Dan orang yang tidur saat ini lebih baik daripada orang yang mendirikan salat.’" Pernyataan ini seringkali diinterpretasikan secara keliru. Yang dimaksud Umar bukanlah bahwa tidur lebih baik daripada shalat, melainkan beliau menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara ibadah dan istirahat. Beliau menyarankan agar jamaah tidak memaksakan diri untuk shalat sepanjang malam di awal waktu, tetapi bisa menunda sebagian ibadah hingga akhir malam agar lebih bersemangat dan khusyuk. Umat Islam pada masa itu, menurut riwayat, lebih cenderung menghidupkan malam Ramadan di awal malam.
Pernyataan Khalifah Umar ini juga menunjukkan kejelian beliau dalam memahami kondisi fisik dan mental umatnya. Beliau tidak ingin memaksakan ibadah yang justru dapat melemahkan semangat dan keikhlasan. Sikap bijak ini menjadi contoh teladan bagi para pemimpin dalam mengelola dan membimbing umatnya dalam menjalankan ibadah. Inilah yang membedakan pendekatan Umar, bukan sekadar memerintah, tetapi juga memperhatikan aspek kesejahteraan dan kemaslahatan umatnya.
Pengorganisasian shalat Tarawih berjamaah oleh Khalifah Umar bin Khattab bukan hanya sekadar inovasi praktis, tetapi juga memiliki implikasi yang sangat signifikan terhadap kehidupan beragama umat Islam. Praktik ini kemudian menyebar luas dan menjadi tradisi yang dijalankan hingga saat ini. Shalat Tarawih berjamaah tidak hanya mempererat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) melalui ibadah bersama, tetapi juga memberikan kesempatan bagi para imam untuk membimbing jamaah dalam memahami dan menghayati makna Al-Qur’an yang dibacakan.
Lebih dari sekadar shalat Tarawih, inisiatif Khalifah Umar ini mencerminkan semangat untuk menghidupkan malam Ramadan secara keseluruhan. Beliau mendorong umat untuk memaksimalkan waktu di bulan suci dengan berbagai amalan ibadah lainnya. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, khususnya di bulan Ramadan yang penuh keberkahan.
Selain shalat Tarawih, terdapat berbagai amalan sunnah lainnya yang dapat dilakukan untuk menghidupkan malam Ramadan. Amalan-amalan ini tidak hanya mendatangkan pahala yang besar, tetapi juga memberikan dampak positif bagi spiritualitas dan keimanan seseorang. Beberapa amalan tersebut antara lain:
-
Shalat Isya’ Berjamaah: Menjadi langkah awal yang ideal untuk memulai rangkaian ibadah malam Ramadan. Shalat Isya’ berjamaah memiliki keutamaan tersendiri, terlebih jika dilanjutkan dengan shalat Tarawih dan amalan lainnya.
-
Shalat Tarawih dan Witir: Shalat Tarawih, yang terdiri dari sejumlah rakaat shalat sunnah, dan diakhiri dengan shalat Witir, merupakan ibadah khas Ramadan yang sangat dianjurkan. Melaksanakannya dengan khusyuk dan penuh keimanan akan memberikan ketenangan dan kedekatan dengan Allah SWT.
-
Membaca Al-Qur’an: Bulan Ramadan merupakan bulan diturunkannya Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an di malam Ramadan merupakan amalan yang sangat dianjurkan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Hadits dari Ibnu Abbas RA meriwayatkan betapa dermawannya Rasulullah SAW ketika menerima wahyu dari Malaikat Jibril di bulan Ramadan, menunjukkan keutamaan membaca dan mengkaji Al-Qur’an di bulan ini.
-
Itikaf: Itikaf, yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, merupakan amalan yang sangat dianjurkan, terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadan. Rasulullah SAW sendiri selalu melaksanakan itikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan, menunjukkan keutamaan dan keistimewaan amalan ini. Itikaf memberikan kesempatan untuk fokus beribadah tanpa gangguan duniawi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT secara intensif.
Kesimpulannya, Khalifah Umar bin Khattab tidak hanya dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan adil, tetapi juga sebagai sosok yang bijak dalam membimbing umatnya dalam menjalankan ibadah. Inisiatif beliau dalam mengorganisir shalat Tarawih berjamaah menjadi bukti nyata komitmen beliau dalam menghidupkan malam Ramadan dan memaksimalkan keberkahan bulan suci ini. Semangat dan kebijaksanaan Umar bin Khattab patut diteladani oleh setiap muslim, agar kita dapat menghidupkan malam Ramadan dengan penuh makna dan meraih keberkahan yang dijanjikan Allah SWT. Semoga kita semua dapat meneladani keteladanan beliau dalam mengamalkan ajaran Islam dan memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan.