Jakarta, 4 Maret 2025 – Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas (nama dalam berita asli adalah Nasaruddin Umar, namun tampaknya ada kesalahan informasi), dalam sambutannya pada Studium Generale Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI) di Jakarta, Selasa (4/3/2025), mengingatkan akan bahaya laten monopoli tafsir dalam pemahaman ajaran Islam. Acara yang mengangkat tema "Mewujudkan Indonesia Sebagai Kiblat Peradaban Islam Rahmatan li An-Nisa" tersebut menjadi panggung bagi Menag untuk menekankan pentingnya keterbukaan intelektual dan pemikiran kritis sebagai pilar utama dalam menafsirkan teks-teks keagamaan.
Menag Yaqut Cholil Qoumas dengan tegas menyatakan bahwa keberanian berpikir kritis merupakan kunci utama bagi setiap individu dalam memahami ajaran Islam secara utuh dan mendalam. Ia menekankan bahwa ulama-ulama besar sepanjang sejarah lahir dari kalangan yang berani memperbaharui pemikiran keagamaan, namun tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah fundamental Islam. Tanpa pemahaman yang komprehensif dan analitis, ia menambahkan, pemahaman seseorang terhadap Islam akan tetap dangkal, hanya sebatas permukaan tanpa mampu menggali logika dan konteks yang lebih dalam.
Sebagai contoh konkrit, Menag menyinggung isu bias gender dalam tafsir ayat Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa bahasa Arab, sebagai bahasa wahyu, memiliki konteks historis dan kultural yang berpotensi memunculkan interpretasi yang dipengaruhi oleh struktur patriarki. Ayat "Ar-Rijaalu Qawwaamuuna ‘ala an-nisa," yang sering diterjemahkan sebagai "laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan," menjadi contoh kasus yang relevan. Menag menegaskan bahwa tafsir yang hanya berfokus pada terjemahan literal tanpa mempertimbangkan konteks historis, linguistik, dan sosiologis, berpotensi menghasilkan pemahaman yang bias gender dan merugikan kesetaraan.
"Ada pendapat yang mengatakan bahwa makna ‘Ar-Rijaalu Qawwaamuuna ‘ala an-nisa’ merupakan hasil tafsir yang bias gender," jelas Menag. "Oleh karena itu, pemahaman yang lebih luas dan mendalam, yang mempertimbangkan berbagai perspektif, sangat diperlukan agar tidak terjadi monopoli tafsir oleh satu kelompok saja. Monopoli tafsir ini berbahaya karena dapat menghambat perkembangan pemahaman Islam yang lebih inklusif dan berkeadilan."
Menag juga menekankan pentingnya wawasan keilmuan yang menyeluruh bagi generasi penerus Muslim. Ia mengajak para kader ulama untuk tidak hanya menguasai aspek ritual keagamaan, tetapi juga mendalami aspek linguistik, budaya, dan sejarah Islam. Dengan demikian, umat Islam dapat menjaga nilai-nilai ajaran agama agar tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman modern. "Dengan pemahaman yang mendalam dan komprehensif," tegas Menag, "umat Islam dapat menjaga nilai-nilai agama dengan tetap relevan dalam perkembangan zaman, sekaligus berkontribusi dalam membangun peradaban yang lebih baik."
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Aifatul Choiriyah Fauzi, menyampaikan apresiasinya terhadap PKU-MI karena turut melibatkan calon ulama perempuan. Ia menekankan peran krusial ulama perempuan dalam menjawab tantangan dinamika sosial yang semakin kompleks.
"Kita memerlukan kader ulama atau pemimpin masa depan yang tidak hanya memegang teguh ajaran agama, tetapi juga berperan dalam kepemimpinan progresif yang berperspektif gender, memberdayakan perempuan dan melindungi anak Indonesia," ujar Menteri PPPA. Pernyataan ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya inklusivitas gender dalam kepemimpinan keagamaan.
Menteri PPPA juga menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia sebagai tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender. Ia mengutip data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 yang menunjukkan bahwa satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya. Data yang sangat menggelikan ini menunjukkan betapa besarnya tantangan yang harus dihadapi.
Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 mencatat sekitar 50,78 persen anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidup mereka, dengan persentase anak laki-laki sebesar 49,83 persen dan anak perempuan 51,78 persen. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan masalah yang sangat serius dan memerlukan perhatian serta tindakan yang komprehensif.
"Angka-angka ini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk mengakhiri ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan serta anak masih menjadi pekerjaan rumah besar yang harus kita selesaikan bersama-sama," tegas Menteri PPPA. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Program PKU-MI diharapkan dapat melahirkan generasi ulama yang memiliki pemahaman keislaman yang luas, mendalam, dan kontekstual. Ulama yang diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan Islam di Indonesia serta mewujudkan peradaban yang lebih inklusif dan berkeadilan. Hal ini merupakan harapan besar bagi masa depan Islam di Indonesia. Ulama yang tidak hanya memahami teks keagamaan secara tekstual, tetapi juga mampu menginterpretasikannya dengan bijak dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Kesimpulannya, peringatan Menag Yaqut Cholil Qoumas tentang bahaya monopoli tafsir dan seruannya untuk pemikiran kritis dalam memahami Islam merupakan pesan yang sangat relevan di era modern ini. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan interpretasi Islam yang lebih inklusif, berkeadilan, dan mampu memberikan solusi bagi berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia. Kolaborasi antara pemerintah dan ulama menjadi kunci utama dalam mewujudkan harapan tersebut. Program seperti PKU-MI diharapkan dapat menjadi wadah yang efektif dalam membentuk generasi ulama yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dan mampu memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara. Peran perempuan dalam kepemimpinan keagamaan juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkan peradaban Islam yang lebih berkeadilan dan inklusif.